Pemuda Tanpa Cita-Cita
Aldy
Hasbiya Sidiq
Setibanya di tanah kelahiran, kaki-kaki
ini melangkah menapaki
jalan berumput yang lama tidak kulewati. Syukurlah
Tuguraja masih rindang
oleh tetumbuhan: pohon,
rumput, dan padi, seperti cita-citamu dahulu. Petani masih menanam
benih yang menghijau
memenuhi sepanjang pandang.
Sekeranjang bebungaan kubawa
sebagai hadiah perjumpaan, khusus untukmu yang lama tidak bertemu.
Seusai melewati jalan setapak, tibalah aku
pada sebuah kompleks pusara di kampung
halaman: Komplek Pemakaman Tuguraja. Bebauan alam masih terhidu, tidak seperti kota tempat tinggalku. Mata menilik satu per satu nisan yang menancap.
Menjelajahi makam-makam yang mendiam. Seperti kata teman-teman kita di masa SMA, kau memang pemuda
abu-abu. Hingga akhir hayat, abu-abu masih
menjadi warna favoritmu. Nisan marmer abu-abu kini menancap sebagai penanda
kediamanmu.
“Lihatlah, Lik! Kini aku bisa memakai setelan
jas hitam yang selalu kau idam-idamkan.
Bagaimana, keren bukan?” sembari menabur bunga, senyum kikuk hadir sebab tidak pernah terbayang
olehku, saat ini, saat dimana takada jawab untukku lagi. Padahal dahulu,
setiap sambat yang terucap dari mulut sering kautegasi
dan mendiam tenang
setelahnya. Tiba waktunya
aku merapalkan doa-doa.
Senyum kikuk yang sebelumnya tersiar perlahan memudar. Kau tahu, sambat mungkin bisa dijinakkan, tetapi rindu tidak segampang itu untuk
ditahan, ia akan terus menggerutu
mengingatkan manusia kepada hari perpisahan. Pada akhirnya, kembali
aku melanggar janji untuk tidak meneteskan air mata lagi.
***
“Bagaimana jika besok, kita membolos
saja?” niat yang sedari tadi menyelinap
di kepala akhirnya terucap begitu saja. Pandangan pemuda yang kini berfokus
pada buku yang dibacanya itu tidak teralih,
buku berjudul ‘How to Change Everything’ karya Naomi Klein dan
Rebecca Stefoff telah memantrai matanya untuk memafhumi
segala isi. Tidak ada gentar sedikitpun, tangannya
tetap membalik lembar demi
lembar halaman yang telah selesai dibaca, “kau dengar tidak?” tegasku
memberengut.
Buku yang sedari tadi terbuka akhirnya
tertutup sementara, diganjal oleh jempol
si pemilik. Akhirnya, aku berhasil mengubah arah pandang, meski yang hadir saat ini adalah tatapan satiris,
“bolos bagaimana? Sudah sepintar apa kita hingga
berani membolos sekolah?” Malik, pemuda sunda tulen yang menjadi
temanku sejak kecil itu menghunuskan kenyataan. Memang benar, saat ini
kami sudah berada di penghujung masa SMA, sepatutnya siswa mulai belajar,
mempersiapkan bekal untuk
ujian mendatang, terkhusus orang-orang ambisius yang ingin berkuliah sepertinya. Tidak perlu waktu lama, buku
yang sedari tadi mendiam di tangan kembali mendapat perhatian si pemilik.
Sebatang rokok kuapikan ujungnya, mengaburkan
stres yang memberatkan kepala. Mengaso pada saung di pesawahan sepulang sekolah memang konsep cerdas untuk melepas beban pikiran.
Apalagi jika ditambah secangkir kopi sebagai
teman, ah! nikmatnya. Berbeda
denganku, pemuda yang sedari tadi anteng membaca kini merampungkan kegiatannya seraya berucap “tidak kapok kau dimarahi ibumu karena
merokok, Gar” hanya helaan nafas yang menjadi
penjawab kalimat
yang baru saja terdengar. Kutekankan rokok yang baru kunyalakan itu pada tiang saung, kemudian
kularungkan semuanya, puntung
rokok dan beban pemikiran tadi, ke sekolan.
***
Langit biru masih memampangkan diri meski
sedikit demi sedikit matahari mulai
pergi ke sisi bumi yang lain. Layang-layang mulai diterbangkan di langit terang oleh sekumpulan pemuda desa, sedang
anak lainnya tengah asik bermain sepakbola. Dalam perjalanan itu, disaksikan oleh kami keindahan
desa. Pepohonan tumbuh subur di Tuguraja. Di depan sana
ada sawah lapang membentang luas, seluas
hati warga Tuguraja. Bertegur sapa sudah menjadi adat setempat, beberapa petani terlihat telah pulang menyawah pun
beberapa warga tengah menyirami tanaman
dipekarangan rumah. Tomat, cabai, terong, sawi juga tumbuh bersama kemakmuran di desa kami. Boleh dibilang,
desa ini cukup kaya, sampai sesekali calon-calon
pemimpin pemerintahan berkunjung dan berkampanye, menangkap gambar
hasil tani kami seolah-olah itu
hasil berpeluh mereka sendiri.
