Sistem Pendidikan Prusia sebagai Pabrik Karyawan

 
Ilustrasi: www.europe1900.eu

Hampir setiap dari kita mungkin pernah mendengar bahwa kita perlu sekolah dengan sungguh-sungguh agar mudah mendapat pekerjaan. Sekolah untuk tujuan mencari pekerjaan mungkin sudah menjadi dogma yang mengakar di masyarakat kita. Alasannya mungkin sederhana, untuk menghidupi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya. Namun, apakah pendidikan hanya sebatas itu? Kita sekolah untuk mendapatkan pekerjaan dan mendapat cukup uang, kemudian menggunakan uang tersebut untuk diri sendiri dan keluarga kita, dan begitu seterusnya. Apakah pendidikan hanya sebatas untuk mencari pekerjaan?

Sebagian besar sekolah di dunia umumnya mengikuti sistem pendikan ala Prusia. Frederick Agung sebagai raja di Prusia (dulunya daerah Jerman dan sekitarnya) mencoba untuk menguatkan kekuasaannya sehingga perlu untuk membuat masyarakatnya menjadi orang-orang yang lebih taat. Frederick mencoba untuk mendidik ulang anak-anak kecil yang masih mudah untuk didoktrin, membuat mereka menjadi  manusia sesuai dengan keinginan raja. Sistem sekolah ini yang nantinya menjadi cikal bakal sebagian besar sistem pendidikan di dunia.

Sekolah pertama (1716) yang disponsori langsung oleh pemerintah ini tentunya memiliki tujuan tersendiri, Raja Frederick William I menginginkan masyarakat yang memiliki kesatuan yang seragam. Sistem ini kemudian diadaptasi oleh Horace Mann, Bapak dari sekolah publik (sekolah negeri) Amerika, meluaskannya ke seluruh Amerika Serikat tahun 1843 (Cubberley, 1920). Mann sendiri mengakui keterbatasan sistem sekolah tersebut, tetapi ia tetap menerapkannya dengan alasan untuk menyatukan masyarakat  Amerika yang memiliki banyak latar belakang yang berbeda-beda.

Berkesesuaian dengan revolusi industri besar-besaran yang terjadi di Amerika. Tentunya, pabrik menginginkan orang-orang yang disiplin dan taat, sedangkan masyarakat Amerika pada saat itu tidak banyak yang punya skill untuk bekerja di industri, beberapa orang mungkin susah diatur. John D. Rockefeller, salah satu konglomerat di Amerika saat itu mendengar sistem pendidikan Prusia yang akan diimplementasikan di negaranya, dengan adanya sistem pendidikan Prusia ini, Rockefeller bisa mengajarkan murid-muridnya skill dasar untuk bekerja di industrinya. Mereka dibekali cukup ilmu sesuai dengan kurikulumnya tetapi jangan sampai mereka menyadari bahwa mereka sedang “dimanipulasi”.

Rockefeller sendiri pernah mengatakan, “I don’t want a nation of thinkers, I want a nation of workers.” Rockefeller dibantu Andrew Carnegie karena memiliki masalah yang sama—kekurangan pekerja yang memadai untuk industrinya. Mereka akhirnya berinvestasi ratusan juta dollar untuk membangun sekolah dengan guru dan murid yang sesuai dengan keinginan kurikulum mereka. Sistem pendidikan seperti ini yang kemudian banyak diadaptasi oleh negara-negara lain di dunia. Sekolah yang menyiapkan lulusannya untuk bekerja.

Lantas apakah berbahaya sistem pendidikan yang seperti itu?  Mengulang pernyataan Carl Sagan, seorang astronom ternama di Amerika ketika diwawancara oleh suatu  talk show di suatu televisi, “My experience is, you go talk to kindergarten kids or first-grade kids, you find a class full of science enthusiasts. And they ask deep questions. “What is a dream, why do we have toes, why is the moon round, what is the birthday of the world, why is grass green?” These are profound, important questions. They just bubble right out of them. You go talk to 12th grade students and there’s none of that. They’ve become leaden and incurious. Something terrible has happened between kindergarten and 12th grade and it’s not just puberty.”

