Kura-Kura Emas Bertempurung Kelapa

Ilustrasi oleh wirestock

Oleh: Lensy Ervina

Bapak dan Ibu meninggal semasa aku belum terlalu besar. Kakek dan Nenek meninggal lebih awal lagi. Paman dan tetangga tidak meninggal karena jauh lebih muda dari Bapak-Ibu ataupun Kakek-Nenek. Sebenarnya, mereka meninggal bukan karena usia, tapi karena memang sudah waktunya. Jiwa-jiwa kami sengaja membunuh dan menggotong badan mereka pergi dari hutan.

Sebagai pohon jati yang menghuni hutan di lereng pegunungan, aksi tewas-menewaskan ini lazim terjadi. Namun, sebagai seorang anak pohon jati, aku tetap sedih. Bagaimanapun, mereka keluargaku. Sama seperti anak-anak penduduk desa yang pulang ke pangkuan orang tua saat matahari mulai tenggelam. Meski aku tidak bisa memeluk Bapak maupun Ibu, aku juga tetap butuh kehadiran mereka. Tapi, Ibu bilang jangan terlalu sedih. Bapak dan Ibu serta mayat lain yang digotong jiwa-jiwa kami tidak akan berakhir sia-sia. Selamanya, kami tidak akan mati sia-sia. Kami bisa berguna untuk mengisi rumah-rumah mereka, bermanfaat untuk mereka. Lagi pula, kami hidup juga karena mereka. Tanpa seleksi mereka, kami akan semakin rakus, membiarkan yang lain membusuk karena kekurangan makanan. Kami bisa jadi monster untuk satu sama lain. Jadi, kami tidak bisa hidup tanpa manusia, begitu pun sebaliknya. Kami adalah jiwa-jiwa mereka. Mereka adalah jiwa-jiwa kami.

Sebenarnya, aku tidak tahu pasti apakah yang Ibu katakan soal kami bermanfaat untuk jiwa-jiwa kami itu benar atau tidak. Namun, melihat mata mereka yang penuh selidik saat mengunjungi hutan, saat memeriksa tubuh besar kami, saat memutuskan untuk mengambil nyawa hanya beberapa dari kami, hingga mata berbinarnya ketika memanggul setumpuk kayu di pundak untuk di bawa ke tempat tinggal, aku akhirnya percaya kepada Ibu. Kudengar tempat tinggal mereka disebut desa. Tempat yang sepertinya ramai mengingat kaki mereka tidak tertanam dalam tanah seperti kami. Tempat yang hangat karena mereka bisa berteriak dan berbicara sepenuh hati sebab dunia bisa mendengar dengan jelas kata-kata mereka. Dan sepertinya, kali ini desa lebih ramai dari biasanya.

“Ada tamu malang di desa yang putrinya sakit keras. Semua orang pintar sudah dikunjungi, tapi mereka bilang obatnya hanya satu. Kura-kura emas bertempurung kelapa. Hanya ada di hutan ini saja.”

Penghuni hutan sontak terpingkal. Mana ada kura-kura emas bertempurung kelapa? Kura-kura saja jarang ditemukan di sini. Dengan wajah tidak terima, si burung gereja berkata sungguh-sungguh. Matanya membelalak, mengharap kami percaya bahwa yang ia katakan bukan bualan semata. Kami masih tidak percaya, hingga ia meninggalkan kami dengan wajah ketus pada akhirnya.

Jiwa-jiwa kami datang sore itu. Jumlahnya lima orang, membawa tali temali yang dijalin membentuk kantung besar. Dipasanglah kantung itu di tanah, dirangkai sedemikian rupa hingga sanggup menampung seorang anak manusia. Kami kira ada satu dari kami yang akan ditebang. Namun, mereka pergi. Besok pagi hingga pagi lagi, jiwa kami datang silih berganti. Mereka menebarkan kembali tali temali di sudut lain, selagi memeriksa yang telah terpasang apakah membuahkan hasil. Dari sana, barulah aku sadar bahwa burung gereja itu tidak membual. Ada kura-kura emas bertempurung kelapa di tempat ini.

