

Oleh: Angellita Wijaya Gunawan
Pulau Haruku, mutiara yang terapung di pelukan Kepulauan Maluku, adalah sepotong surga yang dibentuk oleh tangan waktu dan dijaga oleh nyanyian laut. Airnya sebening kristal, memantulkan tarian cahaya matahari yang jatuh lembut di permukaan. Di bawahnya, terumbu karang berkilauan, membentuk istana bawah laut bagi kawanan ikan yang berenang seperti serpihan pelangi. Penyu hijau melintas anggun, sementara kuda laut menari di antara anemon yang bergoyang anggun. Hutan bakau melindungi pantai, akar-akar mereka menjuntai seperti tangan yang merangkul laut.
Awan, cucu dari Sang Tetua Adat, Laido, melangkah pelan di atas pasir yang hangat. Dari kejauhan, karang-karang menjulang bak benteng alam yang menjaga rahasia laut. Sepasang burung camar melintas rendah, membawa bayangan nostalgia yang merayap ke hatinya. Mata Awan menyapu pantai, menatap gugusan terumbu karang tampak seperti taman bawah laut yang diwarnai ikan-ikan kecil berkilauan. Ubur-ubur transparan melayang tenang, sementara bintang laut menempel di bebatuan seperti perhiasan yang diukir oleh sang kala.
“Te, setiap waktu kupandangi bentangan laut itu, aku tidak pernah sekalipun berhenti terpukau memujinya. Aku terpesona, seakan-akan telah lupa betapa abadi napas tempat ini,” ujar Awan sambil menghela napas panjang.
“Laid do,” jawab Laido dalam bahasa setempat. “Alam kasih hidup katong, dan katong balas dengan jaga janji par lestarikan dia.” (Alam menghidupi kita, dan kita membalasnya dengan menjaga janji untuk melestarikannya.)
Namun, desas-desus tentang kapal-kapal besar yang datang menjarah laut melayang di angin senja, menebarkan kecemasan. Malam sebelum janur-janur kuning dikibarkan, Laido terbaring lemah di atas tikar pandan di rumah panggungnya. Napasnya tersengal, seperti riak kecil yang terjebak di teluk sunyi. Wajahnya pucat, matanya yang biasanya tajam kini redup.
“Laut kita sedang diincar,” ujar Laido. Suaranya berat, serak seperti angin yang mengelus tebing karang. “Sasi adalah nyawa laut ini. Tapi hari ini, mereka datang dengan ketamakan yang menantang janji kita.”
“Sasi?” Awan mengulang kata itu dengan penuh rasa ingin tahu.
Laido tersenyum tipis. “Sasi adalah janji. Kita menutup laut agar ia bisa beristirahat dan mengisi kembali jiwanya. Tidak ada yang boleh menangkap ikan, mengambil kerang, bahkan merusaknya. Dan saat sasi dibuka, berkahnya melimpah. Itulah yang membuat laut ini tetap hidup, Awan.”
Awan terdiam. Ingatannya berlayar ke masa kecil, saat janur kuning menggantung di tiang-tiang kayu, bagaimana ikan-ikan kembali berlimpah saat sasi dicabut, dan terumbu karang yang dulu pudar mulai kembali bersinar. Laido kemudian mengangkat tangannya sedikit, menunjuk ke arah pantai yang samar terlihat dari jendela rumah. Gerakan itu lambat, seolah setiap ototnya melawan waktu, tetapi cukup jelas untuk Awan memahami maksudnya.
“Tete mau beta jaga ini laut, kan?” (Kakek ingin aku menjaga laut ini, kan?) bisik Awan lirih.
Laido tidak menjawab. Hanya sudut bibirnya yang bergerak, membentuk senyum tipis yang nyaris tak terlihat, sebelum kelopak matanya menutup perlahan.
Keesokan harinya, janur-janur kuning kembali berkibar. Desa bersatu, seperti karang yang saling merapat menghadapi ombak. Namun, ancaman nyata datang dengan suara mesin kapal yang meraung dari kejauhan. Dari kapal besar itu, seorang pria berkemeja putih turun dengan langkah percaya diri. Senyumnya lebar, tetapi matanya tajam seperti seseorang yang haus akan kekuasaan.
