Cendrawasih itu kebingungan, memikirkan apa yang terjadi dalam benaknya. Kebingungan itu berubah menjadi keterkejutan setelah kesadaran datang kepadanya. Ini bukan yang pertama kalinya, bukan juga kedua kalinya, melainkan ini adalah yang ketiga kalinya. Jantungnya berdegup kencang, Cendrawasih itu bangun dan mengepakkan sayapnya untuk terbang mencari kebenaran keadaannya saat ini. Dalam keheningan di udara ia mencoba mengingat apa yang terjadi. Semakin ia mencoba untuk mengingat semakin rendah terbangnya. Cendrawasih itu mulai mengingat, ingatan pertama langsung menyeretnya untuk kembali ke kehidupan yang ia jalani.
Tahun-tahun berlalu seperti dedaunan yang gugur. Kunjungan mereka mulai jarang. Sekali sebulan, lalu sekali setahun, hingga akhirnya berhenti sama sekali. Aku menunggu. Rafflesia-ku mekar dan layu tanpa saksi. Burung-burungku bernyanyi tanpa pendengar. Aku meyakinkan diri bahwa mereka akan kembali.
Lintang–gadis remaja pengantar kopi–akhirnya muncul kembali. Berjalan pelan-pelan menuntun Kaki Buyut, sosok yang dinanti dua belas tamu pria. Tiga kursi mahoni langsung lega ketika mereka berdiri, lalu bergantian menyalami secara takzim. Setelah Kaki Buyut melungguh, Lintang memisahkan diri menuju tikar, bersimpuh menghadap televisi.
Satwa dan puspa teman kehidupan Mereka pupus napas kita tertahan Hiduplah berdampingan tanpa mengacaukan Berhenti merusak ciptaan Tuhan
/Prakata/ Sebermula kami dapati nafsu rengkah di bumi mutiara hitam dada kami tak lagi resah menghadang bahala akan bayang-bayang distopia yang dapat kapan saja menumpahkan apokaliptik dan kecahkan digdaya alam hingga tak lagi tersisa sezarah pun masa depan kami temui.
Setelah datang musim pemburu terkenang habis sebatang bakau riuh. Telinga yang telah lekat dengan kicauan, alunan deburan, hingga deru mesin kapal pemecah sunyi malam.
Sebelum kita melukis peradaban, kita adalah tanah yang mencintai akar. Ranum asih tak terapal hanya dari bibir, tapi dari laku yang mengecup kelapangan. Meringkuk tubuh pada syukur sujud, memeluk rumput yang tak pernah kering dibasuh warna hijau Tuhan— tempat mata menakar pandang hanya pada kedamaian, hanya pada kepermaian.
Sebagai pohon jati yang menghuni hutan di lereng pegunungan, aksi tewas-menewaskan ini lazim terjadi. Namun, sebagai seorang anak pohon jati, aku tetap sedih. Bagaimanapun, mereka keluargaku. Sama seperti anak-anak penduduk desa yang pulang ke pangkuan orang tua saat matahari mulai tenggelam. Meski aku tidak bisa memeluk Bapak maupun Ibu, aku juga tetap butuh kehadiran mereka. Tapi, Ibu bilang jangan terlalu sedih. Bapak dan Ibu serta mayat lain yang digotong jiwa-jiwa kami tidak akan berakhir sia-sia. Selamanya, kami tidak akan mati sia-sia. Kami bisa berguna untuk mengisi rumah-rumah mereka, bermanfaat untuk mereka. Lagi pula, kami hidup juga karena mereka. Tanpa seleksi mereka, kami akan semakin rakus, membiarkan yang lain membusuk karena kekurangan makanan. Kami bisa jadi monster untuk satu sama lain. Jadi, kami tidak bisa hidup tanpa manusia, begitu pun sebaliknya. Kami adalah jiwa-jiwa mereka. Mereka adalah jiwa-jiwa kami.
Pulau Haruku, mutiara yang terapung di pelukan Kepulauan Maluku, adalah sepotong surga yang dibentuk oleh tangan waktu dan dijaga oleh nyanyian laut. Airnya sebening kristal, memantulkan tarian cahaya matahari yang jatuh lembut di permukaan. Di bawahnya, terumbu karang berkilauan, membentuk istana bawah laut bagi kawanan ikan yang berenang seperti serpihan pelangi. Penyu hijau melintas anggun, sementara kuda laut menari di antara anemon yang bergoyang anggun. Hutan bakau melindungi pantai, akar-akar mereka menjuntai seperti tangan yang merangkul laut.


































Ada Pertanyaan?
Temukan Kami di Media Sosial atau Hubungi Kami dan kami akan merespons segera.