TANGIS TAK BERSUARA

Ilustrasi oleh pressfoto (freepik)

Helaian daun bambu terus berjatuhan satu per satu, menghiasi halaman sebuah rumah bertembok bata merah. Pada atapnya sudah tampak berkarat akibat pantulan sinar matahari yang begitu disiplin. Saat itu Apet sempat tak sadarkan diri, dan lupa pada dirinya sendiri lantaran di mana ia berada. Suara hentakan mendadak yang berpijak pada dirinya sebelum itu sempat membuat ia terhipnotis sejenak untuk memastikan bahwa masih ada secerca nafas yang menyelubungi hidupnya.

Hawa sore itu cukup memberi sebuah nada persahabatan yang terasa melegakan bagi penduduk di Kota Lewoleba. Sebuah sepeda motor bekas bermerk vixion, tampak melaju dengan sedikit keraguan yang menempel pada si pengemudinya di Jalan Trans Lembata.

Sebuah bengkel motor yang selalu ramai dikunjungi oleh pengidap kerusakan mesin tampak bepapasan dengan sebuah toko serba guna, omega namanya. Apet menunjukan senyuman tipisnya kepada seorang petugas bengkel yang kelihatan masih cukup muda, namun karena rambutnya yang sudah beruban sdan lebat, serta kerutan pada dahinya yang begitu mendominasi pada wajah pemuda itu membuatnya begitu sopan dan tenang.

“Mana yang mau saya perbaik, Bro?” pemuda berseragam kuning itu bertanya karena melihat Apet sedikit kebingungan.

Sebenarnya kedatangan dia saat itu hanya sekedar untuk menggantikan ban luar motor beserta lampu sorot bagian depan motor yang kelihatan sudah cukup tua. Terlihat ia sedang menunggu seseorang manakala penantiannya sedikit membuat ia cemas.

Harga secara keseluruhan untuk perbaikan motor usang itu ialah Rp714.500. Ketika sedang menunduk lesu untuk menanti sebuah harapan, tiba-tiba sebuah sepeda motor yang tidak mempunyai kaca spion tampak berhenti tepat di sampingnya. Apet mengangkat wajahnya dan menampilkan senyuman manis atas kehadiran Om Ferdy saat itu.

“Tunggu dari tadi, kah, Abang?”

“Iya, Om. Sekalian tunggu motor, masih diperbaiki.”

“Oh, iya … tadi Mama ada telpon, katanya hantar uang sedikit untuk atur itu

motor Abang”

Keriuhan kota sungguh membuat suasana hatinya kacau. Dua minggu yang lalu, motor bekas itu baru saja dibeli seharga 10 juta rupiah. Pemilik awal motor itu mengalami sedikit panggilan krisis yang mengharuskannya menjual motor penyambung kakinya itu. Anaknya yang sudah berada di ambang pintu, membuatnya lumayan panik karena istrinya saat itu berada di rumah sakit Maumere untuk menyambut kedatangan sang buah hati tercinta.

Pilu yang menggerogoti harinya mampu dilunaskan oleh Apet atas kemauan orangtuanya. Motor itu tak kalah menarik dari yang pada umumnya, namun masih memiliki beberapa cacat ringan. Besi tua itu akan menjadi penyambung kaki-tangan Apet untuk pergi ke sekolah yang jaraknya lumayan untuk menghasilkan keringat satu kali perasan air pada sapu tangan mini.

Sore menjelang malam motor sebatang kara itu masih terus digusur oleh pemuda berbaju kuning yang sesekali mengusap keringat pada keningnya. Apet yang kala itu sedang melamun sedikit terobsesi pada khayalannya yang tak kunjung pasti. Kemarin dia sempat menyaksikan dengan jarak dekat, seorang anak mencium selokan tepat di depan minimarket Nagamas. Bibir dan wajah anak yang ditabrak itu telah menjadi sebuah penampakan yang menakutkan ketika ia selesai mengangkat wajahnya.

Pria tidak berbaju melaju pada perempatan yang kebetulan saat bersamaan bocah bening itu tidak sempat berpapasan dengan rem tangan pada motornya. Hal menggenaskan itu mampu menghantui seluruh isi pikirannya. Ia hanya melepas sebuah teriakan histeris setelah memandang cucuran darah mengalir pada wajah si bocah bening itu.

