Lukisan Tanpa Suara

Ilustrasi oleh freepik

Pagi itu, halaman sekolah dipenuhi suara riang anak-anak yang berlarian dan bermain kejar-kejaran. Suara tawa mereka berpadu dengan ayunan yang berderit pelan serta kicau burung yang hinggap di ranting pohon. Udara pagi terasa segar, seolah membawa semangat baru untuk memulai hari. Di sudut halaman, berdiri sebuah pohon besar yang rindang, daunnya meneduhkan sebagian lapangan yang dipenuhi anak-anak. Di bawah pohon itulah seorang anak laki-laki duduk diam dengan buku gambar di pangkuannya. Dino namanya. Ia memandangi langit biru pucat yang berlapis awan tipis, lalu perlahan menunduk dan mulai menggoreskan pensil di atas kertas dengan hati-hati. Setiap goresan yang ia buat tampak tenang dan penuh makna, seolah ia tengah berbicara lewat warna.

Dino dikenal pendiam di antara teman-temannya. Ketika anak lain riuh bermain bola atau berlarian, Dino lebih suka duduk dan menggambar. Bukan karena ia tidak mau bermain, melainkan karena dunia di dalam gambar memberinya kedamaian yang tidak ia temukan di tempat lain. Ia bisa bercerita tanpa harus bicara. Penanya menjadi teman yang setia mendengarkan tanpa menghakimi.

Beberapa teman mendekat, memanggilnya, mengajaknya bermain kejar-kejaran,
“Dino, ayo main!”

Dino menoleh sebentar, tersenyum kecil, lalu menatap mereka dengan tatapan lembut. Dino tidak berkata apa-apa, hanya mengangkat buku gambarnya dan menunjukkan hasil karyanya: gambar dua anak bermain ayunan di bawah matahari yang cerah. Teman-temannya sempat bingung, lalu mengejeknya, tertawa kecil, dan berlari lagi melanjutkan permainan mereka. Dino kembali menunduk, menambahkan detail kecil pada gambar itu, yaitu sepasang burung di langit dan bayangan lembut di bawah ayunan. Dunia dalam kertas itu terasa hidup baginya.

Dari kejauhan, seorang guru bernama Ibu Lestari berjalan melintasi halaman. Tatapannya berhenti pada sosok kecil di bawah pohon besar itu. Ia memperhatikan dengan kagum bagaimana anak itu begitu serius dengan gambarnya. Guru itu mendekat perlahan, berdiri di samping anak itu, lalu tersenyum sambil menatap hasil karya di pangkuannya. Di atas kertas tergambar lukisan pemandangan sekolah mereka: ada taman, anak-anak yang berlari, ayunan, dan seorang anak kecil duduk di bawah pohon sambil memegang pensil warna. Ibu Lestari mengelus kepala anak itu perlahan.

Ibu Lestari berkata, “Kamu memang pandai menggambar, Dino. Tetap semangat, ya. Lukisan-lukisan kamu bagus. Jangan pedulikan temanmu yang mengejekmu.”

Anak itu mendongak, tersenyum lebar, matanya berbinar seperti langit pagi yang ia lukis. Tak ada kata di antara mereka, tapi keduanya seolah saling memahami bahwa karya itu lebih dari sekadar lukisan.

Keesokan harinya, lukisannya terpajang di papan kelas. Anak-anak berhenti sejenak untuk melihat.
“Wah, ini sekolah kita!” seru seorang anak dengan nada kagum.
“Gambar siapa, ya? Kok bagus banget, lucu, ada gambar kucingnya,” anak lain ikut menimpali.
“Ini gambar Dino si pendiam itu. Waw, lukisannya keren banget!” Eca menjawab dan memuji gambar itu.

Sejak saat itu, banyak teman yang mulai tertarik untuk duduk di bawah pohon bersama Dino. Ada yang menonton, ada yang ikut menggambar, ada pula yang hanya diam menemaninya. Mereka mulai belajar bahwa keheningan bukan tanda ia menolak dunia, tetapi justru caranya mencintai dunia dengan lembut. Di bawah pohon itu, suasana terasa berbeda: tenang, namun penuh makna.

Siang itu, saat jam istirahat, Dino kembali duduk di tempat yang sama. Angin membawa aroma tanah dan daun basah setelah disiram air dari keran taman. Udara terasa damai. Dino membuka halaman baru di buku gambarnya, mulai menggambar sketsa langit biru muda dengan pensil warna. Sesekali Dino tersenyum kecil, seolah berbicara dengan awan-awan yang melintas.

Eca dan Rizki datang menghampiri sambil membawa bekal roti dan susu kotak.
“Kamu gambar apa kali ini?” tanya Eca dan Rizki sambil duduk di sebelahnya.
Ia menatap sebentar, lalu mengangkat pandangannya ke langit. Ia menunjuk awan yang berarak pelan.
“Langit?” tanya Rizki menebak.

