

Oleh: Martono
Lintang–gadis remaja pengantar kopi–akhirnya muncul kembali. Berjalan pelan-pelan menuntun Kaki Buyut, sosok yang dinanti dua belas tamu pria. Tiga kursi mahoni langsung lega ketika mereka berdiri, lalu bergantian menyalami secara takzim. Setelah Kaki Buyut melungguh, Lintang memisahkan diri menuju tikar, bersimpuh menghadap televisi.
“Beringin-beringin purba sebanyak sepuluh pokok: ada dua paling raksasa bertakhta di puncak bukit memayungi pusara leluhur, cikal bakal kampung ini, sedangkan delapan lainnya melekat pada tebing di berbagai sisi. Tersebar pula pepohonan tua: medang, gayam, pulai, randu alas, dan akasia. Di sela-selanya menyimpan kukang, luwak, bajing, sanca jelmaan kaki danyang, serta burung hantu putih titisan nini danyang. Tak elok bertemu mereka, apalagi berniat mengusir. Setiap gumpalan tanah Bukit Asmoro berisikan tulah. Jadi, jangan sembarangan. Termasuk membabat hutan, mencukil akar-akar pohon. Bisa malang nasib kalian!” tegur sang penjaga sekaligus mewejang dengan suara lamban.
Alasan mereka bertandang ke rumah Kaki Buyut lantaran gelora ambisi. Konon, mereka adalah dua belas pria mapan yang kini digandrungi banyak orang. Selama satu dekade, mereka berhasil menaklukkan Jepang dan Korea Selatan lalu pulang sebagai miliarder. Dulu, kediaman mereka sangatlah sederhana, bahkan terbilang miskin, sekarang dua lantai mentereng dilengkapi kendaraan roda empat. Barang-barang mereka serba mewah, para istri pun didandani dengan baju necis dan emas-emasan, yang masih bujang segera mempersunting gadis paling cantik seantero desa. Menurut warga, mereka bukan sekadar TKI, melainkan himpunan perintis yang terbukti mampu mengangkat taraf hidup keluarganya. Imbasnya, orang-orang tidak hanya segan, tetapi juga menganggap gagasan mereka selalu memiliki akar yang jelas dan terukur. Dari pengalaman yang terkesan hebat itu, ide menyulap Bukit Asmoro menjadi vila-vila cantik langsung didukung penuh oleh penduduk sekitar. Padahal bukit setinggi 150 meter itu sudah ratusan tahun dikeramatkan.
“Tentu, kami sangat menghormati moyang kita. Namun, kami bukan lagi anak kecil, Ki. Cerita-cerita mistis, menakutkan, hanyalah bualan semata. Sudah sepantasnya, hal demikian tak lagi dipercayai. Selain warga, Pak Lurah beserta jajaran amat setuju dengan rencana matang kami. Jika suatu saat ramai dikunjungi pelancong, pasti berdampak baik bagi masyarakat. Kami hendak berkontribusi dalam pembangunan kampung. Tolong diizinkan, ya, Ki?” pinta Lukito yang merupakan ketua paguyuban.
Kaki Buyut membuang napas dalam-dalam lalu berkata, “Nduk! Lintang!”
Gadis itu lekas berdiri dan mendekatinya. Ternyata, Kaki Buyut kepingin digandeng kembali ke kamar. Mereka berjalan perlahan-lahan menuju belakang.
“Sebentar, ya, Pak, Mas,” ucap Lintang kepada para tamu.
Seusai mengantar Kaki Buyut, Lintang balik ke depan seorang diri untuk menyampaikan beberapa kalimat, “Pak, Mas, Kaki memang lagi tak enak badan sehingga perlu istirahat di kasurnya. Beliau berpesan agar tak menyalahi aturan turun-temurun, bahwa tak sepantasnya mendurhakai apa yang terkandung di Bukit Asmoro. Ibarat rumah, janganlah dirobohkan tiangnya.”
“Baiklah, jika demikian wejangan beliau. Kami membawa hadiah untuk kalian.” Mereka menyodorkan kotak besar. “Semisal Kaki berubah pikiran, kabari kami, ya,” sambung Lukito.
Lintang berangguk lantas berterima kasih. Mereka ber-12 berhamburan menunggangi motor, berboncengan meninggalkan pekarangan. Lintang bergegas memberesi gelas, piring, dan asbak. Setelah selesai, ia kembali menjamah ranjang Kaki Buyut dengan kotak besar di pelukan.
