Karena Kamu Perempuan

Ilustrasi oleh OlgaVolkovitskaia 

Hari ini, di depanku, di dalam kamarmu, kamu menangis tersedu-sedu. 

Di hadapanmu, ada peralatan rias yang sudah koyak, tak berbentuk lagi rupanya sebab saling bercampur. Ada yang patah, terbelah dua, dan ada pula yang isinya hancur lebur. 

Pelakunya adalah ibumu.

Beberapa waktu lalu, di kamar ini, wajahnya yang dipenuhi amarah masuk dan langsung mengacak-acak apapun yang berada di atas tubuhku. Berikutnya secara membabi buta wanita tua itu merusaknya satu persatu di hadapanmu.

Aku dari tempatku berdiri hanya bisa diam membisu menyaksikan teriakanmu. Meratapi peralatan rias yang susah payah kamu kumpulkan pelan-pelan dengan uang yang kamu hasilkan sendiri. Aku ingat betapa bahagianya wajahmu dari pantulan cermin sambil mencoba setiap peralatan rias yang baru saja kamu beli. 

Yang kini sudah lebur di lantai dingin kamarmu. 

“Siapa yang suruh kamu pakai-pakai make up menor? Kamu itu diomongin sama tetangga, Ibuk malu!” kata wanita itu sambil berkacak pinggang menyaksikanmu yang luruh bersama peralatan riasmu. 

“Aku beli pakai duit aku sendiri, Buk. Ini mahal, susah payah aku kumpulkan satu-satu…” lirih kamu menjawabnya, tanganmu masih berusaha menyelamatkan bedak padat yang tampak sudah terlebah dua tutupnya.

“Ibuk gak peduli. Mau taruh di mana muka Ibuk di depan tetangga?” wanita itu makin jelas amarahnya.

“Kalau Ibuk malu, kenapa paksa aku pulang ke rumah? Kenapa gak biarkan saja aku di kontrakanku kemarin? Aku bisa bebas lakukan apa yang aku mau tanpa bikin Ibuk malu.” Kamu mendongak. Dari tempatku, aku bisa melihat amarah ikut menguasaimu.

“Karena kamu janda! Takut fitnah kalau tinggal sendiri, Laras! Aib, Aib! Paham gak sih kamu? Capek Ibuk jelasin ke kamu!” Kata wanita itu sambil mengusap dadanya seolah-olah kamu menyakiti hatinya. 

Raut wajahmu langsung berubah. Aku melihat tak ada lagi kilatan amarah bermain-main di manik matamu. Berganti dengan gumpalan kecewa yang tersampaikan lewat matamu yang kini berkaca-kaca.

Karena kamu janda.

Oh, sekarang kamu mengerti sebabnya.

***

Dahulu, saat kamu lebih belia daripada sekarang, kamu selalu dibangunkan di pagi buta untuk langsung berjibaku membantu ibumu mengerjakan pekerjaan rumah yang bagai tak ada habisnya. 

“Bangun, anak gadis kok bangunnya siang-siang? Nanti susah dapat suami!”  katanya sambil menarik selimut yang membungkus tubuhmu subuh itu. 

Kamu mau tidak mau menurut, ku lihat wajahmu yang cemberut pasrah mengikuti ibumu yang berjalan menuju dapur, siap untuk menyiapkan sarapan dan menimba air untuk mandi sekeluarga. 

Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat langkahmu yang berhenti sejenak di depan kamar kakak lelakimu yang pintunya terbuka. Terlihat dia masih tertidur pulas. 

Oh, enaknya menjadi lelaki di rumah ini.

Raut wajahmu menjelaskan segalanya. 

Kamu kemudian harus ikut bersusah payah menyiapkan air mandi yang mesti hangat untuk kedua lelaki di rumah itu. Serta, sepiring goreng pisang dan dua gelas kopi hitam yang harus sudah disuguhkan ketika ayah dan kakak lelakimu selesai mandi dan berpakaian. 

Oh, sungguh enak menjadi lelaki di rumah ini.