Carl Sagan mengingatkan ulang bahwa terjadi sesuatu yang salah di rentang taman kanak-kanak hingga kelas dua belas. Anak-anak di kelas dua belas menjadi kehilangan antusiasnya—menjadi sangat patuh—dan tidak lagi mempertanyakan banyak hal seperti ketika mereka kecil. Hal itu tentunya yang diinginkan dari sistem pendidikan ala Prusia, menjadi penurut dan tidak menanyakan banyak hal, yang terpenting mereka melakukan apa yang gurunya lakukan demi kebutuhan industri.

Apa yang bakal terjadi jika kita kehilangan nalar kritis kita untuk bertanya? Kita bakal kehilangan kesempatan untuk mempertanyakan status quo, kita kehilangan kesempatan untuk memahami apa yang sedang terjadi dan memahaminya lebih dalam lagi. Ketika sesuatu kekacauan terjadi, kita mungkin akan kebingungan untuk memutuskan suatu hal karena sudah terbiasa untuk “nurut”, terlebih lagi kita  mungkin kehilangan kesadaran diri kita sendiri sebagai manusia.

Sistem pendidikan ala Prusia mendefinisikan ulang konsep “guru”, baginya guru bukanlah seorang bijak bestari yang menjadi inspirator kita untuk menjadi pembelajar seumur hidup, baginya guru tidak lebih dari sekadar karyawan dan buruh pabrik yang mempelajari suatu hal yang sama terus-menerus dan membagikannya terhadap murid-muridnya pelajaran yang sama. Guru tak acap sebagai seorang karyawan birokrat yang nurut terhadap atasannya dan harus menjalankan kurikulum atasannya, bukan lagi seorang yang menuntun jalannya hidup murid-murid yang rindu terhadap kehidupan dirinya sendiri.

Tujuan pendidikan jika merujuk kembali kepada para pendiri bangsa kita lebih dari sekadar mendapat uang dan melanjutkan hidup. Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara mengungkapkan pandangannya mengenai tujuan pendidikan, menurutnya pendidikan itu “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.” Berikut juga pandangan dari Tan Malaka, “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.”

Lebih dari itu pendidikan bukan hanya untuk mendapat pekerjaan yang layak, tetapi pendidikan seharusnya menjadikan kita manusia yang sesuai dengan kodrat sebagai manusia itu sendiri dan menjadikan manusia yang holistik, terintegrasi sebagai anggota dari masyarakat dan alam di tempat kita melangsungkan kehidupan.

Penyunting: Nazarru Djalu Ulhaqi 

Rujukan:

  • Belajar Jiwa Merdeka Dari Tan Malaka. (2021). Diakses dari https://www.stkippgriponorogo.ac.id/2021/09/belajar-jiwa-merdeka-dari-tan-malaka/
  • Bencana Sistem Persekolahan Negeri (Public School) bagi Dunia. (2014). Diakses dari https://ekoharsono.wordpress.com/2014/02/19/bencana-sistem-persekolahan-negeri-public-school-bagi-dunia/
  • Carl Sagan Quote About Kindergarten Kids and Science. (2021). Diakses dari https://mediachomp.com/carl-sagan-quote-about-kindergarten-kids-and-science/#google_vignette
  • Marwah, S. S., Syafe’i, M., & Sumarna, E. (2018). Relevansi konsep pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara dengan pendidikan islam. TARBAWY: Indonesian Journal of Islamic Education, 5(1), 14-26.
Mahasiswa program studi Matematika '23 di FMIPA UB. Bertugas sebagai Staf Redaksi 2024. Suka membaca dan menulis. Tertarik di dunia sains, sejarah, dan literatur.