SORE, KESAN YANG SULIT DIMENGERTI

Poster resmi Sore: Istri Dari Masa Depan pada Instagram cerita_films

Sore: Istri Dari Masa Depan, film yang disutradarai Yandy Laurens ini terasa begitu menyebalkan atau paling tidak membuat kita merasa sulit. Bukan sulit karena memahami logika cerita di dalam film, namun sulit memahami kesan yang ditinggalkan setelah kita menontonnya. Melalui daya magisnya, film ini seakan membawa kita pada dimensi yang jauh di sisi terdalam diri kita bahwa ada sesuatu selain diri kita yang mempunyai hubungan begitu erat dengan kita dan kebanyakan dari kita tidak mampu menguraikannya. sehingga ada ruang hampa tak terpahami yang senantiasa menghantui setelah menonton film ini.

Singkatnya, film ini menceritakan sosok Sore yang pergi ke Kutub Utara setelah kematian Jonathan—suaminya. Ketika melihat sebuah aurora di sana, Sore tiba-tiba kembali ke masa lampau. Ia kemudian bertemu dengan Jo yang masih berada di Kroasia. Jonathan versi delapan tahun yang lalu, yang belum mengenal Sore. Berbagai usaha dilakukan Sore berulang kali untuk memperbaiki hidup Jo agar di masa depan ia tidak mati. Namun Sore selalu gagal, ia sempat menyerah dan memilih untuk tidak menemui Jo. Meski pada akhirnya, ia tetap memilih Jonathan. Di tengah perjuangannya mengantarkan kehidupan Jo ke arah yang lebih baik, ternyata Sore juga mempunyai batasan. Lebih tepatnya ia dibatasi oleh Sang Waktu, sehingga pada suatu malam, Sore ditelan oleh Waktu. Jonathan yang tidak ingat bahwa istrinya dari masa depan pernah hadir dalam hidupnya merasakan sesuatu yang aneh. Perlahan ia mulai merubah hidupnya menjadi lebih baik dan sehat. Film ini ditutup dengan adegan pertemuan Sore dan Jonathan di sebuah pameran yang digelar oleh Jo. Dari pertemuan itu, mereka lalu menyadari berbagai dimensi yang pernah mereka lalui.

Ada banyak momen sentimental di setiap adegan. Terlebih perjuangan Sore, di mana ia selalu mengambil berbagai celah dalam setiap kejadian dengan memeluk semua kegagalan itu. Hanya demi kehidupan Jo. Dialog antar karakter juga menambah kesan tersendiri, seperti “Manusia berubah karena merasa dicintai, bukan karena takut,” dan “Jika diberi kesempatan hidup sepuluh ribu kali, aku akan tetap memilihmu.” Selain itu, dari segi sinematografi, para aktor, soundtrack dan berbagai lanskap indah Kroasia menjadikan film ini semakin utuh.

Berbagai teori muncul tentang film ini, mulai dari dunia paralel, relativitas waktu, hingga entanglement dalam fisika kuantum—dua partikel yang pernah terhubung akan selalu terhubung, meski dipisahkan oleh jarak dan waktu. Seperti dua jiwa yang terikat secara instan. Meski banyak teori ilmiah dari beragam sudut pandang, pada dasarnya karya tetaplah sebuah karya. Baik novel ataupun film, pengarang mencoba menerobos realitas sekitar dengan imajinasinya. Mereka seringkali mengaitkan sebuah fenomena dengan kebutuhan alur cerita atau konflik antar karakter. Di film ini, aurora menjadi gerbang menuju keduanya.

Namun pada dasarnya, penjelasan ilmiah akan hal semacam itu tidak selalu harus ditonjolkan. Terkadang hal-hal sederhana dan intens mampu melampaui penjelasan itu sendiri. Seperti Sore pasca kematian suaminya, ia hanya duduk sendirian dan menangis di Kutub Utara. Namun air matanya mampu menembus mekanisme waktu, tanpa teknologi canggih mesin waktu. Begitu juga saat Waktu menghapus ingatan Jonathan, ia kemudian menyadari emosi implisitnya yang ditinggalkan oleh Sore. Hal itu seakan menegaskan bahwa cinta bukan hanya tentang kenangan dan bagaimana seharusnya realita bekerja, namun juga tentang frekuensi yang mampu menembus beragam batas. Terlebih saat mereka bertemu di akhir cerita. Satu sentuhan, arus ingatan, dan luapan emosi, hingga air mata jatuh dan saling memahami satu sama lain.

Terlepas dari semua konsep tentang sebuah karya, film ini begitu menyebalkan. Ada perasaan kosong yang begitu pekat setelah menontonnya, dan sebagian besar penonton dengan segala keterbatasan, akan mencoba menguraikannya. Katakanlah kita pernah mengalami rasa rindu yang begitu besar terhadap sesuatu yang tidak kita pahami. Kemudian kita berusaha menuntaskan rasa rindu itu pada berbagai hal atau melalui berbagai mediasi. Seperti sebuah lagu yang menjadi jembatan memori bila kita ingin mengingat momen-momen tertentu, meski pada akhirnya kita tetap tidak mampu menjangkaunya.

Bagian ironisnya, rasa hampa itu hanyalah dampak kesepian dalam diri kita yang terlalu lama dibiarkan. Gagasan tentang sesuatu yang mempunyai hubungan erat dengan diri kita hanyalah omong kosong. Bisa jadi itu hanyalah keserakahan kita terhadap suatu khayalan dan kita bisa memulai bertanya pada diri masing-masing “Apakah perasaan ini dampak dari cinta di masa depan atau hanya sebuah fantasi hampa yang kita ciptakan sendiri?”

Penyunting: Arief Kurniawan

Santri di Pesantren Kreatif Baitul Kilmah Yogyakarta. Instagram: @frans219