Sirene ambulan mengalahkan kebisingan suasana kota itu. Polisi dengan sigap dan bijak, melakukan penyidikan atas kejadian yang membuat Apet cukup trauma untuk menyaksikannya lagi.

Malam yang mulai memasuki ruang keheningan pada kota itu, justru membuat Apet terlarut pada ketakutan. Sesekali ia menghela nafas panjang sambil melirik ban motornya yang sudah kelihatan baru.

Om menyalakan senter pada ponselnya untuk membantu menyorotkan cahaya mini, pada bagian lampu motor yang sedang diperbaiki oleh pemuda bengkel itu. Ia tidak sendiri, masih ada beberapa kru lainnya yang juga tengah disibukan dengan beberapa motor yang kelihatannya hampir opname.

“Abang, sudah malam begini. Sebentar bisa pulang sendiri, to?”

Apet mengangguk pelan dan kembali menghela nafasnya sambil melihat beberapa motor yang melintas dengan begitu brutal.

“Aman Om. Jangan khwatir,” sambil tersenyum, memastikan bahwa dia akan segera melihat rumahnya di Lamahora, letaknya pada sebuah kelurahan yang jaraknya lumayan jauh dari bengkel itu.

Malam itu cukup indah karenan dihiasi oleh germerlap cahaya bintang dan perpaduan sinar purnama yang sedikit membangkitkan ketakutan Apet ketika ia hendak kembali. Lamunannya ditegur oleh sang pemuda bengkel bahwa motornya sudah selesai diperbaiki serta alat-alatnya pun telah diganti dengan yang baru.

Om Ferdy yang kelihatannya sudah sedikit mengantuk, langsung bangkit berdiri mengurus seluruh biaya pembayaran besi tua itu pada seorang bos Cina bermata sipit, pemilik bengkel itu. Apet menerima nota hasil pembayaran dari Om Ferdy dengan kondisi telapak tangannya yang sudah berkeringat.

“Abang, sudah malam, jadi Om tidak bisa hantar kau ke Lamahora.” Om ferdy tampak belum puas dan ia bertanya lagi, “Tapi abang bisa pulang sendiri, to?”

Apet sekadar mengangguk untuk memastikan bahwa ia menyanggupi itu. Ia pun kemudian langsung menaiki besi tua itu dan tangannya sedikit gemetar ketika meremas gas kopling motor itu. Ia pun menghidupkan besi tua yang sudah menampakan kelayakannya itu dengan cara starter tangan, kemudian lampu sorot jauh pada motor pun telah menyala memberi pancaran cahaya pada area depannya,“Aman, Om.”

Apet dan Om Ferdy harus berpamitan di bengkel itu, kemudian mereka berpisah pada sebuah jalan perempatan dimana Apet berbelok pada jalan takdirnya sedangkan Om Ferdy berbelok pada jalan menuju kampung malam itu. Apet sempat memikirkan Om Ferdy karena jalan pulangnya harus melintasi hutan tanpa penerangan di sisi jalan. Akan tetapi justru sebaliknya juga Om Ferdy lebih memikirkan keselamatan Apet, mengingat suasana kota Lewoleba di malam hari selalu menampilkan pilu tak terduga oleh setiap orang yang pernah merasakannya.

Kecepatan besi tua dalam menapaki aspal beton itu, perlahan mulai lamban pergerakannya dan Apet mulai lebih berhati-hati, sebab ia mulai merasa ragu. Saat itu di dalam benaknya, ia sudah mulai tidak memastikan sesuatu, atau memikirkan nasibnya, melainkan pandangannya selalu terarah ke depan.

Menjelang tiba di area jalan yang disampingnya terpampang beberapa bangunan sekolah, SMA PGRI Lewoleba. Apet membuat sebuah keputusan yang memang akan menjadi takdirnya malam itu.