Tuguraja memang tempat berjumpa banyak hal,
petani padi, petani jagung, penggembala
kerbau, peternak bebek, pengrajin kayu, pengrajin rotan, juragan tanah, juragan empang, anak petani yang
jadi polisi, jadi tentara, hingga anak miskin
bermimpi tinggi seperti Malik, semua ada di Tuguraja. Bahkan bagi yang sedang mencari mantu,
datang saja kesini,
muda-mudi disini tidak kalah cakep dari Anjasmara dan Nike Ardila.
“Apa yang ingin kau lakukan
setelah lulus sekolah,
Gar?” tanpa peringatan, Malik kini tetiba menghentikan langkah dan melisankan tanya.
Pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat
otak yang kosong melompong ini tidak mampu menjawab, berapa kali dipikirpun hasilnya nihil. Tetapi, pada kenyataannya
aku memang belum terpikir soalan
tersebut. Bukan tidak
mempersiapkan, hanya saja aku mudah terbeban memikirkan hal-hal seperti itu. Jeda hadir beberapa saat ketika aku memikirkan
jawaban dari pertanyaan pemuda yang kini menengok ke arahku, menunggu
jawaban. Aku menelan
ludah diam-diam, berdehem
pelan beberapa kali dengan
bola mataku yang bergerak kesana kemari, meski harus sedikit menahan malu, kujawab
pertanyaan itu dengan jawaban seadanya.
“Tidak tahu,” jawaban yang kulontarkan membuat
Malik menghela nafas panjang. Suara
hela nafas itu membuat rasa kesalku bangkit. Langsung saja aku melempar
pertanyaan yang sama padanya,
“bagaimana denganmu?”
Pemuda itu kini menatap jauh ke depan dengan senyum tersurat di wajahnya,
sembari menatap lahan hijau yang mengikat pandang, Malik berkata dengan penuh percaya diri, “aku ingin
berkuliah di kota, kemudian kembali kesini,
menjaga dan mengembangkan apa yang sudah kita miliki,”
sontak saja tawa tak bisa dipendam setelah mendengar jawabnya, sebab
bagiku hal itu mustahil bagi anak- anak dari keluarga miskin seperti kami.
“Kau lucu, Lik! Bagaimana mungkin
orang miskin seperti
kita bisa berkuliah di kota,” ujarku sambil masih
merasa konyol dengan jawaban Malik, “bisa makan sehari tiga kali aja sudah sukur” tuntasku.
”Aku serius, Gar,” suasana menjadi sedikit canggung, seperti
isi kalimatnya, Malik melisan dengan penuh keseriusan.
Kemudian, kami melanjutkan perjalanan lagi, pulang
ke rumah masing-masing.
***
Lonceng sekolah berdentang memanggil para
siswa untuk segera hadir di ruang
kelas. Aku dan Malik adalah teman sebangku, duduk bersama sejak kelas satu, sempat terpikir olehku percakapan
kami kemarin yang membuat perasaanku campur aduk. Apa
aku telah menyinggungnya?
Tidak berlangsung lama, perasaan campur aduk kembali
tenang sebab Malik
membuka cakap, “apa warna yang kau sukai,
Gar?” lagi-lagi pertanyaan acak mendadak keluar
dari mulutnya. Kembali
aku tidak dapat menjawab, beberapa
kali di timpa kebimbangan yang tidak perlu, “kalau aku, abu-abu” kali ini tanpa
menunggu jawaban dariku Malik menuntaskan kalimatnya. Tentu pertanyaan- pertanyaan acak
seperti ini membuatku keheranan.
“Mengapa abu-abu?” tanyaku.
“Karena diantara hitam dan putih, dia punya
keduanya,” jawaban yang keluar kini
sungguh berbeda dari kemarin, kalimat itu bagai penuh makna tersirat yang membuatku semakin bingung. Kemudian
hadir lagi di pikiranku percakapan kami
kemarin,
“Maaf soal kemarin,”
permintaan maaf yang keluar dari mulutku itu mengundang atensi yang membuatnya menengok ke arahku.
“soal apa?” tidak langsung menjawab,
Malik memastikan dahulu permintaan maaf atas apa yang tengah aku
bahas saat ini.
Hinggap padaku perasaan
sungkan, “soal aku yang menertawakan impian-
,“ kalimatku
belum sampai diujung, namun malik sudah memberi jawaban.
“Kau ini! santai
saja, kau seperti
orang asing saja,”
ujarnya sambil menepak
pelan bahuku yang jaraknya tidak jauh padanya, membuatku merasa lega.
aku membuang muka menutupi rasa lega,
sedang temanku satu ini tertawa sembari menutup mulutnya, “tumben sekali kau mengatakan hal-hal
seperti ini, kesambet ?”
