

The Manipulated, drama terbaru yang diperankan Ji Chang-wook dan D.O adalah jenis tontonan yang membuat kita tidak langsung bisa bernapas lega setelah menyelesaikan setiap episodenya. Ada sesuatu yang menyebalkan dari drama ini, bukan karena alurnya sulit dipahami, bukan pula karena logika ceritanya berbelit. Rasa “menyebalkan” itu hadir justru karena drama ini meninggalkan jejak emosional yang tidak rapi, semacam kekosongan tak bernama yang muncul setelah kita menyaksikan betapa mudahnya hidup seseorang dihancurkan oleh tangan orang lain.
Sejak episode-episode awal, drama ini seperti membawa kita pada sisi terdalam diri sendiri, ke tempat yang jarang kita sentuh. Sebuah kesadaran bahwa manusia, betapapun ia berusaha, dapat terseret masuk ke orbit orang lain tanpa tahu kapan ia mulai kehilangan dirinya. Ada perasaan bahwa hidup bisa diretas, dikendalikan, bahkan dihancurkan oleh sesuatu yang berada di luar batas kendali. Sebagian dari kita mungkin pernah merasakan itu: peristiwa, orang, atau trauma yang begitu kuat hingga meninggalkan resonansi panjang dalam diri.
Secara garis besar, drama ini mengikuti seorang pria yang hidupnya berbalik arah dalam sekejap. Tuduhan, kesalahan, dan kejatuhan datang tiba-tiba tanpa aba-aba. Di satu sisi terdapat seseorang yang kehilangan hampir segalanya, dan di sisi lain berdiri sosok yang tampak begitu tenang, dingin, dan berjarak—seseorang dengan kendali penuh atas retakan-retakan yang terjadi. Hingga episode keenam, The Manipulated tidak terburu-buru membuka rahasia yang diberikan hanyalah potongan kecil motif, luka masa lalu, dan tanda-tanda bahwa semua ini tidak terjadi secara spontan. Semuanya telah dirancang.
Yang menarik, drama ini tidak bermain pada aksi semata. Ia bermain pada psikologi, pada rasa kehilangan, dan pada manipulasi yang perlahan merusak cara manusia memandang dunia. Kita diajak menyaksikan bagaimana seseorang diremukkan bukan melalui kekuatan fisik, tetapi melalui strategi yang tenang dan rapi. Narasi balas dendam dalam drama ini terasa seperti labirin: gelap, panjang, dan membuat kita mempertanyakan siapa sebenarnya yang paling tersesat di dalamnya.
Adegan-adegan sentimental ditampilkan bukan untuk membuat kita tersentuh secara dangkal, tetapi untuk membuka ruang kosong di dalam diri penonton. Ruang yang biasanya kita hindari, namun dalam drama ini kita tidak diberi pilihan untuk kabur. Ada tatapan, ada keheningan, ada saat-saat ketika karakter terlihat ingin menyerah, namun justru terus berjalan karena sesuatu dalam diri mereka menolak untuk tunduk pada kegagalan.
Dialog-dialognya pun menggigit, memberi gema emosional yang lama tertinggal setelah episode berakhir. Tanpa harus mengumbar terlalu banyak, drama ini seolah berbisik bahwa manusia berubah bukan karena ketakutan, tetapi karena rasa dicintai, dihargai, atau justru dipatahkan sedalam-dalamnya. Musik latar, sinematografi kelam, dan atmosfer yang megah semakin mempertebal kesan bahwa drama ini bukan sekadar thriller balas dendam; ia adalah perjalanan batin tentang bagaimana manusia menyikapi luka.
Beberapa teori mulai bermunculan di kalangan penonton: apakah ini sekadar kisah manipulasi antardaging dan darah? Ataukah ada permainan lebih besar tentang trauma, determinisme, bahkan relasi antara masa lalu dan masa depan yang saling menciptakan satu sama lain? Namun, pada akhirnya, teori hanyalah teori. Drama tetaplah drama, dan pembuat cerita berhak memelintir realitas demi kebutuhan konflik emosional yang ingin disuguhkan.
Justru hal-hal sederhana itulah yang kadang lebih menghantam: cara seseorang memandang kekacauan hidupnya, cara ia merawat luka, dan cara ia memilih mengambil kendali kembali atau kehilangan semuanya. Hingga episode yang sudah tayang, The Manipulated menggambarkan itu dengan begitu sunyi dan telak.
Terlepas dari kekuatan produksinya, drama ini tetap menyebalkan dalam cara yang paling manusiawi. Ada rasa kosong yang perlahan tumbuh di dada, semacam kerinduan terhadap sesuatu yang tidak sepenuhnya kita pahami. Rindu terhadap kehidupan yang diambil secara paksa, atau rindu terhadap versi diri yang hilang dalam prosesnya. Kita mencoba mengurai rasa itu melalui adegan demi adegan, tetapi tetap tidak menemukan jawabannya.
Bagian paling ironis, kekosongan itu mungkin hanya pantulan dari kesepian dalam diri kita sendiri. Kesepian yang diam-diam tersentuh ketika melihat seseorang dihancurkan dan berusaha bangkit kembali. Kita mulai bertanya: apakah rasa simpati ini muncul karena drama tersebut, atau karena kita sedang melihat bayangan diri kita di balik layar?
Pada akhirnya, The Manipulated bukan hanya thriller tentang balas dendam; ia adalah cermin yang memantulkan betapa rapuhnya hidup manusia ketika disentuh oleh manipulasi, kenangan, dan luka yang tidak pernah selesai.
Penyunting: Arief Kurniawan

























Beri Balasan