Sengaja ia memutuskan untuk belok kiri pada sebuah perempatan lurus di samping kompleks SMA tersebut. Sebenarnya Apet biasa melewati jalur pembelokan yang masih berada di kejauhan bagian depan, kediaman pembelokan itu cukup berdekatan dengan gedung Pertamina, dan karena keramaian kendaraan yang tengah sibuk mengantri minyak membuat Apet mengurungkan niatnya utnuk melawati jalur itu. Satu hal yang membuat Apet takut ialah, suasana Pertamina yang dipadati oleh banyaknya kendaraan ditambah jangkauan polisi yang berpatroli menjaga ketertiban lalu lintas mambuat ia sedikit gugup dan niatnya untuk melewati jalur pembelokan terdekat itu tak kesampaian.

Lampu sein kanan yang tadi sudah diganti dengan yang baru telah Apet nyalakan dengan begitu percaya diri. Perasaan takutnya kini telah hilang dibalut sinar cahaya bulan. Apet sekali memejamkan mata sedikit menoleh kebelakang, memastikan kendaraan yang berada dibelakangnya untuk bisa menghargai, kode yang disampaikan besi tua itu.

Mama dan bapa yang saat itu berada di Malaysia selalu mengingatkannya agar lebih berhati-hati ketika bepergian dan memastikannya untuk tetap memakai helm. Semua nasehat kedua orangtua yang disampaikan melalui via seluler selalu direkam baik oleh sang anak ketika ia lebih banyak menyimak segala ceramah mereka. Besi tua dapat memang dibeli karena kedua pahlawannya membanting harapan dengan melarat di tanah orang. Sekiranya upah yang mereka peroleh mampu menjawab tiap permintaan sang anak disaat darurat.

Belum berselang lima menit untuk berebelok ke jalur kiri, sebuah cahaya memancar menerangi samar-samar batinnya sekaligus menyorot mengarah pada dirinya yang kelihatan ragu. Sebuah sepeda motor yang hanya kelihatan kerangka besi melesat dari arah kanan belakang hendak melambung cepat. Posisi saat itu Apet pun sedang berbelok kanan dengan pelan.

Plakkk…….

Ukuran tubuh Apet yang cukup kurus, harus melayang akibat hempasan kuat dari salah satu kendaraan motor tadi, menghempas motornya. Besi tua yang ia kemudi, kali ini terpelanting keras ke bagian tengah jalan. Kepalanya sempat membentur sebuah beton selokan tepat di depan SMA PGRI. Namun beruntung, rekaman pesan mama berhasil ia lakukan sehingga kepala semata wayangnya itu tidak mengalami kerusakan.

Nampak seorang pria yang saat itu diperkirakan Apet berumur empat puluhan tahun, langsung berdiri dari posisinya terpelanting dan berlari ke tengah jalan untuk memindahkan motornya yang sempat terseret keras. Sekilas ia tidak terlalu tinggi, namun perawakannya cukup menakutkan.

Di tengah kepanikan yang melanda saat itu, Apet baru menyadari jika motornya juga masih berbaring lemas di tengah jalan yang memang semakin ramai dilalui oleh banyak kendaraan. Dengan sisa kekuatan yang ia miliki, maka lekas ia bangkit dan berlari tergesa-gesa, mendapati besi tuanya yang memang sudah kritis. Beberapa warga di sekitar lokasi itu, sempat menyaksikan kejadian itu yang membuat beberapa ibu-ibu yang sedang berbelanja di kios berteriak dengna keras dan histeris menyaksikan kejadian tragis yang cukup sadis.

Ketika besi tua itu hendak dibangunkan, Apet kemudian dilerai oleh warga, dan motornya diamankan oleh mereka. Ia hanya berdiri termangu-mangu dan di pikirannya saat itu belum tampak apa-apa tentang kejadian yang barusan terjadi.

Apet merasa bahwa tubuhnya semakin melemah tidak seperti biasanya. Dirinya kemudian berjalan ke pinggiran jalan kembali meskipun dengan sedikit tertatih-tatih.

“Aduhhhh, Tuhan, tolong saya dulu … Saya punya kaki kenapa ini Tuhan?”

Sebuah teriakan panjang tanda mengeluh berhasil dikumandangkan saat itu karena ia baru saja menyaksikan sebuah cairan pekat yang mengalir cukup deras membasahi sekujur punggung kakinya, entah berwarna merah atau hitam. Namun, ia merasa semakin tak berdaya serta pusing pada kepalanya semakin menjadi-jadi.