Tinggal menikmati pelayanan tanpa harus bersusah payah mengurus rumah. Padahal kalian sama-sama bekerja, sama-sama berangkat pada pukul tujuh pagi dan pulang ke rumah pukul enam sore. 

Tetapi di sore hari sepulang kerja pun masih ada pekerjaan rumah yang menumpuk dan mesti di kerjakan hari itu juga. Sementara ayah dan kakak laki-lakimu tinggal menunggu di meja makan dan makan malam akan tersedia. 

Pernah suatu waktu kamu bertanya kenapa kamu harus mengerjakan ini dan itu sementara kakakmu tidak? Jawaban yang kamu dapatkan lantas membuatmu kecewa. 

“Karena kamu perempuan,” kalimat pertama yang keluar dari bibir ibumu. 

“Perempuan harus belajar pekerjaan rumah supaya nanti kalau sudah menikah, kamu bisa becus urus suami dan rumah tangga.” lanjutnya.

Karena kamu perempuan.

Kalimat itu kerap kali terngiang-ngiang di kepalamu malam hari ketika kamu sudah berbaring di tempat tidur. 

Memangnya kenapa kalau perempuan?

Sambil memejamkan mata, kamu bermonolog sendiri dan diam-diam mempertimbangkan dua keputusan besar. 

Pertama, kamu harus keluar dari rumah ini.

Kedua, kamu tidak ingin menikah jika pernikahan hanya berarti mengabdikan diri dan melayani suami. Konsep itu selamanya tidak masuk akal di pikiranmu yang bercabang. 

***

Sayangnya, keinginanmu yang kedua dipatahkan oleh orang tuamu sendiri setahun kemudian. 

Waktu itu, kamu sudah tidak tinggal di rumah ini. Kamu memutuskan untuk merantau dan bekerja di kota besar. Itulah sebabnya hari ini aku heran ketika melihatmu lagi, dengan wajah dipenuhi amarah masuk ke dalam kamarmu sambil membanting barang bawaanmu yang banyak itu. Aku bahkan bisa menaksir bahwa kamu ikut membawa pulang semua barang di kontrakanmu.

“Ibuk sama Bapak udah gila ya?” katamu sambil berteriak. 

Satu tamparan keras kemudian melayang tepat di pipi kananmu.

“Jaga ucapan kamu, Laras!” itu ayahmu. Tangannya memerah sebab baru melayangkan tamparan di pipimu. Aku bisa memperkirakan rasa sakit yang kamu dapatkan sebab tangan ayahmu bahkan memerah dibuatnya.

Kamu tak gentar. Matamu dipenuhi murka yang makin berkobar. 

“Kalau gak gila, kenapa jual laras ke lalaki hidung belang seperti dia? Bapak tahu kalau dia suka main wanita!” tak gentar, kamu berdiri menghadap ayahmu yang kini diam membisu. 

“Bukan dijual, Laras, tetapi dijodohkan!” sanggah ibumu. 

Kamu mual mendengarnya. 

Sementara ayahmu sekali lagi memperingatkanmu untuk tak membantah dan mengancam bahwa keputusannya di keluarga ini tak bisa diganggu gugat. Katanya, dalam agama, dia bahkan bisa menikahkanmu tanpa persetujuanmu. 

Malamnya, sambil menangis, kamu memohon pada ibumu untuk membatalkan perjodohan itu. Namun jawaban yang kamu dapatkan malah justru makin menguras tangis yang tersisa di matamu.

“Bapakmu itu sudah tua tapi hutangnya masih banyak. Kakakmu ndak bisa diandelin. Calon suamimu bersedia bantu bayar hutang-hutang bapak..” Jawab ibumu. Matanya menatap matamu seolah memohon agar kamu mengerti posisimu sendiri dan menuntutmu untuk tahu diri. 

“Kenapa ndak bisa sabar dikit toh, Bu? Aku ini sudah kerja, gajiku stabil..” Suara yang keluar dari bibirmu  sarat akan keputusasaan. 