Sulit untuk percaya sebetulnya, tapi aku yakin, jiwa kami tidak bodoh. Mereka bisa membangun kehidupan di ujung hutan, pun memikirkan apa yang ada di dalam hutan, sehingga mudah bagi mereka memprediksi apakah ‘barang’ yang mereka cari itu nyata adanya. Tugasku sebagai penghuni hutan adalah melindungi mereka. Karena kami satu jiwa. Aku jiwa mereka, mereka jiwaku.

“Paman pernah bertemu kura-kura di tempat ini?” tanyaku saat bunyi pecahan daun kering terdengar, jiwa kami datang kembali untuk memeriksa kantung mereka.

“Tidak pernah.” Paman menyodorkan dahannya perlahan, menaungi mereka dari matahari.

“Tapi, Paman percaya?” Aku memastikan pendirianku.

Daun lebar Paman berayun. Jiwa kami yang paling tua mendongak. Wajahnya dijatuhi bayangan daun Paman. Ia mendekat, menepuk kulit kayu Paman beberapa  kali. “Tahun depan.” Jiwa kami yang lain mengangguk-angguk.

“Paman tahu mereka pintar,” kata Paman tenang.

Aku tidak pernah bertemu secara langsung dengan tamu malang itu. Berdasarkan keterangan burung gereja yang bersungut-sungut ketika kupaksa bercerita, ia tidak terlalu tua. Berpenampilan bersih dengan rambut sehitam gagak dan seberkilau sungai. Ekspresinya sering berubah-ubah, namun didominasi rasa sedih dan lelah. Aku memahami perasaannya. Aku pernah punya orang tua, aku juga pernah ditinggalkan. Itu cukup menyakitkan meski aku punya Paman dan teman-teman hewan. Aku mengerti bahwa ia ketakutan setengah mati. Maka dari itu, aku tidak bisa diam di sini.

Aku ingin membantu. Aku ingin mencari kura-kura itu. Sayang, aku tidak bisa bergerak dengan leluasa. Jadi, kulakukan apa yang bisa kulakukan. Kujulurkan dahanku yang sarat dedaunan lebar, mengatapi jiwa-jiwa kami yang sibuk mencari. Kuraup nutrisi sebanyak yang kubisa, menelan semua yang bisa kutelan untuk menguatkan batang tempat mereka bersandar. Memekarkan dedaunan, memperbanyaknya, agar mereka tidak terlalu kesulitan.

Musim kemarau datang lebih cepat dari perkiraan. Kugugurkan dedaunan supaya aku tetap hidup dengan baik. Untuk jiwa-jiwa kami. Untuk tamu malang itu. Untuk putrinya. Menyedihkan, sudah dua minggu pencarian dan tak seorang pun bisa menemukan. Hari-hari diisi rasa kecewa, namun tidak pernah kulihat mereka putus asa.

Suatu hari, saat burung cabak sibuk bernyanyi di bawah rembulan, gemeresik terdengar dari balik semak-semak. Kukira itu jiwa-jiwa kami, namun tidak kutemukan wujud mereka setelah beberapa detik lamanya. Dugaanku tiba-tiba berubah, barangkali itu yang mereka cari! Kupusatkan pandangan, kunanti, kuharap agar ia masuk dalam perangkap. Kupikirkan cara agar aku bisa menggiringnya masuk, sembari terbayang seberapa lebar senyum jiwa-jiwa kami, tamu malang itu, juga putrinya.

Punggung-punggung menegak di belakang semak. Itu manusia. Tak bisa kulihat bagaimana rupanya. Jumlahnya tiga orang dan tidak ada yang bersuara. Mereka buru-buru pergi sebelum aku sempat mengenali perawakan mereka.

Keesokan harinya, burung gereja yang sudah tidak marah lagi bercerita tentang jiwa-jiwa kami yang bergembira. Ada kemajuan! Katanya, jejak kaki keemasan ditemukan di hutan. Burung gereja melanjutkan bahwa setelah sarapan, semua orang akan turun ke hutan. Oh, betapa aku ingin ikut serta!

Keramaian datang tak lama setelahnya. Riuh rendah jiwa-jiwa kami merambat di antara daun dan dahan, seiring dengan pucuk ubun-ubun mereka yang mulai kelihatan. Suara mereka semakin keras dan terus mengeras hingga aku terbelalak saat mereka berhenti tepat di samping Paman. Tempat yang sama, di balik semak yang berisik tadi malam.

