Di keheningan yang memeluk jagat pemikiran, banyak individu berseru tanpa upaya menggiring publik menuju kegelapan keyakinan. Mereka, dalam gemuruh suara hati, hanya berkeinginan agar identitas tanpa kepercayaan mereka diterima. Namun, dalam alam praktiknya, tepi yang memisahkan tuntutan penerimaan dengan upaya mengosongkan iman cenderung berkabut. Seakan jalinan benang antara keduanya terhampar dalam ketidakjelasan, menguak misteri yang terselip dalam relung hati yang samar. (kabarbasic.com/Nazarru) |
Sejak duduk di kelas 3 SMP, seorang lelaki yang nyaman dipanggil dengan nama Putra mulai mempertanyakan keyakinan yang ia warisi dari orang tuanya. Kini, Putra mengaku tak meyakini adanya Tuhan.
“Saya dulu beragama Islam, bisa dibilang garis keras. Orang tua saya juga muslim. Sejak kelas sembilan saya mulai mempertanyakan kepercayaan saya,” jelasnya saat diwawancarai.
Putra mulai membuka dirinya pada kepercayaan lain karena hubungannya dengan teman-teman yang memiliki beragam keyakinan.
“Saya banyak berteman dengan orang non-muslim. Nah, pas pelajaran agama tuh kan katanya yang ingkar, tidak beriman, nanti masuk neraka. Saya lama-lama mikir, kan mereka dari kecil dibesarkan oleh agama sendiri dan pasti tahunya kelompoknya sendiri yang benar. Saya bertanya-tanya, kenapa Tuhan mengutuk mereka ke neraka dan mengatakan hati mereka sekeras batu,” lanjut Putra.
Bagi Putra, kepercayaan agama penuh kejanggalan, seperti tidak adanya bukti historis yang jelas terkait keberadaan tokoh-tokoh dan peristiwa yang dijelaskan di kitab suci. Alhasil, ia memutuskan untuk meninggalkan agama.
Meski telah melepaskan keyakinannya, Putra terpaksa bersembunyi dengan memasang topeng kesalehan. Berbagai konsekuensi menanti Putra jika ia mengungkapkan ketidakpercayaannya secara terang-terangan. Putra mengaku takut merusak hubungan dengan keluarga dan dikucilkan dari masyarakat.
“Sekarang ketika ada kegiatan religi, saya hanya ikut untuk have fun dan mengikuti kultur saja. Saya tidak terbuka tentang hal ini, hanya ada beberapa teman yang dekat dengan saya yang tahu,” ujar Putra.
Ketakutan Putra bukan tanpa alasan. Di Indonesia, dengan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai religius, terdapat stigma besar yang melekat pada mereka yang tak memeluk agama atau mengaku sebagai seorang ateis.
Akan tetapi, di tengah keberagaman yang menghiasi panorama spiritual tanah air, keberadaan mereka yang menolak untuk meyakini ajaran agama merupakan sebuah keniscayaan. Putra hanyalah salah satu individu dari entah berapa banyak manusia di Indonesia yang memilih untuk tidak meyakini Tuhan.
“Ini kan memang tren kemestian zaman. Informasi semakin terbuka, cara memandang agama juga berubah. Kritik terhadap teisme juga cukup marak di kalangan anak muda,” ujar Tantowi Anwari, Manager Advokasi Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).
Dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), hak atas kebebasan pikiran, hati nurani, agama, atau kepercayaan, dinyatakan dalam Pasal 18 Deklarasi Universal HAM (DUHAM) pada tahun 1948. Bunyi pasal 18 ialah:
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.”
Pasal 18 DUHAM juga melindungi hak untuk menolak agama atau kepercayaan apa pun dan untuk mewujudkan keyakinan non-agama melalui ekspresi, pengajaran, dan praktik, seperti yang tercantum dalam Komentar Umum 22 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
“(2) Pasal 18 melindungi kepercayaan-kepercayaan tauhid, nontauhid, dan ateisme, serta hak untuk tidak menganut agama atau kepercayaan apa pun. Istilah “kepercayaan” dan “agama” harus dipahami secara luas. Pasal 18 tidak membatasi penerapannya hanya pada agama-agama tradisional atau agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang memiliki karakteristik institusional atau praktik-praktik yang serupa dalam agama-agama tradisional tersebut….”
Meskipun demikian, individu-individu ateis dan non-agama tetap terpinggirkan secara sosial dan diperlakukan berbeda secara hukum di Indonesia, sementara penuntutan ‘penodaan’ terhadap agama atau kepercayaan tetap berlanjut.
“Intinya adalah yang pertama, masyarakat tidak siap. Kedua, ada regulasi yang bisa digunakan,” jelas Tantowi.
