

Oleh: Jessica Fidela
“Maya, Raga, ayo sini! Jangan cuma duduk di situ!”
Suara anak laki-laki bernama Arga itu menggema di hamparan rindangku. Tawa teman-temannya menyusul ketika mereka berlari menuju nadiku yang sedang mengalir jernih. Air memercik, membasuh kaki-kaki kecil yang berlarian tanpa beban itu. Aku turut tertawa, menghembuskan udara sejuk yang menggelitik kulit mereka.
Matahari mulai tegak di langit saat mereka menyusuriku lebih dalam, bergelantungan di tiap dahan pohon-pohon yang ada sambil menceritakan banyak hal.
“Kamu lihat burung tadi nggak, Ar?” tanya Maya.
“Iya! Rangkong, kan, namanya? Paruhnya besar banget, keren!” Arga menjawab sambil merayap naik ke dahan tertinggi.
“Aku pengen bisa terbang kayak dia,” ujar Raga dari pohon seberang, menatap rangkong yang sedang menari bebas di udara.
Maya hanya tertawa, kakinya yang telanjang melangkah tak tentu, ujung matanya mengerut bahagia, “Kamu? Terbang? Mimpi, Ga!”
Aku ingat betul—Maya yang pertama menemukannya. Mahkota merahku yang terbesar, tersembunyi di balik semak lebatku. Rafflesia arnoldii-ku yang megah, namun pemalu.
“Arga! Raga! Kalian nggak bakal percaya aku nemuin apa!” teriaknya, suaranya nyaris pecah karena kagum.
Kedua anak lelaki itu turun dari pohon dengan segera—begitu terburu-buru sampai Raga terpeleset.
“Hati-hati, Ga,” Arga terkekeh, satu tangannya ia julurkan pada Raga yang segera menyambutnya.
Beberapa detik kemudian, mereka sudah duduk melingkar di sekeliling bunga yang telah kupelihara selama bertahun-tahun itu. Tak berkedip, seolah takut keindahan itu akan lenyap saat mereka berpaling barang sesaat.
“Kalian mau tahu fakta Rafflesia arnoldii nggak?” bisik Raga pelan.
“Apa, Ga?” tanya Maya penasaran.
“Hidupnya tragis. Ia tumbuh tersembunyi di dalam inangnya selama satu sampai tiga tahun, namun setelah mekar, ia hanya bertahan tiga sampai lima hari sebelum membusuk. Setelah itu, ia hilang tanpa jejak. Tidak ada batang, tidak ada daun. Seolah-olah ia tidak pernah ada,” terang Raga.
“Dan karena hidupnya sudah singkat begitu,” lanjut Raga, “Rafflesia jadi sangat rentan. Orang-orang suka injak-injak tanah di sekelilingnya atau bahkan petik bunganya buat foto. Padahal sekali rusak, butuh bertahun-tahun lagi buat tumbuh.”
Raga menatap sekeliling: pohon-pohon tinggi, sungai yang mengalir, semak-semak lebat. “Sebenarnya bukan cuma Rafflesia,” ujarnya pelan. “Semua yang ada di sini juga sama rentannya.”
Keheningan menyelimuti ketiga makhluk kecil itu. Raga mengelus tanah dengan perlahan, seolah sedang menenangkan aku. “Kalau kita—manusia—nggak hati-hati,” ujarnya, “semuanya, termasuk Rafflesia ini, bisa rusak.”
Maya dan Arga menatap Rafflesia yang masih mekar megah di hadapan mereka. Bayangan mengerikan tiba-tiba terlintas: bunga ini tidak ada lagi. Pohon-pohon ini tidak lagi menaungi mereka. Sungai tempat mereka biasa bermain tak lagi sebening hari ini. Maya menggeleng tak terima. Bagi mereka, tempat ini selalu jadi pelarian paling manis tiap kali sekolah usai.
Arga menarik napas panjang, “Kalau masih mau berkunjung ke sini kapan pun kita mau, berarti kita harus jaga tempat ini. Semua ini. Jangan sampai rusak.”
Aku mendengar janji itu dan memeluknya erat dalam ingatanku. Manusia selalu pandai berjanji, tetapi tak selalu pandai menepati. Namun kali ini, biarlah aku berpegang pada janji yang diucapkan dari bibir tulus mereka, sampai pada akhirnya, waktu yang akan membuktikan.