“Saya datang dengan tawaran menarik,” katanya, suaranya terpantul di atas ombak. “Kami ingin menjalin kesepakatan dengan penduduk Haruku. Laut ini memiliki kekayaan luar biasa, dan kami bisa membantu mengelolanya dengan alat-alat modern. Hasilnya, kalian akan mendapat keuntungan besar.”
Awan menatap pria itu tanpa berkedip. “Apa yang kau maksud dengan ‘mengelola’? Laut ini sudah menjaga dirinya sendiri selama berabad-abad tanpa campur tangan siapa pun.”
Pria itu terkekeh, “tangan kami mampu meraup lebih banyak hasil laut, berkali-kali lipat dari milik kalian, tanpa perlu merusak isinya dan mempercayai bualan aneh kalian. Era sudah berubah. Kepercayaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan tawaran kami yang mampu menjanjikan deretan kapal besar yang memenuhi pesisir ini, membawa semua hasil olahan yang akan membuat orang-orangmu semakin makmur. Bukankah itu yang kita inginkan? Bukankah itu yang kelak diidamkan oleh anak-anakmu dan cucu-cucumu?”
Awan menelan ludah, tetapi ia tetap kokoh. “Dan apa yang terjadi pada karang dan ikan saat kalian membawa kapal-kapal besar itu? Apa yang akan tersisa untuk anak-anak kami? Kekayaan yang engkau janjikan tak lebih dari kilau cahaya di riak air senja. Ketamakan tak pernah memberi tanpa menuntut bayaran yang lebih besar.”
Pria itu mencoba meredakan ketegangan, “kami hanya mengambil sedikit saja. Laut ini luas! Tidak mungkin habis dalam waktu dekat.” Ia menatap penduduk yang mulai berkumpul. “Janur kuning yang kalian pasang ini hanyalah tradisi. Penghalang bagi kalian selama ini untuk berpikir lebih maju dan memanfaatkan alam sebaik mungkin!”
Beberapa penduduk saling berpandangan. Bisikan mulai terdengar di antara mereka, sebagian besar pemuda dan segelintir tua-tua berkata, “mungkin ia benar.”
Awan menghela napas dalam. “Sasi bukan hanya tradisi, ia adalah perjanjian dengan laut. Kita menjaga laut, dan laut menjaga kita. Kesepakatan itu hanya akan merusak janji, dan kita tidak akan mengkhianati laut yang telah memberi kita kehidupan.”
“Lebih baik anda pergi,” sambungnya tegas.
Pria berkemeja putih itu melangkah mundur, mendengus, lalu berbalik. Langkahnya keras, membelah kerumunan yang perlahan membuka jalan. Ia menghentikan langkahnya sejenak tanpa menoleh, “kalau bukan dengan tangan kalian, maka tangan kami sendiri yang akan mengambilnya.”
Awan menatap punggung pria berkemeja putih yang menjauh, meninggalkan jejak ketegangan di pasir yang lembab. Ombak menghantam pantai dengan nada berat, seolah menggemakan kegelisahan di dadanya. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba meredakan gemuruh yang terasa di dalam dirinya. Namun, saat matanya terbuka, sesuatu yang aneh terjadi.
Angin yang tadi menderu tiba-tiba mereda. Helaian janur kuning bergoyang pelan, seolah mengikuti denyut yang tak terlihat. Awan melangkah ke tepi air, membiarkan gelombang menyentuh kakinya. Seekor burung camar menukik tajam di atas kepalanya sebelum kembali terbang, gerakan yang tampak seperti peringatan. Air di sekitarnya mendadak tenang, seolah laut menahan napas. Awan mundur selangkah. Angin kembali bertiup, membawa aroma laut yang lebih pekat. Dalam hembusan itu, ia merasakan bisikan samar, cukup kuat untuk membuat bulu kuduknya meremang, “kami bersamamu.”