Diskriminasi dan Persekusi Individu Ateis dan Non-Agama di Indonesia
Sumber: The Freedom of Thought Report, Humanist International
Terjerat Bait Hukum? Menyingkap Dilema dan Refleksi
Konstitusi Indonesia secara normatif melindungi kebebasan beragama, sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 ayat (2), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Tertulis dalam hukum bahwa negara menjamin hak setiap jiwa tanah air untuk memeluk agamanya sendiri, beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya, serta bebas menyatakan pikiran dan sikap yang sesuai dengan hati nuraninya.
Namun, dalam praktiknya terdapat perbedaan perlakuan terhadap keberagaman agama dan masuknya perspektif non-agama di Indonesia. Meskipun tak ada peraturan yang melarang ketidakpercayaan terhadap Tuhan atau agama, ateis sebagai kelompok minoritas keyakinan menghadapi tantangan dalam memperjuangkan hak sebagai warga negara.
Salah satu peraturan perundang-undangan yang kerap menuai kritik terkait dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) adalah Undang-Undang (UU) No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.
Undang-undang ini menjadi pilar hukum yang mengatur kehidupan beragama dalam rangka ketertiban umum. Karena lingkupnya yang berkaitan dengan HAM yang tidak dapat dikurangi sebagaimana termaktub pada Pasal 28I UUD 1945, peraturan ini menjadi ladang kontroversi.
Dalam beberapa kasus, UU ini dapat digunakan untuk membatasi kegiatan sosial dan publikasi yang dianggap bertentangan dengan agama tertentu. Meskipun demikian, implementasi undang-undang ini dapat bervariasi dan tidak selalu konsisten di seluruh wilayah Indonesia karena perbedaan penafsiran.
Ambiguitas konsepsi dan muatan di dalam undang-undang tersebut menggerakkan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan tokoh-tokoh demokrasi di Indonesia untuk memohon judicial review.
11 Pemohon yang meminta judicial review UU PNPS pada tahun 2010 adalah:
- Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL),
- Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),
- Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI),
- Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (DEMOS),
- Perkumpulan Masyarakat Setara,
- Yayasan Desantara (Desantara Foundation),
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),
- K.H. Abdurrahman Wahid,
- Prof. Dr. Musdah Mulia,
- Prof. M. Dawam Rahardjo,
- K.H. Maman Imanul Haq.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 kemudian menolak judicial review seluruhnya dengan alasan “Dalil-dalil Pemohon, baik dalam permohonan pengujian formil maupun permohonan pengujian materiil, tidak beralasan hukum.”
Meski begitu, terdapat dissenting opinion (pendapat berbeda) dari salah satu Hakim Konstitusi, Maria Farida Indrati.
Di antara pendapat Maria adalah bahwa UU PNPS, meskipun secara formal masih mempunyai daya laku, secara substansial mempunyai berbagai kelemahan karena adanya perubahan mendasar terhadap UUD 1945, khususnya pasal-pasal yang menyangkut hak-hak asasi manusia.
Maria juga menyoroti terjadinya tindakan sewenang-wenang dalam pelaksanaan UU PNPS dan adanya pertentangan dalam ketentuan pasal-pasalnya terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, menurut Maria, permohonan para Pemohon seharusnya dikabulkan.
Selain UU PNPS, UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) sering kali menjadi sorotan terkait kontradiksi dengan kebebasan beragama, berkeyakinan, dan berpendapat.
Pasal 28 ayat (2) UU ITE, misalnya, melarang setiap orang untuk menyiarkan atau mentransmisikan informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau kebencian terhadap suatu agama.
Peraturan ini pernah ditegakkan dalam kasus Alexander Aan, seorang ateis yang dipenjarakan pada tahun 2012 karena mengunggah komentar dan gambar di halaman Facebook yang dinilai menghina Islam.
Pengadilan memutuskan Aan bersalah atas pelanggaran Pasal 28 UU ITE. Aan dinilai telah ‘menyebarkan informasi yang bertujuan untuk menghasut kebencian atau permusuhan agama’. Ketidakpercayaan Aan bukan merupakan penyebab sanksi, melainkan tak diterimanya cara ia berekspresi.
“Kalau ateisme itu sendiri tidak dituntut karena memang tidak ada deliknya, tapi karena pandangan kritisnya, akhirnya (Aan) dibilang menodai agama dan kebebasannya dibatasi,” jelas Tantowi.
Peristiwa ini merupakan kasus penting dalam studi tentang penerimaan terhadap pernyataan yang kritis terhadap agama di Indonesia.
Dalam komunitas ateis Indonesia yang masih bersembunyi, bisikan jenaka dan kritik serius tentang agama bukanlah barang langka. Akan tetapi, berbeda dengan Aan, mereka enggan menyerukan hak atas panggung diskusi publik.
