

Perempuan tua yang cepat-cepat membukakan pintu kala cupingnya mendengar desingan tajam kendaraan itu terlihat kaget begitu melihat keberadaanku di depan pintu. Ia pasti tidak menyangka akan kedatanganku kembali ke kampung.
Ketika kemudian ia memelukku—melepas rindu. Memang sudah cukup lama tak pernah kembali lagi ke kampung. Macam-macam pula alasanku; entah terlalu sibuk bekerja di ibu kota, tidak cukup uang transportasi, atau tidak mendapat perizinan cuti. Sejak menetap di Jakarta, mula-mulanya, setiap tahun aku memilih untuk mudik ke kampung halamanku. Setelah karirku semakin maju, tak pernah lagi tapak kakiku menginjak tanah ini. Bukan. Bukannya tak sayang ibu. Seringkali aku mengajaknya menetap pula di ibu kota, dibalas gelengan kepala tak setuju. Tapi lama kelamaan, aku merasa tak enak. Maka, di sinilah aku, di kampung halamanku. Nikmat juga kembali menghirup udara pedesaan. Bukan bau bacin atau air got menyengat yang membuat hidungku menahan napas dibuatnya.
Aku bersalaman pada ibu, mencium pipi kanan dan kirinya yang mulai keriput dimakan waktu. Dipersilakannya aku duduk di atas balai-balai bambu beralas tikar. Lalu, ia pun turut duduk sembari menyuguhkan wedang angsle. [1]
Ada banyak sekali cerita ibu kota yang ingin aku sampaikan semua pada ibu, dan ibu dengan segala rasa cintanya padaku pun dengan senang hati mendengar seluruh keluh kesahku. Tentu saja budaya di perantauan sangat berbeda dengan budaya di Malang, meski sama-sama perkotaan, tempat kediamanku masih sangat asri dan jauh dari pusat kota.
“Mamat masih di sini, Bu?” tanyaku ketika teringat Mamat, sahabat kecil terbaikku. Dulu, kami sampai dijuluki kembar beda keluarga saking seringnya kami bermain bersama.
“Belum tau saja kamu siapa sekarang lurah desa kita.”
“Mamat?!” tersedak aku kala mendengar ucapan ibu dan terbatuk-batuk ketika ibu mengangguk menjawab pertanyaanku.
Sahabat kecilku yang dulu nakalnya setengah mati itu menjadi lurah?
Maka, setelah puas melapas rindu pada ibu, aku langsung mengunjungi kediaman Mamat, hitung-hitung bersilaturahmi setelah tujuh tahun tidak bertemu.
Rumah Mamat masih beratap kayu dan lantainya beralas bambu, di seberangnya terdapat kolam yang masih mengalir jua walau sudah kutinggal bertahun-tahun lamanya itu. Seperti yang masih kuingat, kolam itu tetap sama. Air sungainya teramat jernih. Konon berasal dari sumber mata air yang dianggap suci.
Kulihat tubuh kecilku berenang ke sana kemari di atas sana, sedang Mamat kecil sibuk menangkap yuyu—semacam kepiting yang hidup di perairan tawar—sebagai koleksi aquarium terbarunya. Terkadang, ketika mulai menjelang petang, anak-anak muda kerap menumpang mandi di kolam. Bukan tanpa alasan, menurut kepercayaan, kolam ini memang mempunyai khasiat untuk membuat wajah tampak awet muda.
Kembali ke kampung untuk sementara sepertinya tak buruk juga. Tempat di mana setiap hari hanya kuhabiskan untuk bermain dan menjelejahi setiap sudut desa—sebelum aku beranjak dewasa dan hanya berkutat pada monitor kantor.
Mamat mempersilakanku masuk ke dalam rumah sederhananya. Kali pertama ia melihatku lagi setelah sekian lama tidak bertemu tak jauh berbeda dengan reaksi ibu padaku tadi pagi. Padahal, aku hanya meninggalkan desa kurang lebih sepuluh tahun bukan seperti setengah umurku yang pergi.
“Kupikir kau sudah lupa akan tanah kelahiranmu, Bim.”
“Setiap perantau pasti memiliki tempat tersendiri dalam hati pada tanah kelahirannya bukan?”
“Kalau begitu tak mungkin perlu menunggu 10 tahun baru kembali.”
Aku tersenyum. Tak salah juga ucapannya. Mungkin aku terlalu sibuk pada kerjaan sampai tak memikirkan kampung halaman, mungkin aku terlalu malas melalui perjalanan panjang menuju kemari, atau mungkin aku sudah tak cinta lagi pada tanah kelahiran. Terlalu banyak kemungkinan dan tak satupun aku elakkan.