“Mereka memberi kita hadiah, Ki.”
“Kaki enggan percaya dengan ketulusan hati mereka. Datang seolah-olah santun, baik-baik, agar diizinkan menguliti hutan Bukit Asmoro. Pak Lurah yang semalam berkunjung ke mari pun telah bersekongkol, berhasil dibujuk oleh janji mereka. Sodoran 5 juta Kaki tolak, bahkan sempat menyogok hingga 50, ataupun boleh memilih renovasi rumah,” keluh Kaki Buyut.
Lintang akhirnya sukses membukanya dengan bantuan pimes. “Owalah, pantas saja lumayan berat, wong isinya sembako. Ada koko dan sarung, berarti ini buat Kaki. Wah, diselipi amplop tebal.” Lintang segera merobek, “Duit segepok, Ki! Tulisan di bendelnya 10 juta,” ujarnya girang.
“Ah, kotak suap. Biarkanlah, besok kembalikan pada mereka,”
Lintang berawai lalu bertanya, “Kenapa sih, Ki, tak membolehkan Bukit Asmoro dialihkan menjadi vila? Orang-orang kelurahan sudah sepakat kan? Apa lantaran angker sehingga Kaki melarangnya?”
“Tempat keramat selalu diidentikkan dengan penunggu, bahasamu angker. Dikenal takhayul bagi yang enggan percaya. Selalu ada alasan tersendiri, mengapa suatu lokasi tak boleh dialihfungsikan sama sekali,” jawabnya.
“Dulu, Kaki sering ke sana tak pulang berhari-hari, pas pulang masih utuh dan sehat sih. Kaki sakti seperti kata warga, kah?” telisik sang cucu.
Kaki tertawa kecil, “Bukan. Kaki bukanlah orang yang sakti mandraguna, bukan pula pengabdi ilmu-ilmu hitam. Kaki hanya terlalu dekat dengan makam kakek-nenek danyang, pohon-pohon tinggi nan rimbun, menembus malam gulita, dan kesendirian yang sunyi. Mungkin itulah sebabnya, sehingga Kaki dianggap memiliki kekuatan supranatural. Tapi, efeknya positif loh, justru gelar Kaki Buyut sebagai juru kunci Bukit Asmoro selamanya dihormati.”
“Memang apa yang akan terjadi apabila Bukit Asmoro dibangun vila, Ki?”
Sang Kaki diam sebentar, lalu berkata, “Semisal Bukit Asmoro dipangkas habis kemudian dirangkai menjadi vila estetis, berarti menundung leluhur dari singgasananya karena berani memindahkan ke lahan asing. Suatu hari nanti bakal porak-poranda. Bukit Asmoro yang kehilangan pohon besar, rimbun, dan tenang, tak mungkin tinggal diam. Gugusan tanah-tanah itu bakal menggugat sebab murka diperlakukan lucah oleh loba manusia. Mereka adalah orang-orang beruang, tapi fakir ilmu. Jadi, Lin, kalau sewaktu-waktu Kaki berpulang, tinggalkan kampung ini, ikutlah mbakyumu,” welingnya.
Lintang beralih ke lemari untuk mengamankan amplop berisi 10 juta dari dua belas tamu tadi. Dan saat itulah Kaki Buyut menamatkan hidupnya, melihat terakhir kali punggung sang cucu. Mengemban tugas menjaga Bukit Asmoro sudah 50 tahun, dan rupanya cukup sampai di sini.
* * *
Desas-desus realisasi pembuatan vila sudah menyambangi banyak telinga, termasuk ke kuping Lintang. Kabarnya, dua belas orang itu mengantongi restu dari Kaki Buyut sebelum wafat. Para warga dan orang kelurahan yang dari awal mendukung tentu enggan mengecek kebenarannya.
“Lintang hendak mengembalikan uang ini, Pak,” ucapnya di ambang pintu kediaman Lukito.
Lintang disilakan masuk. Di kursi kayu jati, ada lima orang lainnya yang kemarin ikut mengunjungi rumahnya. Lintang duduk paling ujung, kemudian Lukito menyusul di sebelahnya membawa teh botol.
“Uang itu sebaiknya Lintang simpan saja, meskipun Kaki menolak. Untuk Lintang, untuk biaya sekolah Lintang. Dan, ya, hitung-hitung harga tutup mulut. Segitu cukup kan?” tanya Lukito dengan lirih. “Dilarang menolak, ya. Di sini ada enam pria. Mau, kami aniaya?” bisiknya mengancam.