Sandi (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswa Universitas Brawijaya yang mengaku ateis, menyatakan bahwa ia tak berani menyampaikan pernyataan yang skeptis terhadap agama.
Sandi menilai bahwa ada ketidakjelasan perbedaan antara menghina dan mengkritik dalam diskusi publik yang menyangkut ajaran agama.
“Distingsi itu menurut saya tidak jelas. Seharusnya menyampaikan kritik terhadap pemikiran dan keyakinan itu kan boleh-boleh saja. Masalahnya, kalau yang kena kritik tersinggung, bisa dianggap menghina. Kalau yang tersinggung ini sudah pakai tameng agama, selesai sudah,” keluhnya.
Saskia Schäfer, seorang peneliti di bidang analisis media dan otoritas agama-politik di Indonesia dan Malaysia, menegaskan pentingnya perbedaan tersebut dan menekankan ketidakpastian definisi dalam praktik di masyarakat.
“Kita perlu membedakan antara komentar anti agama dengan pernyataan skeptis, dan saya pikir ini bukanlah sesuatu yang dapat sepenuhnya ditentukan,” jelasnya kepada saya.
Schäfer, yang pernah menggunakan kasus Aan dalam studi kasusnya, berpendapat bahwa peraturan seperti UU ITE memang perlu ditegakkan. Namun, peraturan tersebut harus dirancang sedemikian rupa untuk melindungi kelompok rentan demi terciptanya kesetaraan ruang publik.
“UU ITE sebenarnya dapat digunakan untuk melindungi individu yang rentan dalam diskursus publik. Saya pikir inilah yang seharusnya menjadi tujuan utama. Sekarang pertanyaannya adalah, siapa yang termasuk kelompok rentan? Jadi ada masalah terkait penafsiran dan penerapan undang-undang itu,” tegasnya.
Individu ateis di Indonesia juga dilarang ‘menyebarkan’ ateisme di Indonesia, sebagaimana tercantum pada Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Banyak ateis yang mengklaim bahwa mereka tidak sedang berusaha meng-ateis-kan orang beragama. Mereka hanya ingin identitas non-agama mereka diterima. Namun, dalam praktiknya, garis pembeda antara tuntutan penerimaan dengan persuasi ateisme cenderung ambigu.
“Saya takut ketika berargumen tentang Tuhan atau agama nanti dianggap ‘menyebarkan’ ateisme. Saya merasa penafsiran kata itu tidak jelas,” tambah Sandi.
Negara masih mengatur dan membatasi penyebaran keyakinan melalui peraturan perundang-undangan. Tidak mengherankan jika banyak orang Indonesia mencurigai adanya niat-niat misioner dari kalangan kepercayaan (dan ketidakpercayaan) manapun, termasuk ateis.
Melintasi Tabu, Menuju Inklusivitas
Dalam konteks penelitian tentang ateisme di Indonesia, Timo Duile, seorang peneliti di Departemen Studi Asia Tenggara di Universitas Bonn, Jerman, menyoroti pentingnya memperhatikan bagian-bagian yang terpinggirkan dalam masyarakat.
“Kalau kita mempelajari suatu masyarakat, kita juga harus meneliti bagian yang terpinggirkan. Setiap masyarakat selalu menganggap dirinya inklusif, tapi juga punya mekanisme eksklusi identitas tertentu,” jelas Duile kepada saya melalui Zoom meeting.
Duile menyoroti peran politik identitas dalam antagonisme kaum tertentu.
“Banyak alasan (atas antagonisme kaum ateis), misalnya konservatisme agama, dan adanya politikus tertentu yang mau memperalat agama. Namun, identitas yang diusir, yang tidak dianggap oleh masyarakat, bisa berubah. Dan bisa jadi suatu saat nanti ateis itu tidak dianggap sebagai musuh,” terusnya.
Duile menekankan bahwa mistifikasi terhadap identitas individu ateis diperkuat oleh doktrin Orde Baru (1967-1998). Dalam pemberangusan yang digerakkan oleh negara di era Orde Baru, komunisme digambarkan sebagai sesuatu yang secara inheren bersifat ateis.
Rezim Orde Baru melabeli musuh-musuhnya sebagai ateis komunis. Dalam konteks ini, ateisme dipandang sebagai ideologi yang dianggap tidak sesuai dengan identitas keindonesiaan. Namun, Duile juga melihat adanya pergeseran paradigma pada kaum muda yang tak lagi mendapat pengaruh kuat dari mistifikasi tersebut.
“Makanya banyak dari kaum muda tidak lagi langsung memikirkan komunisme ketika dengar ateisme. Mekanisme untuk mengusir sebuah identitas dari Orde Baru tidak lagi berfungsi dengan baik. Dari situ, mekanismenya memang bisa berubah, tapi bisa jadi masyarakat justru akan menerima kelompok yang dulu ‘diusir’,” imbuhnya.