“Saya sangat berterima kasih atas bantuan yang telah Bapak dan Ibu berikan kepada saya.” Suara berat yang paling mendominasi itu milik pria berambut sehitam gagak yang air mukanya penuh kesedihan. Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. “Putri saya … semakin kritis.” Itu si tamu malang! “Saya tidak yakin dia bisa bertahan lebih lama. Kami membutuhkan obatnya lebih cepat.”

“Jadi, apa yang harus dilakukan?” Jiwa kami yang paling tua bertanya, setelah keheningan yang cukup lama.

Pria itu mendongak, lalu menepuk kulit kayu Paman beberapa kali. “Kami akan ‘membuka’ hutan ini.” Jiwa-jiwa kami sontak berdengung. Beberapa mulai menegur kasar tidak terima, beberapa lagi menuntut penjelasan. “Kami akan membayar semuanya. Semua orang akan mendapat bagian yang adil. Lebih banyak dari yang kami janjikan sebelumnya. Uang yang cukup agar kalian tidak kesulitan seumur hidup.” Ia mengatupkan kedua tangan di depan dada, air matanya mulai mengalir. “Tolong Putriku.” Lalu, ia mulai tersedu-sedu.

Keheningan membanjiri hutan. Pikiranku tiba-tiba penuh. Aku bingung, sekaligus marah. Tamu malang itu mengorbankan kami. Aku tahu putrinya itu jiwanya, tapi haruskah ia membunuh kami semua? Banyak pepohonan yang masih kecil. Pamanku pun terlampau muda untuk ditebang. Burung-burung masih butuh tempat singgah di dedaunan. Yang jelas, jiwa-jiwa kami masih butuh tempat untuk mencari kayu. Membunuh kami semua merupakan pemikiran yang gila. Aku tahu, jiwa-jiwa kami cukup pintar untuk tidak memikirkan ide yang sama. Kami jiwa mereka, seperti mereka yang menjadi jiwa kami pula.

Seluruh keyakinanku pupus saat jiwa-jiwa kami mengangguk dan pulang tanpa penyesalan.

Jiwa-jiwa kami setuju, untuk membunuh kami semua.

Kami direndam amarah. Tamu malang itu beserta orang-orang lain yang bukan jiwa kami masih berdiri di hutan. Air matanya mengering, lalu ia mendongak pongah. “Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.” Senyum terurai di wajahnya. “Kita dapat kayu jati dan lahan sekaligus! Tahun depan gedung besar akan berdiri di sini.” Kakinya dihentak kuat-kuat, lalu mulai tertawa kesetanan. “Jangan lupa siapkan anak remaja yang cukup sehat mulai dari sekarang, aku butuh dia tahun depan untuk peresmian. Mereka harus percaya kalau anakku betulan sembuh karena mereka!” titahnya riang kepada orang-orang itu. Jadi, semua itu ilusi. Putri yang sakit, hingga kura-kura emas bertempurung kelapa. Itu ilusi. Tidak pernah ada sama sekali.

Kurasa daunku akan merontok saat ini juga. Amarahku memuncak. Aku membantu sepenuh hati selama ini, tapi ia bersikap kami hanya benda remeh yang pantas untuk disingkirkan. Aku marah pada tamu itu. Tapi, aku lebih marah pada jiwa-jiwa kami. Aku tidak menyangka jiwa-jiwa kami akan bertindak sejauh itu demi uang. Apakah sekarang jiwa-jiwa kami bukanlah jiwa kami, tapi jiwanya uang? Kami dibuang karena kami tidak seberharga uang?

Kami tidak berharga di mata mereka. Jelas saja. Maka usai kepergian semua manusia, kugugurkan semua daunku. Tanpa diskusi maupun ajakan, seluruh pohon dan hewan kontan merusak hutan. Tidak ada yang menyela, tidak ada pula yang memprotes. Seisi hutan dibakar api kemarahan. Dalam hening malam, kami menghancurkan hutan dengan cara kami. Membuatnya tidak bisa digunakan sama sekali. Aku menumbuhkan akar lebih keras untuk menjebol tanah agar rawan longsor. Kukerahkan seluruh kekuatan, meski kutahu aku akan mati karena itu. Aku tidak takut. Kami sudah mati sejak tadi pagi. Jiwa kami sudah pergi. Maka, kami tidak punya jiwa lagi. Kami sudah mati.