Sokola Rimba: Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba
Judul
buku : Sokola Rimba
Penulis : Butet Manurung (Saur
Marlina Manurung)
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun
terbit : 2013
Jumlah
halaman :
348
Menjaga hutan memang sulit sekali, orang pemerintah saja tak bisa.
Apalagi saya yang baru belajar baca tulis dan hitung …
– Peniti Benang –
“Sokola Rimba” merupakan buku karya Butet Manurung yang diterbitkan
pertama kali oleh Insist Press dan diterbitkan ulang oleh Penerbit Buku Kompas.
Buku ini mengisahkan tentang perjuangan penulis dalam menginisiasi dan mengembangkan
pendidikan bagi masyarakat pedalaman, terutama bagi komunitas Orang Rimba di
kawasan Hutan Bukit Duabelas, Jambi. Buku ini dilengkapi dengan
ilustrasi-ilustrasi sederhana yang indah pada sebagian halamannya. Selain itu,
Butet Manurung juga menyisipkan section khusus berisi foto-foto
dokumentasi kehidupannya bersama Orang Rimba di pertengahan buku ini.
Butet Manurung sendiri merupakan seorang lulusan sarjana dari
Jurusan Antropologi dan Jurusan Sastra Indonesia Universitas Padjajaran. Ia
juga merupakan seorang peraih gelar master dari Applied Anthropology and
Participatory Development Australian National University. Pada tahun 2003,
Butet bersama empat orang rekannya sesama pendidik yang telah lama berkegiatan
di komunitas Orang Rimba Jambi mendirikan SOKOLA, sebuah organisasi nirlaba
yang menyediakan kesempatan pendidikan di daerah pedalaman Indonesia.
Sokola Rimba menceritakan perjuangan Butet Manurung yang selama
bertahun-tahun berusaha mendekati masyarakat komunitas Orang Rimba di Hutan
Bukit Duabelas Jambi agar mereka mendapat pendidikan. Diceritakan sejak awal
kisah, Butet bekerja di bidang pendidikan sebuah LSM konservasi hutan di Sumatera
yang bernama WARSI dengan gaji Rp
500,000,- per bulan. Tugas utama yang diberikan padanya saat itu yaitu mengajarkan
baca tulis bagi anak-anak Rimba.
Orang Rimba adalah sebutan bagi suku yang mendiami Taman Nasional
Bukit Duabelas (TNBD), Jambi. Orang Rimba hidup di dalam kawasan hutan dengan
berburu dan meramu. Mereka hidup nomaden berkelompok. Sayangnya, kehidupan Orang
Rimba banyak menghadapi gangguan, terutama karena kerusakan hutan, penebangan
liar, dan konversi hutan menjadi lahan perkebunan.
Ketika Butet berusaha mendekati Orang Rimba dan menawarkan
pendidikan, mereka cenderung takut, bahkan menolak mentah-mentah. Mereka
beranggapan bahwa pendidikan hanya akan membawa sial dan mengubah adat istiadat
warisan nenek moyang mereka. Bahkan, mereka menjuluki pulpen sebagai “setan
bermata runcing.” Mereka menyebutnya demikian karena sering merasa ditipu oleh “orang
terang” (sebutan Orang Rimba untuk masyarakat kota atau desa selain mereka
sendiri).
Kalau mereka memang menipu kami, biarlah Tuhan yang menghukum
mereka!
Jangan kau usik-usik adat kami!
– Orang Rimba –
Kelompok-kelompok Orang Rimba tersebar di kawasan Hutan Bukit Duabelas
yang luasnya lebih dari 60.000 hektar. Bukit ini dipercaya oleh Orang Rimba sebagai
tempat bersemayamnya dewa-dewa, setan, maupun jin. Terdapat tiga kabupaten
(Batang Hari, Muaro Tebo, Sarolangun) yang dihuni oleh sekitar 11 temenggung
(kelompok Orang Rimba). Masing-masing kelompok terdiri dari beberapa keluarga
yang selalu tinggal berpindah-pindah. Selama bertahun-tahun, Butet berpindah-pindah
dari satu rombong (kelompok) Orang Rimba ke rombong lainnya. Rombong Sungai Tengkuyungon
merupakan rombong Orang Rimba pertama yang ditemui oleh Butet yakni pada
Oktober 1999 (sekitar tiga pekan setelah kedatangannya di Jambi).
