

Oleh: Nicesila Astagina Kireiriko
Di tengah semak belukar,
tanah-tanah merah melukis jejak para pemilik telapak kaki mungil.
Dibuatnya di atas permukaan licin,
menjadi bukti yang mempertontonkan satu-persatu bayi terperosok,
kala berlarian merebut mata dalam memandang jendela dunia.
Disapanya mereka dari balik batang pohon kelapa sawit,
bersama lengkungan bibir yang tidak pernah sembunyi,
“Pemuda! Berhati-hatilah melompat pada batuan sungai di sana!
Gulung celana merah itu!
Biar air tidak menghantam rapinya lipatan bunda.
Jangan coba-coba untuk berputar!
Bangku-bangku di sana tidak ingin kesepian.”
Abah, melipat kedua tangannya,
menyorot belakang punggung mereka yang masih begitu lunak;
Oh, Tuhan…
Bilamana ilalang pernah menjerat sepatu-sepatunya,
maka putuskan ikatannya.
Bilamana hujan menjatuhkan langkah-langkahnya,
maka jadikanlah pohon-pohon ini pelukan hangat baginya.
Bilamana putri malu merunduk karena kegigihannya,
maka teruslah begitu sampai garis ajal diinjak olehnya.
—Sungguh, bagiku, mereka pengobar hajat usang jiwa-jiwa seperti kami —
Beranjak ke bukit dengan menuntun dua kerbau,
ia bergulat dengan gundukan benak dalam kepala.
Dibawalah kakinya menuju tangga langit,
menasihati hamparan gunung dan bentangan semesta,
hingga gelap mengecup keningnya.
Kami belum ingin mati.
Masih ingin melihat kalian semua hidup,
se-la-ras.
Petuah-petuah yang dilayangkan,
dan air mata yang timbul melalui embun di atas daun dan keringat kami,
jadikanlah pemantik cinta ‘tuk saling memberi.
Ribuan kasih telah kami tanam pada kalian,
sejak berbentuk bibit,
hingga bisa bergerak bebas dengan kehendak.
Kami biarkan napas kalian bertukar
Kami biarkan kalian saling tergantung
Kami biarkan,
kehidupan menuntun kalian ‘tuk pergi jauh,
namun jauhlah dari paradigma yang menuntut kehancuran.
—Kami membentuk surga,
bukanlah kami malaikat,
juga bukan Tuhan.
Kami, pemelihara yang memelihara; kalian.—
Sekali lagi ditekankan,
bilamana bersekongkol menciptakan keutuhan,
maka keberhasilan menoleh di depan mata.
Kami, juga melihat surga, yang masih begitu sempurna indahnya, bah.
Kampung Adat Urug, 9 November 2025





























Beri Balasan