Kami berbincang cukup lama. Satu jam. Dua jam. Bahkan gemericik air kolam tak dapat menganggu obrolan.
“Kau harus tahu reaksi konyolku waktu mendengar kau menjadi lurah!” seruku pada Mamat mengingat adegan tersedaknya aku pagi tadi.
“Yah, gini-gini aku cerdik dan bijaksana.”
“Cerdik mencuri jambu Mbah Marinah maksudnya?” tanyaku mengingat kejadian lucu saat bokong Mamat ditepok kasar sapu lidi kebanggaan Mbah Marinah saat ia ketahuan.
Kami tertawa berbarengan.
“Di umurnya yang hampir tujuh puluhan itu, ia masih sehat dan bugar, tahu!” Mamat menyeruput kopinya sembari menceritakan Mbah Marinah, janda kampung yang terkenal galak itu.
Tidak sekali dua kali kami menjadi sasaran omelan Mbah Marinah atau tepokan sapu lidi kebanggaanya yang akan membekas satu minggu. Sebetulnya yang dilakukan Mbah Marinah tidak salah juga, ia hanya akan marah pada anak-anak nakal yang sering mengusik waktu tidur wanita tua itu. Seperti saat kami berdua mencuri sekantong kresek jambu di pekarangan rumahnya dahulu.
“Ia masih gemar marah-marah, bedanya yang ia marahi sekarang anakku dan teman-temannya.”
Lagi, kami tertawa bersama. Memang buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
“Kau datang tepat waktu sebenarnya, Bim. Besok kau harus ikut kirab saji dan melihat ogoh-ogoh buto dibakar.” pertanyaan Mamat membuatku teringat satu ritual besar yang selalu dilakukan setiap tahun di tanggal satu suro. Bertepatan esok hari.
Dulu sewaktu kecil, Tradisi Suroan selalu menjadi salah satu tradisi yang aku nantikan setiap tahunnya di Gunung Kawi. Sepanjang tahun orang-orang berbondong mengalap berkah. Beragam kesenian juga kegiatan-kegiatan sakral dilakukan. Tradisi ini dimulai sejak pagi hari di mana warga ditempatan di satu tempat luas. Menyiapkan beragam macam patung juga makanan-makanan hasil tani serta kebun yang nantinya akan dibentuk gunungan sesaji. Setelahnya, kirab saji dan parade budaya berkeliling desa. Parade budaya ini berupa sangkala [2] berbentuk kerbau, macan, buto, serta naga yang diarak hingga sampai pada tiga pintu gerbang menuju makam leluhur. Semasa hidupnya, leluhur ini sangat dihormati begitupun dengan sekarang. Menurut cerita yang beredar, kedua leluhur merupakan tetua kampung sekaligus tokoh besar yang berjasa pada desa kami. Untuk mengenang jasa-jasanya, maka setiap Suro di tanggal satu, selalu diadakan ritual suci di kawasan tersebut. Di tempat sanalah kami berdoa dan tahlil bersama sebelum perebutan gunung sesaji dilakukan dan dimakan bersama-sama para warga.
Selain kedua kegiatan itu, pada Tradisi Suroan juga terdapat replika patung buto yang dibakar pada puncak acara. Pembakaran patung replika ini sebagai simbol pembakaran nafsu jahat yang ada dalam diri manusia. Wujud harapan warga desa agar dilingkupi kedamaian dan diajuhkan sifat keji, tamak, serta kesengsaraan. Aku mengangguk-angguk saja kala itu.
“Masih ada saja tradisi itu?” kataku, tak sadar melontarkan pertanyaan yang terdengar sarkas.
“Masih, to! Kalau tidak diteruskan, siapa lagi yang akan mewarisi tradisi budaya di waktu sekarang ini? Bisa-bisa anak muda mulai lupa akan tradisi. Kenapa nadamu tak suka begitu?”
Mungkin ini menjadi kemungkinan terbaru dari beberapa kemungkinan yang membuatku enggan kembali ke tanah kelahiran.
“Bukan begitu, Mat. Maksudku, terlepas dari kepercayaan, bukannya itu malah menakut-nakuti anak-anak? Lagipun tak perlu lagi lah percaya seperti itu, zaman sudah modern.”
Memang benar. Walau Tradisi Suro selalu aku nantikan tiap tahunnya sewaktu kecil dulu, tak berani aku membuka mata pada saat pembakaran juga parade sangkala yang menyerupai hewan-hewan menyeramkan itu. Selain tak lagi percaya pada kepercayaan yang diyakini mengusir roh jahat, replika patung itu cukup membuat bulu kudukku bergidik ngeri. Sebab kata ibu, kalau main sampai waktu magrib lewat, sangkala akan menculik anak-anak nakal yang melanggar janji. Walau itu hanya karangan ibu, tetap saja, tak menutup kemungkinan anak-anak lain sama takutnya seperti aku dulu.
