

Matahari pagi mulai menyeruak ke permukaan, menegaskan dirinya masih berada di tempat yang sama, menyambut semua hal-hal yang eksis hadapannya. Cahaya menyelinap ke rumah-rumah warga dan membangunkan para penghuni di dalamnya. Termasuk pada rumah Pak Supriadi. Beliau terbangun dengan segarnya setelah semalaman memejamkan mata tanpa adanya gangguan. Saat mengucek-ngucek matanya, Pak Supriadi terkaget dan teringat oleh sesuatu. Hari ini adalah hari ulang tahun anak perempuannya yang kesepuluh. Genap sudah umur anak perempuannya itu sehingga Pak Supriadi mencoba untuk memberikan hadiah yang dapat menemani anaknya tersebut. Beliau memutuskan akan membelikan anak perempuannya itu seekor kelinci.
Pak Supriadi berangkat menuju pasar dengan niatan untuk memberikan anaknya itu sebuah hadiah setelah kerja nanti. Beliau membeli kelinci berjenis Holland Lop karena memiliki tubuh yang mungil dan berpikir bahwa itu akan membuat anaknya menyukainya. Kelinci tersebut memiliki telinga yang lebih panjang ke bawah dibandingkan rekan seasalnya, Nederland Dwarf. Awalnya Pak Supriadi menebak kepada penjualnya bahwa kelincinya tersebut berasal dari negara Tiongkok karena terdapat kata “Holland” dan “Nederland” yang kemudian ia sadari bahwa ia salah besar dan tersadar bahwa kelinci-kelinci tersebut berasal dari negara Belanda. Ia mengaku bersalah terhadap penjual tersebut dan membuat surat permohonan maaf sepanjang 12 km dengan tanda tangan Pak RT dan Pak RW setempat karena merasa malu atas kesalahannya. Si penjual pun memaafkannya. Ia tersadar bahwa dunia itu luas dan ia masih belum tahu bahwa di dunia ini ada negara bernama Belanda. Ia menebak Tiongkok karena semua barang yang berada di rumahnya berasal dari Tiongkok dan mengira kemungkinan besar kelinci-kelinci tersebut juga berasal dari Tiongkok.
Setelah membeli kelinci berjenis Holland Lop, kemudian beliau pergi ke rumahnya. Ia bergegas membangunkan anak perempuannya yang masih tertidur hingga sore hari. Anaknya terbangun mengucek matanya, terkejut melihat bapaknya memberikan hadiah untuk ulang tahun kesepuluhnya. Dilihatnyalah kelinci mungil nan lucu tersebut. Ia kegirangan hingga memeluknya erat-erat. Saking eratnya kelinci tersebut hampir saja mati, tetapi Pak Supriadi segera memberikan obat paracetamol kepada kelinci tersebut sehingga tidak jadi mati. Syukurlah.
Pak Supriadi dan anaknya kemudian memberikan nama kelinci tersebut dengan nama “Macan” setelah berunding selama satu jam dua detik. Bukan tanpa alasan, Pak Supriadi dan anaknya memberikan nama demikian, nama tersebut diberikan terhadap kelincinya untuk menghindari para predator yang akan membunuhnya. Semisal, terdapat hewan buas yang akan menerkamnya, maka mereka akan tertipu karena kelinci itu adalah Macan. Menurut Pak Supriadi, pemberian nama tersebut merupakan langkah bijak yang dapat menyelamatkan hidup kelinci kecilnya. Namun, sangkaan itu justru berubah menjadi bumerang yang kemudian dia akan ketahui nantinya.
***
Suatu malam, Pak Supriadi dan anaknya lupa mengandangi kelincinya. Kelinci ini entah bagaimana bisa keluar dari rumah. Kelinci tersebut berlari dengan sumringah menuju ladang yang banyak sekali dengan rerumputan. Dalam ladang yang besar itu, seekor macam datang menuruni ladang. Melihat rerumputan yang bergoyang, macan itu bernyanyi lagu Ebiet G. Ade sebentar, setelah itu menerkam “makhluk” di dalam bayang-bayang rerumputan yang panjang. Dan Tertangkap.
“Oh, kamu seekor kelinci ya?”
“Bukan, aku Macan. Majikanku selalu memanggilku Macan.”
“Aku juga seekor macan, tetapi bentuk tubuh kita sangat berbeda.”
“Semua makhluk memiliki tubuh yang berbeda-beda.”
“Betul juga, karena kita sama-sama seekor macan, aku tidak boleh memakan temanku. Baiklah aku akan tinggalkan kamu di sini untuk mencari mangsa lain. Dadah.”
Hari itu kelinci tersebut terselamatkan sesuai dengan perkiraan majikannya. Nama tersebut memang digunakan dengan tujuan itu: menghindari para predator. Kelinci itu terus-menerus berlari riang selain karena tidak jadi dimakan macan, ia juga berada di ladang yang sangat luas. Hingga pagi datang, Pak Supriadi dan anaknya mencari kelincinya yang hilang hingga menemukannya. Pak Supriadi menemukan sedikit luka di badan kelincinya dan tahu pasti itu adalah terkaman macan yang meresahkan warganya di desa selama sebulan terakhir. Pak Supriadi senang menamainya demikian.
