LIRISISME TANAH YANG MENCINTAI AKAR

Ilustrasi oleh wirestock

Oleh: Muhammad Iqbal Khoironnahya

I/.

Sebelum kita melukis peradaban, 

kita adalah tanah yang mencintai akar. 

Ranum asih tak terapal hanya dari bibir, 

tapi dari laku yang mengecup kelapangan.

Meringkuk tubuh pada syukur sujud, 

memeluk rumput yang tak pernah kering

dibasuh warna hijau Tuhan—

tempat mata menakar pandang 

hanya pada kedamaian, 

hanya pada kepermaian. 

Sebelum kita melukis peradaban, 

kita khusyuk menghumus kata di kamus tua 

tentang masyhur berabad-abad lampau.

Saat angin purba begitu sejuk 

menyibak-nyibak hutan belantara, 

pokok pohonnya masih menjulang: 

akar-akarnya menjelma nadi tanah—

yang detaknya belum dibanjur peluh 

& disanggamai gedung-gedung 

yang mencabik-cabik langit Tuhan.

II/.

Sebelum kita melukis peradaban, 

kita yang paling karib pada alam. 

Sungai masih menghilir air 

dalam rona seputih susu—

tak diceracam kesuciannya 

oleh sampah tundungan 

dari pabrik-pabrik kenamaan

yang fasih meminang derita 

ke tubuh sungai yang disepuh getir kecewa. 

Musim-musim pun belum memudar; masih teduh 

meski matahari terpijarkan di atas didih kepala. 

Maka kini, masihkah kita mengawini dosa? 

Mematri telapak waktu pada kegelapan masa

saat kecamuk mimpi buruk memahkotai hidup—

sekejap tanah-tanah pun meliang petaka, 

udara sesak dipenuhi kepul asap 

yang menjelma sebagai jelaga dosa,

& langit menjadi manuskrip doa-doa

dalam merasai sengkarut kepelikan 

di perjamuan zaman metropolitan. 

III/.

Maka kini, mungkinkah kita terus 

mendaur-ulang kemurungan masa? 

Memandangi relikui ingatan silam 

yang menggelaparkan balada:

saat lirih kersik angin terpenggal 

& menjelma sebagai desing mesin kendaraan

yang lalu-lalangnya menyeruak sesak 

& mengenyangkan ringkih telinga.

Atau tembang jangkrik bermadah yang dahulu 

tak pernah usai mengunyah hening, 

kini tersulih oleh pekik suara sirene 

& kecamuk klakson-klakson di punggung jalanan.

IV/.

Maka kini, masihkah kita bebal tak mengasuh alam semesta? 

Sebab pada dasarnya, 

kita adalah tanah yang silap mencintai akar. 

Maka pada keniscayaan, kenanglah kemujuran masa lampau 

sebagai pelajaran dalam menekuni perjalanan di geladak zaman 

agar tak kepayangan dalam harmoni 

merawat & meruwat sekujur alam.

: Sampai akar-akar itu mengekal sebagai nadi tanah yang 

terus menyalakan detak kehidupan—tak mudah ripuh 

dibenamkan penderitaan yang memuramkan zaman.

(Sleman, 2025)