“Kau yang paling semangat dulu! Kalau semua orang berpikiran sama sepertimu, sudah punah semua tradisi Nusantara.”
Aku menghela napas kasar. “Pokoknya, aku tak ikut.”
Sempat mataku melirik raut muka Mamat yang memandang kesal. “Kepalamu habis terbentur palang kereta ibu kota apa bagaimana?”
***
Kalau Mamat tak berdiri di depan rumahku bahkan sebelum surya benar-benar menerbitkan warnanya—dan ibu yang tak tega akhirnya memaksaku ikut—tak mungkin sekarang aku berada di antara lautan manusia yang menanti Tradisi Suro dimulai.
Ogoh-ogoh buto setinggi tiga meter berdiri di hadapanku. Tubuhnya besar, ototnya kekar berambut gimbal dengan raut wajah geram. Matanya berwarna merah seiras dengan baju yang ia kenakan. Serta taring dan kuku-kuku tajam menambah kesan menyeramkan.
Lain ekspresiku lain pula ekspresi Mamat melihatnya. Terus-terusan mulutnya berceloteh ria betapa kagum ia pada ogoh-ogoh buto tahun ini. Memikirkan seberapa banyak biaya yang terpakai untuk membuat replika raksasa itu.
Lamur mataku beralih pada gunung saji. Sesaji mulai diperebutkan dan dilempar pada warga yang menonton dari kejauhan. Sesaji-sesaji itu diyakini warga sebagai lambing kemakmuran dan pendatang rezeki bagi sesiapapun yang mendapatnkannya. Beberapa makanan yang tak tertangkap berjatuhan ke tanah dan terinjak-injak keramaian. “Mubazir,” sahutku meringis pada makanan-makanan yang terbuang sia-sia itu.
“Kau diam saja lah!” seru Mamat cepat-cepat memangkas ucapanku.
Tak terasa sudah cukup lama kami berjalan berarak-arak mengelilingi kawasan Kawi. Suara gamelan terdengar lembut mengiringi langkah kami. Warga yang tengah bersantai di rumah turut beramai-ramai keluar hanya untuk melihat arak-arakan ini. Anak-anak kecil dengan semangat yang menggebu-gebu pun melambaikan tangan pada barisan parade layaknya bahagia menang undian.
Aku sedikit menikmati suasana sebelum langit mulai gelap bersinambung dengan kilatan petir. Awan-awan menggumpal membentuk mendung. Hal ini tentu membuat warga khawatir. Kami di lapangan terbuka, kilat, akan hujan. Padahal, cuaca hari ini seharusnya cerah berawan berdasarkan ramalan.
Desas-desus beredar sampai daun telingaku jika hal ini bisa saja terjadi bahwa desa telah “murka” karena ada yang tidak lagi menghormati leluhur. Aku? Maksudnya diriku? Itu hanya kebetulan saja yang tidak berhubungan dengan ritual manapun.
Sebab kegiatan tersisa sedikit lagi, warga pun mengesampingkan gangguan cuaca dan tetap melanjutkan perjalanan hingga pintu masuk pesarean tempat pemberkahan sesaji. Doa-doa dilafalkan, bunga-bunga ditaburkan, dan beberapa orang mulai berlinangan air mata.
Puncaknya ritual satu Suro adalah pembakaran sangkala. Ternyata, langit belum juga pulih. Gemuruh guntur bersahut-sahutan. Persis seperti dentuman besi-besi di jalan berlubang. Angin bertiup kencang. Beberapa hewan ternak bersuara di tengah suasanamencekam. Tepat saat sangkala itu dibakar, tanah di bawah kakiku bergetar membentuk sebuah retakan panjang.
Belum sempat menghindar, mataku terbelalak pada bayangan besar—sangkala yang menunggangi singa, bergerak di tengah perapian. Sontak aku mundur selangkah dua langkah. Bayangan itu tampak nyata. Hidup. Menatap langsung pada mata.
Tubuhku gemetar. Pikiranku kalut. Mencoba mencari jawaban rasional.
“Ini tidak mungkin..”
Benar kata orang-orang dahulu, tradisi adalah jembatan, tanpanya, kau akan tersesat pada arus zaman.
Penulis: Himmatul ‘Aliyyah
[1] Wedang Angsle, makanan khas Jawa Timur yang menyerupai kolak.
[2] Sangkala, semacam ogoh-ogoh sebagai perwujudan sifat angkara murka dan mara bahaya.
Beri Balasan