Di tengah dinamika sosial yang terus berkembang, semakin banyak gerakan dan komunitas yang berani melintasi batasan tabu di masyarakat. Mereka berjuang untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif supaya masing-masing individu memiliki tempat dan pengakuan yang setara, tak terkecuali untuk individu ateis dan non-agama.
Komunitas Indonesian Atheists (IA) muncul sebagai wadah bagi mereka yang tidak merangkul keyakinan agama. Komunitas ini didirikan oleh sosok bernama Karl Karnadi, seorang aktivis yang berusaha untuk memperjuangkan hak-hak kaum non-agama dan menciptakan ruang bagi mereka dalam masyarakat.
“Ketika saya membuat Grup Facebook Indonesian Atheists pada tahun 2008, saya hanya mengenal kurang dari 10 orang ateis Indonesia dan saya pikir itu saja,” tulis Karl Karnadi di platform media sosial Quora.
Selang beberapa tahun, mulai banyak yang bergabung dengan IA dan berbagi pengalaman mereka sebagai ateis di Indonesia.
“Maju ke tahun 2015, para ateis Indonesia sekarang tidak setakut pada tahun 2008. Komunitas ini membuat perbedaan, dan sekarang tidak hanya secara online, kami juga mengadakan banyak pertemuan offline di berbagai kota di seluruh Indonesia,” lanjutnya.
IA bukanlah satu-satunya tempat berlabuh bagi orang Indonesia ateis dan non-agama. Putra, misalnya, mengaku bahwa ia lebih memilih berjejaring di komunitas online internasional.
“Kalau saya sih biasanya menggunakan aplikasi Discord. Kadang pakai Twitter juga, tapi lebih suka Discord, karena ada servernya sendiri. Lebih enak daripada media sosial lain yang lebih terbuka,” jelasnya.
Komunitas yang ditemukan oleh Putra tidak hanya menjaring orang Indonesia, tetapi juga kaum non-agama lainnya dari berbagai negara, terutama dari kawasan Timur Tengah dan Asia Selatan.
Senada dengan hal ini, Sandi menyatakan bahwa ia senang menggunakan media sosial Discord dan Reddit untuk berdiskusi dan berdebat mengenai kepercayaan.
“Di komunitas-komunitas seperti itu, lebih enak kalau berdiskusi. Bahkan ketika ada gagasan seaneh dan segila apapun, tetap dibahas bersama dengan kritis. Kalau di komunitas tempat saya berdiskusi, jarang ada serangan personal atau saling rusuh,” tambah Sandi.
Tak hanya berfungsi sebagai wadah untuk kelompok ateis dan non-agama, beberapa komunitas menyediakan panggung diskusi antar kepercayaan dalam rangka saling memahami dan bertukar pikiran. Di Indonesia sendiri juga ada komunitas khusus untuk dialog demikian.
Grup Anda Bertanya Ateis Menjawab (ABAM) adalah komunitas dialog online yang mewadahi diskusi lintas kepercayaan antara kaum religius dengan individu-individu non-agama. Pengguna berdiskusi mengenai berbagai macam hal, mulai dari kebenaran klaim dalam agama, isu sosial, hingga hal-hal umum dalam kehidupan sehari-hari.
“Ada sih grup Facebook Anda bertanya Ateis Menjawab, tempat orang ateis berdialog dengan orang beragama. Diskursus di sana terkadang memang panas dan terkadang juga ada yang meledek, tapi belum pernah terjadi kasus kerusuhan. Jadi sebenarnya bisa ada diskusi secara terbuka,” tambah Duile.
Duile menilai bahwa banyak orang Indonesia yang sebenarnya mampu berdiskusi tentang perspektif non-agama dengan damai.
“Memang ada, kalau saya melihat teman teman ateis mereka juga ketemu teman yang beragama yang bisa mendiskusikan masalah ateisme yang kontroversial. Kalau di tingkat akar rumput, memang sudah bisa, tapi memang belum bisa ke wacana yang lebih umum lagi,” tambahnya.
Meskipun narasi ateistik dan non-agamis masih menghadapi kendala dalam mendapatkan pengakuan dan penerimaan yang luas, perjalanan mereka telah mengilhami diskusi dan refleksi tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Melalui pengungkapan pemikiran dan pengalaman, mereka memperkaya kerangka pemahaman tentang keberagaman dan membuka dialog antar keyakinan.
Reporter: Nazarru Djalu Ulhaqi
Penulis: Nazarru Djalu Ulhaqi
Editor: Leri Oktavia Amara
Beri Balasan