“Kamu kerja tuh ndak bisa bikin kita kaya toh? Paling gajimu cuman UMR, kapan lunasnya hutang bapakmu? Pengertian dikit yo, Nduk? Kamu ndak disuruh bayar yang aneh-aneh toh? Cukup jadi istrinya saja.. nafkahmu seumur hidup sudah terjamin, Nduk”

Cukup jadi istrinya saja?

Malam itu, aku ingat dirimu menangis kencang di kamar ini sambil berpikir dosa apa yang telah kamu perbuat di masa lalu hingga Tuhan menggariskan takdirmu seperti ini. Mengapa kamu yang harus berkorban sementara selama ini, kakak laki-laki selalu dijunjung tinggi meski ibumu bahkan sudah mengakui bahwa dia tak berguna sama sekali?

Sejak saat itu, kamu tahu, 

Di negara di mana patriarki mengakar kuat pada tiap-tiap keluarga, terlahir sebagai perempuan berarti menerima takdir bahwa jiwamu bukan milikmu sendiri. Pendapatmu tak akan didengar dan pada suatu kasus seperti dirimu, kamu hanyalah sebatas barang dagang yang bisa ditukar dengan hutang.  

Menjadi perempuan adalah momok yang membelenggu jiwamu.

***

Dan di sinilah kamu, kini. Sudah tiga tahun berlalu dan pada akhirnya kamu kembali kepada keluarga yang mengirimmu untuk lelaki yang kamu nikahi itu.

Kejadiannya begitu rumit. Semua orang tahu bahwa kamu menikah dengan lelaki yang menghutangi ayahmu sebagai istri kedua. Semua orang tahu bahwa lelaki itu sering bermain wanita. 

Suatu hari, istri tuanya yang tak terima suaminya menikah lagi dengan gadis muda mendatangimu pagi-pagi buta dan memaki-makimu di depan tetangga. Katanya, kamu adalah wanita penggoda, perebut suami orang, dan perempuan matre yang hanya mengejar harta. 

Ujungnya, sang istri tua katanya memintamu untuk bercerai dengan suaminya, yang kamu setujui langsung dengan tangan terbuka. Toh, bagimu, pernikahan ini memang hanya berarti tempat penyiksaan yang tak berkesudahan. Kamu bahkan sudah merangcang beberapa skenario untuk menuntut perceraian. Pucuk dicinta, ulam pun tiba, bagai siraman air dingin di tengah dahaga, akhirnya kemudahan datang juga. 

Meski begitu, bukan berarti jalanmu mulus begitu saja. Orang tuamu dengan berbagai cara menghalangi perceraianmu sebab tak ingin sumber uang lepas begitu saja. Sementara suamimu semakin sering main tangan sebab terlalu marah kalau istri keduanya yang cantik dan masih muda lepas begitu saja. 

Pada akhirnya, perceraian tetap dilakukan. Istri tua yang kelewat benci padamu entah bagaimana berhasil memisahkan kalian. Bukannya perceraian itu berarti kebebasan. Hutang-hutang keluargamu kepada lelaki itu memang sudah dinyatakan lunas sejak hari pertama kamu jatuh ke pelukannya. Akan tetapi, kamu kembali harus banting tulang sebab sumber uang keluarga –mantan suamimu, kini telah hilang dari genggam mereka. 

Momok berikutnya kembali mengahntuimu. 

Stigma terhadap janda dan tatapan penasaran dari tetangga-tetangga menjadi ketakukan baru yang menemani hari-harimu. Seringkali kamu berlagak tak peduli meski bisik-bisik mereka kerap tertangkap indra pendengaranmu. 

Kamu yang pada awalnya memutuskan untuk hidup sendiri pun dipaksa pulang kembali ke rumah sebab tak elok seorang janda tinggal sendirian. Aib keluarga, bahaya fitnah, katanya. 