Hembusan angin malam itu cukup menusuk kulit hingga ke tulang-tulang, yang sedang kaku terpaku di atas bangku. Ia mencoba berdiri sekali dengan sisa tenaganya yang masih membekas saat itu.

“ Tolong saya, Tuhan, tolong saya, bapa!

Sebilah suara sempat dia keluarkan ketika ia sudah tidak mampu lagi untuk berdiri sendiri di tempat.

Pria paru baya yang menabraknya tadi dengan lengan baju yang sedikit tersobek tak beraturan bergerak menghampiri Apet yang tergelatak di pinggir aspal. Tenaganya masih cukup untuk membopong tubuh sang anak itu.

“Jangan takut, No. Mari berdiri, kita pergi ke rumah sakit saja.”

Meskipun sudah pasrah menanti pertolongan, Apet akhirnya berdiri dan berlompat-lompat karena tampak kaki bagian kanan miliknya mengalami permasalahan yang hebat

Sebelum menghampiri seorang relawan yang siap menghantarkan mereka ke rumah sakit umum, Apet yang diliputi rasa penasaran dan kegelisahan berlebihan, ia pun mencoba mengintip perlahan, menyorotkan tatapannya menuju ke sebuah sumber yang membuat dirinya menderita sedari awal ia terpelanting pada bagian kaki kanannya. Denyut nadi pada bagian punggung kakinya seakan-akan menjadi nada dering.

“Aduh, Tuhan, tolong saya dulu, saya punya kaki kenapa ini? Tolong saya, bapa. Saya tidak mau kaki saya putus, saya mau menjadi tentara, saya tidak mau kaki putus … Aduh, saya punya kaki rusak.”

“Mama … ”

Sebuah teriakan yang menjadi-jadi menggelegar di tempat itu sontak membuat orang-orang mulai berkerumunan, menyaksikan adegan gratis yang berlalu begitu saja. Apet kembali membuang tatanpannya ke tempat lain, memejamkan matanya, merasakan sekujur darah yang mengalir dengan lancar di dalam tubuhnya hingga keluar membasahi punggung kakinya dan menetes begitu saja di aspal dingin. Ia kemudian merangkul pria yang menopangnya itu sambil menangis, namun tidak mengeluarkan air mata.

“Om, bantu saya dulu, om! Saya sudah tidak bisa lagi, saya mau jadi tentara, bantu saya dulu, Om.”

Sulit baginya untuk menyadari bahwa yang menimpanya malam itu apakah mimpi atau memang takdir yang nyata. Tak bisa berbuat apa-apa, ia hanya sebatas berteriak, meratapi nasibnya. Isak tangisnya membuat ia kembali teringat akan kedua pahlawannya yang saat itu sangat jauh darinya.

Darah terus mengalir perlahan, membasahi punggung kakinya, hingga berada di atas motor pun, Apet hampir tak sadarkan diri.

“Tidak apa-apa, No. Jangan terlalu khawatir, ini hanya luka terobek saja jadi No punya kaki tidak mungkin putus.”

Pria itu mencoba mengatakan apa-adanya sekedar untuk menguatkan anak itu yang nampak mulai rapuh dengan kondisinya sendiri.

“Iya om, tolong saya, om!”

Itulah kalimat yang sedari tadi senantiasa keluar dari dalam mulut sang korban. Ia menangis tersedu-sedu tak karuan, berteriak memanggil-manggil kedua orang tuanya yang sedang membanting tulang, meraup nasib di tanah orang. Apet sempat berpikir kalau orangtuanya akan bersedih jika mendengar kabar bahwa ia ditimpah musibah. Namun saaat itu ia sekedar berefleksi bahwa kejadian ini tidak membuat ia melihat dunia terakhir kali sehingga ia terus menyebut nama Tuhan. Ia terus bergulat dengan rasa sakit, pikiran, dan perasaannya saat ia tengah didorong oleh sebuah tempat tidur beroda karena takut kalau-kalau kakinya diamputasi.

Penyunting: Arief Kurniawan

Mahasiswa Fakultas Filsafat UNWIRA Kupang