Dino tidak menjawab, hanya melanjutkan menggambar, menambahkan goresan halus di sekitar awan dan menorehkan semburat kuning di tepinya. Eca dan Rizki tertawa kecil.
“Aneh, tapi gambarmu bagus, lho,” ujarnya.

Mereka pun duduk diam di sampingnya, menikmati keheningan yang terasa hangat. Bel masuk berbunyi, tapi mereka tak segera beranjak. Saat itu, waktu seolah melambat, membiarkan tiga anak kecil tenggelam dalam kedamaian sederhana di bawah pohon besar itu.

Beberapa hari kemudian, setelah pelajaran menggambar usai, Ibu Lestari menghampiri Dino yang sedang menggambar.
“Kamu suka menggambar, ya?” tanyanya lembut.

Dino mengangguk pelan tanpa menatap langsung.
“Kalau begitu, Ibu punya tugas khusus untukmu minggu ini,” lanjutnya. “Gambarlah cerita pendek tentang cita-citamu. Ibu ingin tahu, kamu ingin jadi apa nanti.”

Dino diam lama, memandangi kertas kosong di depannya. Ia seperti memikirkan arti dari cita-cita. Malamnya, di kamar yang tenang dengan lampu kecil di sudut meja, ia mulai menggambar sketsa perlahan. Di kertasnya, ia menggambar seorang pelukis yang duduk di depan kanvas besar, dikelilingi warna-warni cerah. Di belakangnya, ada anak-anak tersenyum, awan berwarna lembut, dan tulisan kecil di pojok gambar: “Aku ingin membuat dunia jadi lebih berwarna.”

Keesokan harinya, ia menyerahkan hasil gambarnya kepada Ibu Lestari. Guru itu memperhatikan setiap detail dengan hati-hati. Ia membaca pesan kecil di sudut gambar, lalu tersenyum.
“Lukisanmu indah sekali, Nak,” ucapnya lirih.

Dino tidak menjawab. Ia hanya menatap keluar jendela kelas, menatap langit yang kembali biru, seolah sedang mencari warna baru untuk menambah ceritanya sendiri. Ibu Lestari tahu, anak ini istimewa bukan karena pandainya menggambar, tetapi karena ia mengajarkan cara melihat keindahan dengan hati.

Sejak hari itu, ia tidak hanya dikenal karena gambar-gambarnya yang menakjubkan. Teman-temannya kini sering duduk bersamanya, membantu mewarnai, mendengarkan ceritanya lewat gambar, dan terkadang hanya diam di sampingnya. Tak ada lagi tawa mengejek atau tatapan heran. Yang tersisa hanyalah rasa ingin tahu dan kekaguman. Bahkan guru-guru mulai menyadari bahwa seni bukan hanya tentang hasil, tetapi juga tentang proses memahami perasaan seseorang.

Waktu telah berlalu. Pohon besar itu menjadi saksi bagaimana sekolah kecil itu berubah perlahan. Anak-anak belajar menghargai perbedaan, belajar mendengarkan tanpa harus banyak bicara. Di bawah pohon itu kini sering terlihat beberapa anak menggambar bersama, saling bertukar warna, saling menenangkan. Dino tetap menjadi dirinya sendiri: tenang, lembut, dan penuh warna.

Suatu pagi, ketika sekolah mengadakan pameran seni kecil, lukisannya menjadi salah satu yang paling menarik perhatian. Di dalamnya tergambar anak-anak dari berbagai latar yang saling membantu menggambar langit bersama. Di atasnya tertulis kalimat sederhana: “Warna dunia akan muncul kalau kita mau melihat dengan hati.”

Ibu Lestari berdiri di sampingnya, menatap lukisan itu dengan bangga.
“Kamu tahu,” ucapnya pelan, “kadang orang dewasa lupa bahwa dunia ini sebenarnya sederhana. Kita hanya perlu melihatnya dari sudut pandang anak-anak seperti kamu.”

Dino menatap guru itu dan tersenyum. Tak ada kata yang diucapkan, tapi dari matanya terpancar makna yang dalam. Dino tahu, mungkin suaranya tak lantang seperti yang lain, tapi melalui gambar, Dino telah berbicara lebih banyak dari siapa pun.

Di bawah pohon besar itu, hari-hari terus berlalu dalam warna dan keheningan yang penuh arti. Sering diejek, diremehkan, tidak punya teman—semua sudah terlewatkan. Hal itu justru membuat Dino menjadi anak yang tangguh. Meskipun Dino tidak dapat bertukar kata satu sama lain, Dino telah membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah hambatan untuk mengenyam pendidikan.

Penyunting: Aprilla Ragil Argiyani