“Tete betul…” gumamnya pelan. “Haruku.. Laut ini hidup.”
Malam penutupan sasi tiba. Ombak bergulung bagaikan mantra yang menyelubungi pantai. Saat janur terakhir diikat, suara mesin kapal mendekat. Mata-mata penduduk menyorotkan ketakutan yang bersinar di balik api obor.
Awan melangkah maju. “Kita tidak akan mundur,” katanya tegas, suaranya menggema di antara deru ombak.
Pria berkemeja putih itu berdiri di atas geladak kapal, tangannya terentang seolah menuntut laut untuk tunduk. “Ini kesempatan terakhir kalian!” teriaknya. “Kami datang dengan tawaran baik-baik, tapi kalian menolak dengan mentah. Jika kalian melawan, maka kami akan mengambilnya dengan paksa!”
Para penduduk saling berpandangan. Beberapa dari mereka meremas obor dengan cemas, seolah api kecil di tangan mereka bisa meredakan rasa takut yang membuncah. Saat kapal-kapal merapat, suara gendang dan nyanyian sasi berkumandang, menari di udara. Awan melangkah ke tepi pantai, tangannya terangkat ke langit, napasnya tersengal, tetapi jiwanya terasa bersatu dengan desir angin dan hembusan ombak. Dengan suara melengking, Awan berseru, “wahai alam! Kami telah menjaga kehidupanmu dengan sasi, menghidupimu dengan doa dan janji. Kini, bangkitlah dengan kekuatanmu! Lindungilah mereka yang setia, dan hukum mereka yang tamak!”
Langit bergemuruh. Petir menyambar cakrawala, membelah malam dengan cahaya menyilaukan. Angin menerjang pantai, membuat janur-janur kuning berkibar liar seperti bendera perang. Ombak yang tadinya lembut berubah liar, memukul kapal-kapal dengan kekuatan yang bangkit dari rahim lautan.
Di atas geladak, pria berkemeja putih itu berteriak, “Ini tidak mungkin! Kendalikan kapal! Cepat!” Tetapi gelombang menelan perintahnya.
Salah satu awak kapal berlari ke arah kemudi. “Mesinnya mati! Mesinnya mati!” teriaknya panik.
Pria itu meraih radio di tangannya. “Panggil bantuan! Sekarang!” Namun, suara yang keluar dari radio hanyalah desisan statis, seolah laut telah memutus mereka dari dunia luar.
Karang-karang bergemuruh, seakan mengaum dari dasar laut. Cahaya kilat menyambar tiang kapal, membakarnya menjadi bara yang jatuh ke laut. Gelombang menghempas sisi kapal dengan dentuman keras, membuatnya terombang-ambing seperti daun kering.
Pria berkemeja putih itu terhuyung, air sudah mulai membanjiri dek kapalnya. “Alam mengutuk kita!” teriaknya, akhirnya menyerah pada ketakutan. Kapal-kapal mulai mundur, mencoba melarikan diri dari amukan laut yang semakin ganas.
Akan tetapi, saat gelombang terakhir menghantam, kapal pria itu terayun tinggi sebelum jatuh keras ke air. Mesin kapal meraung sekali lagi sebelum tenggelam dalam riak yang mengancam. Di pantai, Awan tertegun, menyaksikan kekuatan laut yang bangkit membela mereka. Hembusan angin terakhir menyapu wajahnya, membawa aroma garam yang terasa seperti pesan perpisahan.
Saat fajar menyingsing, laut kembali tenang, seolah kelelahan setelah menari dalam badai kemarahan. Janur kuning berkibar di tepi pantai, seperti doa yang melindungi laut. Ombak terus berlarian, melantunkan lagu tentang janji yang ditepati, tentang harmoni yang terjaga. Di antara gelombang yang menari, Awan berdiri di tepi pantai, menghirup aroma asin yang menyatu dengan kedamaian. Dengan suara lirih, ia berbisik, “Sasi.. janji yang abadi.”





























Beri Balasan