Semenjak kamu kembali ke kamar ini, setiap hari tak luput aku memperhatikanmu, menerka-nerka bagaimana perasaanmu hari ini? Apakah kamu bahagia hari ini? Meski tengah malam masih sering kutemukan isak kecilmu dari balik bantal, mempertanyakan kenapa garis hidupmu harus seperti ini?

“Aku sebenarnya bersyukur sudah bercerai dengan lelaki itu. Lebih baik menjanda daripada seumur hidup harus menjadi istrinya,” suatu malam, kamu bermonolog dengan dirimu sendiri. 

“Tapi rasanya tetap tak tahan kalau ibuk ungkit-ungkit statusku sebagai janda. Padahal, janda bukan berarti lemah dan tidak bisa apa-apa…” lirihmu selanjutnya. 

Hari-hari selanjutnya, aku menyaksikan dirimu kembali bangkit dari keterprukan. Berkat tingginya etos kerja dan keterampilanmu, pekerjaan dengan gaji cukup menjanjikan kembali kamu dapatkan. Kali ini, kamu memanfaatkan keterampilanmu merias wajah. Yang aku tahu, kamu mengikuti kursus-kursus di kota dan mendapatkan sertifikasi untuk menjadi tata rias wajah profesional. 

Tentunya, pekerjaan menuntutmu untuk tampil cantik dan prima. Wajahmu sendiri, sebagai penata rias tentunya menjadi salah satu portofolio yang bisa meyakinkan calon pelanggan. 

Sayangnya, riasan yang selalu prima terpasang di wajahmu menjadi buah bibir baru. Katanya, make up-mu yang terlalu menor tak elok sebab terlihat menggoda, ditambah lagi kamu seorang janda

Kamu serba salah dibuatnya. 

Puncaknya adalah hari ini ketika tetangga depan rumah terang-terangan menyindir ibumu yang sedang menyapu di halaman. Wanita tua itu, yang naik pitam sebab harga dirinya tercoreng tanpa ragu menyeretmu ke dalam kamar dan menghabisi alat rias di depan matamu. 

Jiwamu ikut lebur bersama alas bedak dan gincu yang dihancurkan ibumu. 

“Karena kamu janda! Takut fitnah kalau tinggal sendiri, Laras! Aib, Aib! Paham gak sih kamu? Capek Ibuk jelasin ke kamu!” Kata wanita itu sambil mengusap dadanya seolah-olah kamu menyakiti hatinya. 

Raut wajahmu langsung berubah. Aku melihat tak ada lagi kilatan amarah bermain-main di manik matamu. Berganti dengan gumpalan kecewa yang tersampaikan lewat matamu yang kini berkaca-kaca.

Kata-kata itu menyakiti hatimu. 

“Memangnya kenapa kalau aku janda?” hanya itu yang mampu keluar dari belah bibirmu yang bergetar. 

Ibumu tak menjawab. 

“Janda banyak fitnah. Kamu perempuan, harus jaga harga diri. Cukup sekali kamu gagal dan bikin malu Ibuk. Jangan diulangi lagi!” Jawaban ibumu selanjutnya menghantam tepat di hatimu yang memang sudah porak poranda. 

Wanita tua itu berjalan keluar kamar tanpa menoleh ke belakang.

Sementara kamu hanya dapat meringsut sambil meraih salah satu dari keempat kakiku. Kalau saja aku bisa, ingin rasanya aku memeluk bahumu yang ikut bergetar sebab isakmu kini berubah jadi sedu sedan. Sayangnya, selamanya aku hanya menjadi saksi bisu yang berdiri kaku di pojok kamar. 

Perlahan kamu berdiri dan duduk di hadapanku. 

Wajahmu yang masih menyimpan jejak air mata lurus menatap cermin yang menempel di tubuhku. Di cermin, kamu berbicara pelan dengan bayanganmu sendiri,

“Kenapa dunia terlalu sulit buatku?”

Kamu tentu tahu jawabannya

“Karena aku perempuan.”

Karena kamu perempuan.

Penulis: Salma Rihhadatul Aisy