Normalisasi: Pelemah Norma Masa Kini
Sumber: http://bizpacreview.com/
Oleh: Ruli
Agustin
Normalisasi sudah menjadi kata-kata yang tidak asing lagi
didengar
maupun dibaca di media sosial. Banyak
sekali hal-hal yang bertentangan dengan norma justru dinormalisasikan. Ucapan
seperti “Urus
hidup masing-masing” dijadikan tameng bantahan. Mayoritas kesalahan dianggap
normal. Sebagian menganggap normalisasi menjadi perubahan baik yang menandakan
generasi masa kini peduli dengan kebebasan. Tetapi, sebagian lain bertentangan.
Normalisasi yang awalnya ditujukan untuk mengembalikan lagi keadaan awal,
justru malah menjadi pembenaran untuk hal yang seharusnya tidak bisa
dibenarkan.
Misalnya saja, di kalangan mahasiswa, menyontek yang
awalnya dianggap salah dan memang salah, sekarang sudah menjadi hal yang biasa,
hanya karena banyak mahasiswa yang melakukannya. Menyontek sudah dianggap
normal, walaupun sudah ada aturan yang melarang. Meskipun tidak dikatakan
secara terang-terangan, sebagian besar mahasiswa pasti sudah menormalkan,
bahkan melakukan dengan frekuensi berulang-ulang. Hal ini seolah-olah sudah menjadi
rahasia umum atau peraturan umum jika menyontek itu wajar saja, asalkan jika
ditanya di forum formal tetap menyesuaikan diri dengan mengatakan kata-kata
idealis seperti “menyontek itu tidak baik”, “usahakan tidak menyontek”, serta
kalimat sejenis yang tentunya hanya berhenti di ucapan, perbuatan dan realita tetap
menormalisasikan.
Contoh lain, pacaran yang bertentangan dengan norma
agama dan norma sosial, kini dianggap wajar. Justru malah mayoritas orang
dengan bangganya memamerkan di media sosial. Bermesraan di depan publik pun tidak lagi menjadi
hal yang memalukan, norma kesopanan sudah tidak dihiraukan. Bahkan, di beberapa
kalangan, berhubungan seksual bukan lagi menjadi aib yang harus ditutupi, malah
menjadi bahasan internal diiringi gurauan seolah hal itu sudah biasa terjadi.
Ketika seseorang mencoba menegur karena peduli, justru dilabeli terlalu
mencampuri urusan orang lain.
Hal yang perlu disoroti adalah batasan mana yang boleh
dan tidak boleh dinormalisasi. Jika yang boleh dinormalisasi adalah hal yang
tidak melanggar norma, mengapa pacaran dan menyontek sudah menjadi hal yang
wajar? Apakah berbicara kasar juga dapat dianggap normal? Bagaimana dengan
mencuri, menipu dan
hubungan sesama jenis? Apakah juga bisa dinormalisasi? Sayangnya, batasan yang
boleh dan tidak boleh dinormalisasi untuk saat ini masih sangat abu-abu,
terkesan hanya berdasarkan penilaian individu.
Ke abu-abuan ini menjadi masalah baru yang
kemungkinan terburuknya bisa memicu pertengkaran. Hanya karena masing-masing
merasa benar, akibat normalisasi yang tidak memiliki batasan dan aturan. Norma terlihat kalah ketika dihadapkan
dengan normalisasi. Ketika ada individu yang menyuarakan sesuai norma dan
berpendapat hal yang dinormalisasi itu salah, malah dianggap sok suci, berakhir
pada saling benci. Lalu, apa yang harus dilakukan sebagai penerus generasi?
Bukankah tetap berpegang pada norma dan meminimalisir normalisasi kesalahan
bisa menjadi solusi?
Editor:
Regina Tiur Sitindaon
Beri Balasan