Orang Rimba hidup dari alam. Mereka tahu betul cara memanfaatkan
seluruh potensi alam yang ada untuk menyokong kebutuhan hidup sehari-hari
mereka tanpa merusaknya. Namun, ketidakmampuan mereka dalam membaca dan menulis
lama-kelamaan akan menjadi sebuah titik lemah fatal yang jika tidak segera diatasi
berpotensi menghapuskan keberadaan mereka. Hal ini disebabkan karena kepungan
arus modernisasi yang terutama dibawa oleh masyarakat transmigran yang tinggal
di perkampungan sekitar hutan.
Kulihat satu fenomena, bahwa Orang Rimba sudah menjadi bagian dari
perputaran uang (ekonomi) dunia luar. Mengenal uang, konsekuensinya juga harus
melek huruf!
– Butet Manurung –
WARSI sebagai lembaga dengan visi konservasi hutan membuka pintu
pengenalan pendidikan bagi Orang Rimba. Namun, konsep pendidikan seperti apa
yang paling tepat untuk diterapkan bagi Orang Rimba belum diketahui. Oleh
karena itu, dalam perjuangannya selama bertahun-tahun, Butet dituntut kreatif
menggunakan segala cara untuk mendekati Orang Rimba, terutama anak-anak mereka.
Usaha-usaha yang ia lakukan misalnya dengan mengajar anak-anak Rimba bersepeda,
mengusahakan pengobatan bagi rombong Orang Rimba yang terkena wabah, hingga
terpaksa memberikan pelajaran baca tulis secara sembunyi-sembunyi ketika
pendidikan yang dibawanya dianggap membawa sial.
Mereka tidak suka Ibu, kita bisa saja diusir begitu bertemu mereka,
Bu. Mereka bilang Temenggung meninggal adalah kutukan, gara-gara Ibu mengajar
baca-tulis.
– anak-anak Rimba –
Tidak seperti sekolah pada umumnya, hubungan yang muncul di antara
Butet dan anak-anak Rimba didikannya adalah sebuah hubungan timbal-balik. Hal inilah
yang sangat jarang ditemukan di sekolah pada umumnya. Sekolah-sekolah yang ada cenderung
mendiskreditkan murid hanya sebagai obyek pendidikan yang harus menerima
seluruh ilmu pengetahuan yang diberikan oleh guru, serta menerima hukuman
apabila tidak mampu menyerap ilmu-ilmu yang diajarkan. Dalam salah satu
cuplikan percakapan dengan anak-anak didiknya, Butet akhirya paham bahwa ini
merupakan alasan mengapa anak-anak Orang Rimba sangat enggan bersekolah di
desa. Di benak mereka, hukuman yang diberikan oleh guru kepada murid yang tidak
patuh telah mencetak gambaran buruk tentang sekolah.
“Tidak mau, guru di desa suka menghukum, tidak suka bercanda.
Katanya mereka juga yang selalu menentukan jam berapa sekolahnya dan apa yang
dipelajari. Kami senang diajar kamu, asal kamu masuk hutan.”
Ah, aku jadi tahu, sekolah seperti apa yang mereka mau.
Sokola Rimba yang didirikan oleh Butet dan beberapa kawannya semasa
masih bekerja di WARSI merupakan satu-satunya sekolah yang mencitrakan
pendidikan fleksibel ala rimba. Bagi Butet Manurung serta kawan-kawannya, totalitas
dan loyalitas pada mimpi mereka untuk memberdayakan Orang Rimba merupakan
bagian dari rangkaian perjuangan panjang. Tak hanya sebatas pada transfer ilmu
pengetahuan, tetapi mereka juga mencoba masuk lebih dalam untuk menyadarkan
Orang Rimba akan potensi dan makna eksistensi mereka.
Dalam mengajar, ada hal yang lebih penting daripada kepintaran,
yaitu cara kita memberikan pelajaran, yang membuat murid merasa bahwa belajar
itu menyenangkan. Tapi yang terpenting dari semua itu adalah pemahaman mengapa
pendidikan itu penting bagi Orang Rimba.
– Butet Manurung –
Pada tahun 2013, kisah dalam buku “Sokola Rimba” yang ditulis Butet
Manurung ini diadaptasi menjadi film dengan judul yang sama oleh produser dan
sutradara Mira Lesmana dan Riri Riza. Film ini telah diputar di berbagai
festival internasional dan mendapatkan banyak penghargaan baik nasional maupun
internasional.
Resensi ditulis oleh: Mumtaz Nabila Ulfah
Beri Balasan