Lintang agak bergidik lalu berkata, “Tenang saja. Saya pindah kok setelah ini. Walau berat meninggalkan kampung karena kenangannya. Saya juga tidak akan buka mulut. Lagi pula, siapa yang ingin mendengarkan? Anak seusia Lintang selalu tak memiliki ruang bersuara. Para warga sudah dimabuk janji kan? Dan saya juga tak memerlukan uang ini,” menaruh di atas meja. “Terimalah dampaknya jika terjadi suatu tragedi. Biarkan saya pergi. Jangan menghalangi,” ujarnya menahan kecewa mendalam.
* * *
Persis hari ini, sudah empat bulan Lintang tinggal bersama sang kakak dan keluarganya. Selain bercengkrama hangat dengan mereka, Lintang telah memiliki beragam teman. Siang itu, Lintang mengajak teman-teman sekolahnya membahas PR kelompok di kediamannya. Apalagi jarak sekolah ke rumah amatlah dekat. Mereka pun cukup memakai payung bersama. Sudah tiga hari ini hujan turun berturut-turut dan selalu lebat. Kali itu mereka sungguh gembira karena hujan rintik-rintik.
Mereka menyerbu kamar Lintang, kemudian meja makan, dan berlabuh di ruang tengah. Sebelum mengerjakan PR, salah seorang kawan izin menyalakan televisi. Pukul empat belas tepat, seorang pembawa berita menceritakan kronologi terjadinya longsor di suatu desa berbukit mungil. Begitu melihat rekaman amatir, Lintang tiba-tiba meraung keras hingga dua rekannya panik dan segera mencari kakaknya. Lintang sangat mengenali lokasi di layar kaca.
Mesin dan manusia berkomplot. Itulah suasana terakhir di dalam ingatan Lintang perihal kampungnya. Orang-orang berbondong menebangi pohon-pohon, menghilangkan kengeriannya. Tanpa Lintang tahu, mereka amat rakus membabat sampai mengeduk akar-akarnya. Termasuk dua beringin paling purba, sedangkan makam moyang mereka dimigrasikan di lahan kosong samping gapura. Mereka meminta pendapat dari mbah dukun di kampung seberang. Bukit Asmoro hanya menyisakan pohon-pohon di bagian bawahnya saja, yakni jati putih, bambu, akar wangi, semak pakis, hanjuang, dan rotan kecil. Sementara itu, binatang-binatang terpaksa minggat beralih hutan.
Vila Asmara, namanya. Siap beroperasi seminggu lagi. Menyediakan dua belas bangunan, dua di puncak dengan dua lantai, serta sepuluh yang tersusun ke bawah dengan satu lantai. Vila-vila itu dihubungkan oleh seribu anak tangga yang membentuk zig-zag. Dilengkapi gazebo kecil dan lampu-lampu menyala berderet. Setiap vila ditanami palem kuning, ketapang kencana, bugenvil, dan sepit udang. Mereka ber-12 melihat hasilnya dengan bangga. Vila impian yang sempat mereka singgahi sewaktu berlibur bareng, kini terwujud. Pengelola bakal mereka sendiri. Masyarakat diminta mendirikan warung-warung dan lahan parkir. Sisanya kerja bantu-bantu.
Sebelum dibuka umum, datanglah penghujan. Curah yang sangat tinggi menghujam bangunan dengan sistem perhitungan serba ngawur. Tebing dipotong 75 derajat berdinding terasering yang hanya ditahan oleh batu kali tak bertulang. Sistem drainase yang kacau tak mampu lagi menampung debit air. Lubang-lubang bekas akar-akar tak dipadatkan dengan sempurna. Pondasi juga terlalu dangkal. Naas, vila-vila kayu yang tampak cantik dan nyaman itu luruh ke bawah bersama tanah. Longsor menimpa seluruh rumah penduduk, kecuali makam leluhur.
* * *
Di kamar, Lintang duduk berselimut. Teh hangat setengah tandas. Ia masih syok. Malam itu, Lintang mengenang welingan Kaki Buyut. Ternyata, bukan kemarahan moyang secara mistis, melainkan tanah itu sendiri. Tebing sangatlah rapuh, beringin dan pohon-pohon tua menahan tahan. Dan akar-akar mengikat air. Manusia memang ceroboh dan tamak. Orang terdahulu memanfaatkan narasi gaib untuk mengatur perilaku manusia agar alam terkondisikan.




























Beri Balasan