***
Tahun-tahun berlalu seperti dedaunan yang gugur. Kunjungan mereka mulai jarang. Sekali sebulan, lalu sekali setahun, hingga akhirnya berhenti sama sekali. Aku menunggu. Rafflesia-ku mekar dan layu tanpa saksi. Burung-burungku bernyanyi tanpa pendengar. Aku meyakinkan diri bahwa mereka akan kembali.
Arga yang pertama kembali. Bukan lagi bocah yang bergelantungan di dahanku sambil tertawa, tetapi seorang lelaki muda dengan truk dan gergaji mekanik.
“Maaf ya, tapi aku butuh kayu untuk bengkel,” ujarnya sambil menepuk batang pohonku dengan akrab, seolah kami masih sahabat lama. Diangkatnya gergaji yang ia pegang sampai benda logam yang berdesing ribut itu menggigit kulit pohonku. Getah mengalir seperti darah yang tak bisa kuhentikan.
Arga, ingat janjimu! Bara di mata Arga masih menyala. Dia tidak dapat mendengarku.
Satu pohonku tumbang. Lalu yang kedua. Yang ketiga.
***
Musim demi musim berlalu sebelum akhirnya Raga datang dengan jaring halus dan sangkar bambu.
“Rangkong tuh langka, kolektor pasti mau deh bayar mahal,” katanya pada seseorang di telepon genggamnya.
Raga? Kemana kamu yang dulu ingin terbang bebas seperti rangkong-ku?
Aku meniupkan angin kencang, berusaha mengguncang dahan pohon agar rangkong-rangkongku terbang menjauh. Namun, mereka tidak mengerti bahaya. Mereka masih percaya pada manusia yang dulu bermain dengan riang di bawah rindangku.
Satu per satu, sayap indah itu pun terlipat dalam sangkar sempit.
***
Bertahun-tahun kemudian, Maya datang. Dengan surveyor dan tiang-tiang pancang.
Aku mengenalinya dari jauh—caranya berjalan, gestur tangannya saat menunjuk. Namun, ada yang berbeda. Tidak ada lagi gadis kecil yang takut menyentuh Rafflesia karena takut merusaknya. Yang datang adalah seorang profesional muda dengan clipboard dan helm proyek.
“Ini akan jadi area pemukiman,” jelasnya pada timnya. Peta dibentangkan. Tanahku dibagi-bagi menjadi kavling-kavling. “Banyak keluarga muda butuh rumah terjangkau. Ini akan jadi kontribusi nyata untuk masyarakat.”
Tidak ada keraguan dalam suaranya. Tidak ada jeda. Hanya angka-angka, proyeksi keuntungan, dan keputusan bisnis.
Kemana hilangnya kalian yang dulu berjanji menjagaku?
***
Begitulah. Tinggal menunggu waktu sampai akhirnya mereka membakar diriku sampai habis.
Tidak! Aku berteriak. Rafflesia-ku baru akan mekar besok. Sudah tiga tahun ia menunggu. Hanya butuh satu hari lagi.
Namun, api tidak peduli. Api tidak mendengar.
Mahkota merahku yang belum sempat mengembang dilahap dalam hitungan jam. Tidak ada Maya yang datang. Tidak ada Raga yang peduli. Tidak ada Arga yang berjanji.
Hanya abu. Hanya asap. Hanya kesunyian.
Janji kalian kemarin ternyata seringan abu ini.
***
Aku mulai batuk. Asap hitam mengepul dari pembangunan yang tak pernah berhenti di atas kulitku yang telanjang. Nadiku yang dulu jernih kini keruh, busuk sebusuk sampah yang mereka buang tanpa pandang. Tanah longsor merobohkan rumah-rumah mereka setiap hujan datang. Bukan karena aku ingin, tetapi bagaimana aku dapat menahan tanah dengan akar yang sudah mereka cabut habis?
Keluhan demi keluhan terus terdengar dari para mulut munafik. “Mengapa bencana ini terus terjadi? Betapa kejamnya bumi!” ratap mereka, menatap langit yang tak lagi biru.
Kejam, katamu. Kejamku adalah buah dari kejammu. Indahku dulu adalah segala kesia-siaan yang dengan rela kuberikan secara cuma-cuma padamu. Dan kini, aku penjahatnya.
Sekali lagi aku hanya bisa diam, seperti kekasih yang terbiasa disalahkan. Namun ternyata, sesabar-sabarnya aku, amarahku rupanya terpendam, dan kini tak lagi mampu kubendung.