***
Seminggu setelah kejadian sebelumnya, kelinci tersebut kembali bisa keluar dari rumahnya. Kali ini kelinci tersebut pergi ke sawah. Ia melihat para petani sedang membajak sawahnya dengan penuh ketelitian. Ia melihat-lihat sambil mengelilinginya dan yakin tak akan ada yang menerkamnya lagi. Jika ada pun, dia akan menjawab bahwa dia adalah Macan dan semua predator akan meninggalkannya. Dia bahagia sekali. Majikannya benar. Dia akan selamat dengan pemberian nama itu.
Hingga matahari mulai lebih terik, para petani beristirahat di pinggir sawahnya. Salah seorang kemudian melihat kelinci yang sedang berlari-larian. Ia menangkapnya.
“Oh, kelinci yang malang, pasti kamu tersesat di sini. Akan kubawa kamu ke tempat yang lebih teduh.”
“Aku bukan kelinci, aku adalah Macan.”
Seketika orang tersebut melemparkan kelinci yang berada di tangannya. Ia lari terbirit-birit meninggalkan kelinci tersebut dan memberitahukan kepada teman-temannya di pinggir sawah bahwa dia bertemu dengan Macan. Para petani menjadi lebih panik. Beberapa orang menyiapkan golok, bambu, hingga pacul untuk berjaga-jaga dan mengusir binatang tadi. Setelah semuanya bersiap-siap, orang tadi menunjukan lokasi di mana ia menemukan binatang tersebut. Semua orang mengambil ancang-ancang. Hingga kelinci yang bernama Macan itu sudah dekat dan meloncat, para petani langsung memukul-mukul hewan tersebut. Mereka memukul dengan sekeras-keras dan sekejam-kejamnya hingga salah satu matanya tercopot dan ususnya mulai berkeluaran. Salah seorang sudah menyiapkan bensin dan menyiramkannya ke tubuh hewan tersebut. Terlihat seorang lagi memberikan api hingga terbakarlah seluruh badan mungilnya. Orang-orang di sana menganggap kelinci yang bernama Macan itu adalah pelaku sesungguhnya yang meresahkan hewan-hewan ternak mereka selama sebulan terakhir sehingga mereka mencoba membunuhnya.
Pak Supriadi yang kebetulan rumahnya tidak terlalu jauh di tempat kejadian pun keluar menuju lokasi kegaduhan. Ia melihat kelincinya yang sudah tak berdaya itu dilahap habis oleh api. Segera ia mengambil air dari irigasi untuk memadamkannya. Ia terdiam. Termenung melihat hewan peliharaan yang seharusnya menjadi teman anaknya itu menjadi abu. Tersadar bahwa manusia bisa sekejam dan semengerikan itu saat dipenuhi oleh rasa ketakutan walaupun lawannya hanyalah kelinci bertubuh kecil. Pak Supriadi berharap, semoga dunia tidak dibangun atas dasar rasa ketakutan. Ia kemudian mewadahi debu dan tubuh sisa kelincinya. Selama membersihkan sisa-sisa debunya, air mata beliau turun. Setelah itu, beliau pergi meninggalkan para petani tersebut tanpa sepatah kata pun.
Pak Supriadi memberitahukan kepada anaknya dengan tersedu-sedu karena menangis. Anaknya pun ikut menangis. Ibunya pun ikut menangis. Neneknya juga menangis. Kakeknya tidak menangis karena masih makan bubur. Pak Supriadi sambil menatap wajah anaknya yang manis, mengusap air mata anaknya dan mengelus-elus wajahnya.
“Apa yang kita bisa pelajari dari hal ini, Nak?”
“Kita tidak boleh lagi memberi nama hewan peliharaan kita dengan nama hewan-hewan buas. Sebaiknya kita memberikan nama hewan peliharaan kita dengan nama buah-buahan.”
Pak Supriadi mengangguk menyetujui pernyataan anaknya itu. Tampaknya anaknya sudah mulai berpikir dewasa.
“Apa yang kamu katakan itu ada benarnya, Nak. Namun, ada satu hal yang perlu juga kamu ingat. Di dunia ini, ada banyak hal yang tidak kita ketahui dan dunia bekerja sangat kompleks. Kita sudah seberusaha mungkin memberikan nama terbaik untuk kelinci kita sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman kita demi kebaikan dan keselamatannya, tetapi sesuatu hal lain terjadi menimpanya juga. Kita tidak pernah mengira hal itu akan terjadi padanya. Bukan berarti kita perlu menyesali keputusan-keputusan kita saat lalu. Itu keputusan yang terbaik sesuai kapasitas pengetahuan kita juga saat itu. Kita perlu belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalu agar tidak terulang kembali. Itu saja.”
Pak Supriadi melihat kembali debu-debu hewan peliharaannya. Ia menangis kembali. Anaknya juga masih menangis. Ibunya juga. Neneknya juga. Kakeknya juga menangis karena buburnya sudah habis. Para tetangganya menghitung bahwa keluarga Supriadi menangis selama 42 hari 5 jam 3 menit karena kejadian tersebut. Namun, setelah kejadian tersebut, Pak Supriadi menjadi orang yang paling bijak di desa menurut para tetangganya.
Penyunting: Al Ninantari
Beri Balasan