

Oleh: Devy Rianita Hanifah
: Taman Nasional Lorentz
/Prakata/
Sebermula kami dapati nafsu rengkah di bumi mutiara hitam
dada kami tak lagi resah menghadang bahala
akan bayang-bayang distopia yang dapat kapan saja menumpahkan apokaliptik
dan kecahkan digdaya alam hingga tak lagi tersisa sezarah pun masa depan kami temui.
/1/
Maka, izinkanlah kami ‘tuk lebih dalam menyelami keluasan tubuhmu
melalui ritus kelenggara yang menjadikanmu utuh
sebagai ibu dari segala kehidupan yang nisbi
: ialah jenggala, rahim bernas penghidupan nan kerap diburu temaah yang tak bertepi.
“Sebab demikianlah manusia, tak pernah mampu meredam angkara diri.”
Di sana, kami dapati ritus kelenggara dipupukkan ke rahimmu yang digdaya
melalui tubuhmu yang dipandang tamsil kelintang kehidupan dalam gugatan aman
dari kelenggara ajaran para pitarah yang membaca setiap batangmu tamsil tubuh;
setiap dahanmu tamsil lengan; dan setiap buahmu tamsil kepala bermahkota luhur.
/2/
Juga nyawa yang tak terhitung menjadi detak bagimu
tak ubahnya ialah jantung yang tamam mencari suaka
bilamana tiap langkah para satwa tak pernah sedikit pun menjadi cemar bagi tubuhmu
maka, di sinilah kami sadar bahwasanya jentaka ialah temaah yang lekat di diri insan.
“Sebab demikianlah manusia, acapkali menjarah apa yang semestinya kelenggara.”
Pun dari sana pula, kami belajar bahwasanya alam ialah muruah bagi setiap insan
sebab bilamana alam kelenggara, maka ihsanat pula mestilah tertanam di kelikatnya
sedang bilamana gersang subur membentang, maka tinggallah keapatisan yang tersisa
: menjadi gerbang yang ‘kan antarkan apokaliptik dalam bayangan kepunahan.
/Pungkasan/
Hingga setiba hari di mana kami dapati kesadaran dengan penuh kami genggam
kami percaya, bahwasanya dari bumi mutiara hitamlah cahaya akan memancar
menjadi terang kesadaran bagi manusia lain yang masih nyalar menuhankan nominal
tanpa sezarah pun upaya memugar rengsa dalam ritus kelenggara alam.
Klaten, 21 November 2025





























Beri Balasan