Bahasa Merefleksikan Bangsa : Problematika Pemuda Menuju Internasionalisasi Bahasa Indonesia

 Muhammad Raafi

Ilustrasi : Freepik

Tanpa mempelajari bahasa sendiri pun orang takkan mengenal bangsanya sendiri.”

Pramodya Ananta Toer dalam Anak Semua Bangsa (1981)


Peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 meletakkan catatan penting dalam sejarah bangsa: bahwa di tengah keberagaman masyarakat Indonesia, identitas dan jati diri bangsa yang utuh berhasil terbentuk melalui bahasa pemersatu, bahasa Indonesia. Setelah hampir 95 tahun bahasa ini dinobatkan sebagai bahasa nasional, terbit amanat dalam UU Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan yang juga dipertegas dalam PP Nomor 57 Tahun 2014 dan Peraturan Mendikbud Nomor 42 Tahun 2018 untuk meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi Bahasa Internasional. Isu internasionalisasi bahasa Indonesia ini akan kembali dibahas dalam Kongres Bahasa Indonesia (KBI) ke-12, di mana Indonesia menargetkan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional pada 2045, sehingga dapat digunakan pada forum internasional, seperti pada United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) (Gandhwagi, 2023). Target ini bertepatan dengan bonus demografi yang akan Indonesia alami pada 2045, di mana jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan mendominasi sebesar 70% dan 30% sisanya merupakan penduduk usia tidak produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun) (BPS, 2023). Momentum ini layaknya pisau bermata dua. Di satu sisi, bonus demografi seharusnya berpotensi besar dalam mengakselerasi pencapaian bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional pada 2045 karena proporsi besar dalam implementasi internasionalisasi ini diisi oleh pemuda. Di sisi lain, apabila sumber daya manusia produktifnya justru abai terhadap harkat dan wibawa identitas bangsanya sendiri, internasionalisasi bahasa Indonesia hanya akan menjadi hal yang utopis. Tulisan opini ini dimaksudkan untuk mencapai dua hal: pertama, mengurai akar problematika pemuda terhadap bahasa Indonesia dalam status quo. Kedua, solusi aplikatif untuk menggeser paradigma pemuda terhadap bahasa Indonesia agar internasionalisasi bahasa Indonesia 2045 sukses tercapai. Topik ini penting untuk diangkat karena pemuda akan menjadi generasi penentu arah kemajuan Indonesia, sehingga proses pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas dan menghargai bahasa bangsanya sendiri menjadi krusial.

Generasi Muda dan Bahasa Indonesia: Problematika dalam Status Quo

Globalisasi dan modernisasi di era kontemporer yang masif memberikan dampak pada pergeseran penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan globalisasi dan modernisasi mendorong terjadinya interferensi bahasa asing ke dalam budaya nasional—bahkan lokal—melalui saluran populer, seperti teknologi, bisnis, dan hiburan (Nirwan et al., 2023). Kondisi tersebut juga diperkuat oleh riset yang diinisiasi oleh Sukatmo (2022) yang menyatakan bahwa dalam status quo, pemuda sering kali mempersepsikan bahasa asing, utamanya bahasa Inggris, sebagai bahasa yang lebih relevan untuk kesuksesan karir dan saluran penghubung mereka untuk berpartisipasi dalam dunia yang semakin terinterkoneksi. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menjadi problematika serius terhadap identitas dan jati diri bangsa karena minat pemuda untuk mempelajari dan menggunakan bahasa Indonesia menurun secara signifikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan masifnya penggunaan mencampur bahasa prokem dan bahasa asing (campur kode) serta merajalelanya konten produksi luar negeri dibanding lokal dalam platform hiburan (Netflix, misalnya) (Hanum, 2019). Sebagai catatan, Penulis tidak antimodernisasi atau antiglobalisasi. Penulis sepakat bahwa dua fenomena integrasi global tersebut sangat berdampak signifikan terhadap kemajuan lintas sektor bangsa. Namun dalam konteks ini, bukankah ironis ketika bahasa pemersatu bangsa perlahan memudar? Di tanah airnya sendiri dan oleh masyarakatnya sendiri? Minat mempelajari bahasa asing adalah satu hal yang perlu digalakkan di tengah eratnya interdependensi global, tetapi melupakan jati diri bangsa sendiri tentu hal yang fatal, karena “Bahasa Merefleksikan Bangsa”. Kelunturan bahasa nasional dalam kehidupan masyarakatnya merupakan sinyal tersirat bahwa identitas bangsa sedang melemah.