Ini saatnya. Kumuntahkan semuanya sekarang.
Badai datang. Angin meraung seraya diriku menangis tanpa henti. Sungaiku meluap, merobohkan semua yang mereka bangun di atasku tanpa izin. Mereka berlari, menjerit, kehilangan. Rumah-rumah rata dengan tanah. Jalanan terbelah. Listrik padam.
Sakit. Sakit sekali.
Kalian pikir aku mampu menanggung semua rasa sakit ini selamanya? Sungguh lugu.
***
Setelah badai reda, mereka datang kembali. Entah bagaimana, rasa bersalah membawa mereka ke tempat yang sama.
Arga yang pertama tiba, tertatih dengan pakaian yang basah lumpur. Ia berhenti saat melihat Raga sudah ada di sana, duduk lemas dengan sangkar-sangkar terbuka di sampingnya. Rangkong-rangkong berterbangan kesana kemari, mencari sarang yang sudah tak ada.
Lalu Maya datang. Pakaian kerjanya lusuh, helmnya retak. Ia berhenti melihat kedua temannya. Keheningan panjang menggantung di antara mereka.
“Ini salahku,” ujar Maya, suaranya bergetar. “Aku yang membawa orang-orang ke sini. Aku yang bilang ini lokasi bagus untuk pembangunan,” lanjutnya sambil menatap ke sekeliling.
Arga dan Raga menoleh ke arah Maya. “Ini salah kita semua,” ujar Arga. “Kami berdua juga sempat berbuat salah, May,” lanjutnya. Raga hanya berdiri di sana, memandang kehancuran yang sama.
Mereka tidak bicara lagi. Hanya duduk dalam reruntuhan impian masa kecil mereka, masing-masing tenggelam dalam penyesalan yang terlambat.
Aku mendengar semuanya—setiap kata, setiap keheningan, setiap napas yang tercekat.
Aku lelah. Sangat lelah. Akan tetapi, aku melihat air mata Raga jatuh ke tanahku. Aku merasakan tangan Maya yang gemetar saat menyentuhku. Aku mendengar isak Arga yang ia coba tahan.
Aku tak sanggup menolak mereka yang kembali dengan tangan kosong dan hati penuh sesal.
***
Tunas baru tumbuh laksana jiwaku yang mati suri. Perlahan. Menyakitkan. Setiap helai daun terasa berat, setiap tetes embun terasa seperti air mata. Langit perlahan kembali cerah, meski masih ada bekas luka kelabu di cakrawala.
Mereka menanam pohon. Satu, dua, sepuluh. Telapak kotor dan peluh menjadi bukti dari upaya mereka memperbaiki. Aku merasakan sentuhan itu: penuh harap sekaligus sesal.
Luka ini tak akan benar-benar sembuh. Setiap kali angin bertiup, bekas luka bakar itu masih terasa perih. Setiap kali hujan turun, aku selalu ingat bagaimana mereka membiarkan tanahku gundul dan merosot tanpa perlindungan.
Tetap saja, aku memaafkan. Bukan karena mereka pantas atau karena aku lupa akan rasa sakitnya. Namun, memaafkan adalah satu-satunya cara agar aku bisa terus bernapas. Karena jika aku mati, mereka juga akan mati. Dan aku tak ingin menjadi seperti mereka yang hanya tahu mengambil tanpa memberi.
***
Di bawah langit berbintang yang penampakannya mulai langka selama beberapa tahun terakhir, ketiga makhluk kecil yang pernah kusayangi sepenuh hati kini bersandar padaku, di bawah dedaunan dari pohon muda yang mereka tanam bersama.
“Jangan sampai terulang lagi. Kita harus menjaga alam untuk seterusnya,” kata Maya pelan, mengulang janji tak tertulis yang sama dari puluhan tahun lalu.
Dan aku mendengar. Aku selalu mendengar.
Namun kali ini, aku tak lagi memeluk janji itu erat-erat.
Janji hanyalah janji. Pada akhirnya, tindakan kalian akan menjelma pembuktian dari semua sepakat yang telah terucap. Cukuplah kalian belajar mendengarkan napasku sebelum terlambat, sebelum aku mati dan tak mampu lagi memberi.



























Beri Balasan