Malik berkelakar sembari
kembali terkekeh pelan, “tapi, meski perkataanmu kemarin
ada benarnya, bukan berarti aku akan menyerah,” sambungnya lagi, menjadi lebih serius, “dan tentu saja,
akan kupamerkan padamu kalau aku sudah memakai jas hitam
seperti orang-orang di kota itu,” pungkasnya mencadai lagi.
Satu hal yang aku sadari, sejak kemarin Malik
terus membicarakan mimpi- mimpinya
yang baru kuketahui. Meski sudah saling mengenal sejak masih belia, membicarakan hal-hal seperti ini rasanya
harus sedikit membuang bera, apalagi di umur
remaja, “kalau begitu, aku ingin kuliah saja sepertimu, Lik!” celoteh itu refleks
menerobos keluar dari mulut dan
membuat Malik merasa lega,
“baguslah, kini kau punya sesuatu
yang perlu kau perjuangkan”.
***
Jam istirahat telah berakhir, suasana kelas
masih riuh sebab jam pelajaran selanjutnya
adalah jam kosong yang sangat digemari para siswa. Pandanganku mengarah pada tembok tepat di belakang
bangku duduk kami, “Lik, bukankah menurutmu tembok ini berbahaya?” tembok yang saat ini tidak lepas dari pengawasanku itu bukanlah tembok mulus, ada retakan memanjang
di permukaannya akibat diguncang gempa sebulan lalu, “jikalau kita diguncang gempa besar lagi, tembok ini pasti roboh. Kalau itu terjadi, sempatkah
kita meloloskan diri?”
tanyaku. Seharusnya aku tidak perlu melisankan hal-hal seperti itu.
“Gempa!” dari luar jendela, dapat kami
saksikan kepanikan yang membuat siswa berhamburan keluar sembari berteriak. Rasa panik itu menular, buktinya
saat ini beberapa dari kami ikut berteriak, ditambah lagi guncangan
selanjutnya datang tiba-tiba dan
menjadi sangat kencang. Beberapa siswa kehabisan waktu, kemudian terjatuh dengan berlindung kepala.
Selain yang jatuh dan berlindung, sebagian siswa
masih sempat menyelamatkan diri masing-masing. Sisanya, termasuk aku dan Malik
menyelamatkan siswa yang gemetar takut
dan berlindung di bawah meja.
Nahas, kekuatan gempa semakin kencang.
Aku, Malik dan dua teman lainnya yang baru saja berdiri, kembali
terjatuh. Bukan itu saja, hal yang kutakutkan benar-benar terjadi, tembok
besar dengan retakan
memanjang tadi runtuh
bersama atap sekolah,
menimpaku dan tiga siswa lainnya.
Kami terjebak di reruntuhan, memegangi kepala
masing-masing kecuali satu orang
didepanku yang kini tengah berusaha menahan tembok yang menimpa badan-badan kami. Malik, kakinya terjepit,
namun tangan yang sering dilatihnya itu masih bisa menahan
tembok yang rubuh
tadi, matanya melihat
sekeliling dengan napas
yang cepat.
“Cepat! Keluarlah!” dibentaknya aku dan dua
teman lainnya untuk segera keluar,
Malik adalah satu-satunya siswa yang tidak dapat keluar karena tembok menahan kakinya, refleks saja aku
membantunya menahan tembok yang menindih sejak
tadi. Bagai belum mencapai kepuasan, gempa kembali terjadi. Meski tidak sebesar
gempa sebelumnya, namun mampu merubuhkan tembok lain yang nahasnya
menimpa kami lagi, Malik meringis kencang, kakinya semakin terjebak dengan beban pada tangan semakin memberat,
dua orang lainnya telah berhasil keluar
dengan selamat. Aku panik, kemudian kembali menatap Malik yang kini membuka matanya lebar-lebar memelototiku,
sekali lagi, mulutnya membentak menyuruhku keluar,
“Pergi! Pergilah!” tubuhku
gemetar hebat, perlahan
aku melepaskan tanganku
yang menopang tembok besar, keluar dari reruntuhan mencari bantuan. Kenahasan kembali menimpa, kedua
tangan Malik tidak sepadan dengan
dua tembok besar yang
menimpanya, Malik tidak dapat kuselamatkan.
***
Seusai nyekar pada nisan abu-abu itu, aku
duduk di tepian, sebatang rokok kuhisap sebagai pelampiasan. Tawa kembali hadir beberapa saat setelah beberapa kenangan kembali
hinggap di pikiran,
“Harusnya dahulu, kau setuju saja membolos bersamaku”.
***
Prosesi pemakaman telah lama selesai, tetapi
masih saja takmampu aku beranjak dari kuburmu. Kepala menunduk
menenangkan pemikiran kusut dan perasaan kalut. Terima kasih, Malik. Akan kutunaikan segala cita-cita dan impian yang kau ceritakan, dan pasti, pasti aku
kembali ke Tuguraja. Berkatmu, tekad dan pemikiran
telah tertanam dalam jiwa, meski tidak akan pernah mampu kuganti, segenggam
nyawa.
Beri Balasan