Problematika kedua yang dialami generasi pemuda terhadap bahasa Indonesia hari ini adalah pandangan akan inferioritas bahasa Indonesia. Ramdhani & Enawar (2019) dalam prosidingnya yang bertajuk Sikap Berbahasa, Pemertahanan Bahasa, dan Peran Generasi Milenial terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia memaparkan bahwa ada perkembangan pandangan inferioritas terhadap bahasa Indonesia dalam pemuda: apabila mereka tidak melihat manfaat konkret dalam menguasai bahasa Indonesia, mereka cenderung tidak merasa termotivasi untuk belajar atau menggunakan bahasa tersebut (Hanum, 2019). Di sinilah apa yang penulis sebut sebagai keunggulan komparatif muncul. Bahasa asing, utamanya bahasa Inggris sebagai lingua franca, menawarkan akses ke sumber daya global, peluang pekerjaan yang lebih luas, dan konektivitas dengan budaya dunia, sehingga banyak pemuda yang merasa lebih berguna jika mereka memahami dan menguasai bahasa tersebut. Hal ini berbeda dengan bahasa Indonesia yang masih terbatas dari sisi peluang, aksesibilitas, dan prestise global (Purnamasari et al., 2023). Oleh karena itu, mereka cenderung tidak melihat konektivitas antara kemampuan berbahasa Indonesia dan peluang karier, identitas budaya, atau partisipasi aktif dalam masyarakat. Pada tataran ini, daya tawar bahasa asing lebih unggul apabila dikomparasikan dengan bahasa Indonesia, sehingga banyak pemuda yang masih memandang bahasa Indonesia adalah bahasa yang inferior.

Dua problematika pada status quo di atas hadir dari situasi kompleks yang saling berkelindan: 1) sistem pendidikan, termasuk kurikulum, kualitas guru, dan metode belajar bahasa Indonesia di ruang kelas yang tidak efektif; 2) sistem politik dan hukum, termasuk nihilnya sanksi terhadap regulasi untuk menegaskan penggunaan bahasa dalam ruang publik; dan 3) kultur masyarakat, meliputi status sosial dan prestise dalam masyarakat yang melekat pada bahasa asing.

Refleksi Kritis Menuju Internasionalisasi Bahasa Indonesia

Oleh karena itu, penggeseran paradigma secara holistik menjadi krusial untuk memotivasi pemuda dengan menunjukkan manfaat nyata dalam penggunaan bahasa Indonesia di kehidupan publik, seperti dalam karier, identitas budaya, dan partisipasi masyarakat. Ketika pemuda telah paham bahwa bahasa Indonesia adalah identitas dan kebanggaan nasional, maka bonus demografi dan internasionalisasi bahasa Indonesia 2045 menjadi momentum emas bagi kemajuan bangsa. Berdasarkan hasil analisis penulis, ada beberapa strategi komprehensif dan relevan di tiga tingkat untuk menyukseskan internasionalisasi bahasa Indonesia 2045.

  1. Makro (Nasional/Strategis)

Pada tingkat ini, kita membangun pondasi kuat dengan kebijakan dan kolaborasi internasional, memastikan bahasa Indonesia tetap menjadi pilar komunikasi nasional dan memperoleh pengakuan global (Bedoin, 2019). Beberapa hal yang dapat diinisiasi: 1) pemerintah pusat harus memastikan adanya peraturan yang mendukung penguatan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, seperti mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam dokumen-dokumen pemerintah, transaksi bisnis resmi, dan acara-acara resmi negara; 2) Membangun kerjasama dengan negara lain untuk memperkenalkan Bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa yang dipelajari di institusi pendidikan mereka, sehingga dapat menambah prestise bahasa Indonesia di mata internasional; 3) mendorong industri kreatif nasional untuk menghasilkan konten berkualitas dengan Bahasa Indonesia, baik itu film, musik, literatur, atau media lainnya.

  1. Meso (Institusi/Organisasi)

Pada tingkat meso, institusi dan organisasi berperan aktif memfasilitasi pemuda untuk merasakan kekayaan dan relevansi bahasa ini dalam kehidupan sehari-hari mereka. Langkah konkretnya antara lain: 1) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dapat memperbarui kurikulum pendidikan supaya dapat terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari anak muda (Kumagai & Kono, 2018). Tak hanya itu, inkorporasi teknologi ke dalam sistem pendidikan juga penting sebagai alat bantu pembelajaran, seperti aplikasi belajar Bahasa Indonesia, permainan edukatif, dan lainnya untuk menanamkan ketertarikan generasi muda; 2) Insentifikasi, di mana institusi/komunitas dapat mengadakan kompetisi berinsentif yang berkaitan dengan Bahasa Indonesia, seperti lomba menulis, debat, atau puisi untuk meningkatkan minat dan apresiasi anak muda terhadap bahasa Indonesia.

