
“Sudah-sudah begini saja, tampaknya ini bisa dikatakan sudah cukup bagus untuk dikumpulkan, lagi pula tak ada jaminan bahwa tugas kali ini akan dikoreksi,” ucap Rani tergesa-gesa dan dengan tidak sabaran mengumpulkan tugasnya dalam laman resmi buatan universitasnya. Sembari menampilkan raut keputusasaan dalam wajahnya saat menatap hasil kerja yang ia buat, ia memantapkan hati untuk menekan tombol serahkan dan segera mengakhiri pengerjaan tugasnya.
Tak terhitung seberapa banyak tugas yang dosen-dosen itu berikan dengan dalih melatih kedisiplinan dan tanggung jawab. Coretan dan selipan tugas darinya terus datang, siap untuk menjadi tumpukan gunung jika tak segera diselesaikan. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan ketika ingin menjadi sarjana di universitas ternama ini. Apa itu skripsi? Apa itu makalah? Apa itu jurnal? Apa itu laporan praktikum? Semua jawaban dari pertanyaan retoris itu adalah hidangan pembuka bagi kita. Sosok yang dapat disebut sebagai pejuang cita-cita yang kemarin sore sempat diremehkan oleh mereka-mereka yang menganggap pendidikan tak lagi penting. Tak sedikit dari mereka yang memandang sebelah mata kehidupan kita, konon kata mereka kita hidup penuh gaya, tanpa peduli nasib orang di rumah. Namun, apa gunanya menangkis cercaan mereka, tentu tak akan ada gunanya.
Orang bebal tak mencari jawaban, mereka mencari validasi. Jika muncul pertanyaan mengenai perkuliahan yang sulit, akan lantang jawaban terucap jika itu memang betul adanya. Namun, logika menuntut kita untuk tak menjadi orang yang terlalu mengedepankan perasaan dalam beberapa hal.
“Sadar, lah, Rani, sudah kali ke berapa kamu mengarang apa yang dosenmu berikan, cobalah, aku yakin kamu bisa diandalkan,” ucap sahabatnya mulai memberikannya penerangan saat Rani tenggelam dalam gelap keputusasaan.
“Ini sudah terlewat batas, sejak semester lalu beberapa materi yang diberikannya tak pernah masuk dalam kepalaku, persetan dengan semuanya, ingin ku sudahi saja, lelah rasanya jika aku harus berjalan dengan kaki tak menapak namun bagaimanakah caranya untuk keluar? Ah, sudahlah ini sudah seperti ada untukku,” keputusasaan hinggap makin erat dalam dirinya, terbiasa menjadi sosok terbaik dan menjadi emas bagi orang disekitarnya membuat Rani kelelahan jika dirinya tak mendapatkan validasi dari apa yang telah dilakukannya sekarang. Terlalu kejam bagi dirinya untuk menjadi sosok yang diabaikan. Memang benar adanya semua orang pernah salah dan kesalahan bisa diperbaiki. Namun, terdapat fakta bahwa nasi yang telah menjadi bubur tak akan bisa kembali menjadi nasi. Apakah dia menyesal? tentu saja, memilih untuk menjadi bodoh, mengingkari bahwa angka dan dimensinya tak tercipta untuknya, mereka hanya memujanya bukan benar benar mengatakan kebenaran. Semua itu karena ia terlalu bersinar sehingga ia lupa, ia termakan.
Rani tidak benar benar tahu, bahwa sosoknya memiliki apa yang ia pikir tidak bisa dimilikinya, asumsi menertawakan keputusannya, warna biru dalam layar kotak bertanda selamat yang kala itu menjadi bukti. Andai waktu dapat diputar semudah membalikkan telapak tangan, mungkin Rani akan memikirkan pilihan tak masuk akalnya itu. Rani memang naif, ia mengabaikan pesan gurunya untuk tak terkecoh. Apala daya ia terlanjur abai dan kokoh pada instingnya.
“Aku Ingin berhenti, tapi kurasa jalanku terlalu rumit untuk keluar dari labirin ini, aku sudah masuk terlalu dalam. Baik keluar atau masuk, semuanya merugikan aku,” lagi dan lagi ia tak terima, pengumuman dalam aplikasi biru terkait indeks penilaian membuatnya jijik.
“Jangkauannya memang tak seberapa dari semester kemarin, yang ini lebih bagus,” sahabatnya tak pernah putus untuk membantunya keluar dari labirin yang ia buat sendiri.
“Ingat! Hidup adalah gabungan dari 10% hal apa yang kamu alami dan 90% bagaimana cara kamu menanggapinya,” tambahnya memberikan lebih banyak jalan bagi Rani untuk keluar.
“Terlampau paham akan hal itu 10% adalah kesalahan keputusanku dan 90% lainnya menyalahkan pola pikir serta tanggapan yang membuatku semakin sadar akan gelapnya keputusanku,” mencela dirinya sendiri membuatnya makin terperangkap.
“Mungkin sebaiknya aku berbincang pada mereka yang tidak merendahkan pola pikir dan keputusannya,” sahabatnya mulai kesal dengan tanggapannya, dalam kalbunya ia ingin berteriak, “Lari lah atau sekalian hancurkan saja labirin yang kau buat itu. Kau terlalu senangkah terperangkap, melarikan diri bisa jadi sangat mudah hanya perlu merubah pola pikirmu, dan kau tak harus sempurna, untuk menjadi penguasa.”
Dia terperangkap di antara lorong-lorong gelap labirin pikirannya sendiri. Bagaikan sebuah jembatan yang terputus di tengah sungai, ia mencoba menjadi penghubung antara masa lalu dan masa depan yang kabur, tetapi pandangan yang salah membuatnya terjebak di antara yang muda dan tua, di antara yang benar dan salah. Seolah-olah pilar yang rapuh di tengah bangunan, ia berjuang untuk menopang beban yang terlalu berat, tanpa dasar yang kuat dan stabil. Hanya menjadi penyangga yang tidak pasti, ia merasa terperangkap dalam labirin perspektif yang menyelimuti keberadaannya.
“Entahlah, mungkin aku adalah kebodohan itu sendiri, yang tak bisa kutemukan jalan keluar selain terperangkap di dalamnya. Seolah-olah aku telah menyalakan lilin di tengah gelapnya labirin ini, hanya untuk menghindari kebingungan tentang diriku . Aku sadar akan keterbatasanku, betapa sinarku sebenarnya tak seberarti seperti yang mereka harap. Namun, walau dalam pusara kelelahan aku tetap bersedia menjalani keputusanku meski kadang membuatku tak merasa aman, meski aku merasa tak bisa keluar dari labirin kebodohan ini,” Rani berucap panjang seakan menekankan tiap kata dalam ucapannya.
Penyunting: Al Ninantari Dimarzio Ananto
Beri Balasan