  1. Mikro (Individu/Komunitas)

Pada level mikro, setiap individu dan komunitas memegang kendali untuk memelihara dan mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bagian dari identitas dan kebanggaan mereka (Djenar et al., 2018). Tujuan tersebut dapat dicapai dengan: 1) Pengembangan konten berkualitas, di mana pemuda dapat berperan aktif dalam menghasilkan konten berbahasa Indonesia yang berkualitas tinggi di berbagai sektor, termasuk ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya. Konten ini dapat diunggah di platfrom internasional untuk meningkatkan eksposur bahasa Indonesia; 2) individu/komunitas dapat mengorganisisasi kampanye kesadaran lewat media digital untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya bahasa Indonesia di skala nasional dan internasional.

Dari Pemuda untuk Bangsa: Internasionalisasi Bahasa Indonesia 2045 untuk Indonesia Jaya di Mata Dunia

Berdasarkan hasil analisis reflektif di atas, visi internasionalisasi Bahasa Indonesia 2045 sejatinya bukan sekadar proses mengglobalkan alat komunikasi, melainkan representasi dari identitas bangsa di kancah internasional. Sebagai penentu arah kemajuan bangsa, urgensi peningkatan kualitas sumber daya pemuda di tengah bonus demografi menjadi tak terelakkan. Bersama-sama, melalui pendekatan multifaset dan holistik ini, kita tidak hanya mempertahankan warisan leluhur, tetapi juga memastikan bahwa bahasa Indonesia akan terus berkembang dan relevan di hati generasi mendatang. Tanpa pemuda yang memahami dan menginternalisasi bahasa sebagai identitas bangsanya, visi tersebut akan sulit diwujudkan. Oleh karena itu, investasi terhadap kualitas pemuda hari ini akan menentukan arah dan keberlanjutan kemajuan bangsa Indonesia di masa depan.

Daftar Pustaka

Bedoin, D. (2019). Deafness and Ethnicity: Taking Identity, Language, and Culture Into Account. American Annals of the Deaf, 164(1), 73–96. https://www.jstor.org/stable/26663603

BPS. (2023). Bonus Demografi dan Visi Indonesia Emas 2045. Badan Pusat Statistik. https://bigdata.bps.go.id/documents/datain/2023_01_2_Bonus_Demografi_da n_Visi_Indonesia%20Emas_2045.pdf

Djenar, D. N., Ewing, M. C., & Manns, H. (2018). Youth and Language Play. JSTOR; De Gruyter. http://www.jstor.org/stable/j.ctvbkk0b0.14

Gandhawagi, S. (2023). Internasionalisasi Bahasa Indonesia Kembali Dibahas.

Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/05/15/internasionalisasi-bahasa- indonesia-kembali-dibahas

Hanum, Z. (2019). Rendah Peminat dan tak Ada Sanksi, Bahasa Indonesia Ditinggalkan. Mediaindonesia.com.

https://mediaindonesia.com/humaniora/266700/rendah-peminat-dan-tak-ada-s anksi-bahasa-indonesia-ditinggalkan

Kumagai, Y., & Kono, K. (2018). Collaborative Curricular Initiatives: Linking Language and Literature Courses for Critical and Cultural Literacies.

Japanese Language and Literature, 52(2), 247–276. https://www.jstor.org/stable/26739679

Nirwan, Imelda Oliva Wissang, Hakim, L., Pande, R., Winarna, Ratna Susanti,

Arozatulo Bawamenewi, Suvina, Inne Pelangi, Vinsensius Crispinus Lemba, Ivon Arisanti, Sukarismanti, & Pratiwi Sakti. (2023). Bahasa dan Budaya.

CV. Intelektual Manifes Media.

Purnamasari , A., Amin, M., Lingga, L. J., & Ridho, A. (2023). Krisis Penggunaan Bahasa Indonesia di Generasi Milenial. ANTHOR: Education and Learning Journal, 2(1), 14–18. https://doi.org/10.31004/anthor.v2i1.79

Ramdhani, I. S., & Enawar. (2019). Sikap Berbahasa, Pemertahanan Bahasa, dan Peran Generasi Milenial terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa (Semiba) 2019, 277–283.

https://doi.org/978-623-707438-0

Sukatmo. (2022). Penggunaan Bahasa Indonesia di Kalangan Milenial. Inspirasi Dunia: Jurnal Riset Pendidikan Dan Bahasa, 1(4), 62–69.