Filantropi yang Telah Pupus

Fadillah Utami Ningtyas

Bukannya aku membenci manusia bumi, hanya saja sebagian besar dari mereka berlakon seolah hanya manusia yang tinggal di bumi (Ilustrasi 58pic)

S

ang baskara dengan malu-malu mulai
membenamkan diri. Nabastala pun ikut merelakan kepergian senjanya yang dahayu,
bersiap tergantikan oleh rembulan bersama gugus-gugus bintang yang setia
menemani malam. Mungkin sang surya memilih tidur lebih awal, malas melihat
segelintir manusia bumi yang bangga akan takhta dengan bayang-bayang dusta
tanpa sekat, bernapas kotor menanai durjana.

Sementara aku di sini. Bersama loka
yang pengap, menyelam penuh sesak pada konfigurasi larutan kesepian yang aku
buat sendiri. Terjebak dalam kesunyian dengan memori masa lalu. Terkadang aku
tidak mengerti dengan semesta yang selalu senang bercanda, mempersembahkan
skenario membingungkan yang disebat penuh sesak oleh sebagian besar orang. Tapi
aku lebih tidak mengerti dengan manusia. Dengan mereka yang masih mampu
tersenyum di atas derita bumi pertiwi atau mereka yang hatinya kosong penuh
aswad sampai gosong otaknya.

Bukannya aku membenci manusia bumi,
hanya saja sebagian besar dari mereka berlakon seolah hanya manusia yang
tinggal di bumi. Mendadak amnesia, membalas laut dengan beribu liter minyak
tumpah. Pura-pura buta sambil menderma sejuta ton sampah kepada sungai. Bahkan
seringkali mengirim faller buncher
pada hutan yang telah membelai lembut mereka.

“Kita duduk di sini saja, Ge ….”

Balon lamunanku pecah seketika,
bersamaan dengan terdengarnya suara seorang gadis yang tak jauh dari tempatku.

Nana. Belum lama aku mengetahui nama
pemilik suara itu. Jujur saja, aku telah menaruh penghakiman buruk kepadanya,
saat pertama kali ia menemuiku. Namun, ternyata aku salah. Saat ia
mengunjungiku untuk kali kedua, aku justru mengagihkan diri bahwa aku
menyukainya. Bukan karena dia cantik, melainkan karena dia bukan salah satu
dari sekian banyak orang sinting yang meracuni sungai dengan merkuri. Dia juga
bukan bagian dari mereka yang dengan arogannya mampu membentak langit dengan
terus menyumbang karbon monoksida.

Dia berbeda, dan itu menjadi salah
satu alasan kenapa aku menyukainya. Sangat.

“Kenapa kamu ajak aku ke sini, Na? Padahal aku
bisa ajak kamu nonton bioskop atau traktir makan,” ujar seorang laki-laki
berbadan tinggi yang datang bersama Nana.

“Aku suka duduk di sini, Ge. Random, sih. Hanya saja, aku senang
lihat air yang mengalir begitu tenang,” balas Nana. Gadis itu sudah lebih dulu
mendaratkan tubuhnya di atas rerumputan liar.

“Hampir malam, pasti banyak nyamuk,” kata yang
laki-laki. “Kita bisa dapat predikat pasangan kekasih teraneh gara-gara
kencannya cuma lihat air kanal.”

Nana tertawa kecil. Mendengar tawa
gadis tersebut mengudara, membuatku tersenyum tanpa sadar. Ia benar-benar
manis, dan aku yakin semesta pun tak bisa menyangkal.

“Kamu mau berdiri terus, Ge? Ayo duduk, temani
aku,” seloroh Nana seraya melirik sekilas laki-laki di sampingnya.

Yang laki-laki mengulum senyum tipis
lalu duduk di sebelah Nana. Ia meluruskan kakinya, memandang jauh ke arahku.
Kemudian beralih pandang pada gumpalan awan kelabu yang tersebar di cakrawala.
Warnanya tak lagi putih bersih bagai nirmala, kelabu seolah mendelik kesal pada
manusia yang dengan sukarela menderma asap sembari membabat habis hutan.

“Aku enggak mengerti, Na …. Kenapa kamu suka
duduk di sini? Maksudku … memang apa spesialnya Kanal Molenvliet? Dia cuma
saksi bisu kebiadaban Belanda dulu di Batavia,” komentar yang laki-laki.

Nana tersenyum lagi. Aku bersumpah
senyum Nana ini memabukkan, manis sekali. “Kata Kakekku, dulu kanal ini
berfungsi sebagai pengendali banjir. Di sepanjang kanal terdapat kincir angin
yang meniru sistem pengairan di Belanda. Dulu airnya juga jernih, jadi sering
dipakai mandi dan mencuci oleh warga setempat. Bahkan, Kakek sering lihat
pertunjukkan peh cun yang diiringi
Tari Cokek pada malam hari.”

Laki-laki di sebelah Nana
mengangguk-angguk, lantas ia menyulut sebuah rokok, membiarkan nikotin mampir
ke paru-parunya. Dan tentang bagaimana uap putih dari tembakau itu pecah di
udara, itu bagian yang paling membuatku muak.

Laki-laki tersebut kembali mengisap
tembakaunya. Lalu mematikan ujung rokoknya pada rerumputan dan melemparnya
begitu saja ke kanal yang ada di depannya, saat Nana terbatuk karena asap rokok
miliknya. “Tapi sekarang airnya kotor dan bau, Na. Sampah dan sedimentasi menghiasi
salah satu etalase sejarah berdirinya Kota Jakarta. Jadi … apa lagi
istimewanya kanal ini?”

“Gesang …,” lirih Nana dengan suara
pelan.

Gesang. Rupanya nama laki-laki itu Gesang. Ah, seandainya aku tak
bisu dan mampu berirama, mungkin sudah aku ceramahi laki-laki bernama Gesang
tersebut. Dengan mudahnya ia mengatakan kanal Molenvliet penuh sampah ditemani
air kotor dan berbau, padahal beberapa detik lalu ia menyumbang puntung rokok
pada kanal.

“Manusia sendiri yang membuat
sejarah Molenvliet yang penuh romantisme ini seakan tertelan bumi. Sekarang,
mana tertarik orang pada kanal penuh sampah yang airnya lebih mirip kopi susu.
Pasti dikesampingkan soal betapa indahnya dulu kanal ini,” ujar Nana diakhiri
senyum tipis. “Sekarang kawasan di sekitar Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam
Wuruk lebih banyak dikenal dengan gemerlap hiburan malam, siapa coba yang
sukarela memperhatikan kondisi kanal?”

“… kalaupun lewat, cuma sekadar numpang buang
sampah sembarangan di kanal─”

Nana belum sempat menyelesaikan
kalimatnya, matanya mencelang saat Gesang berjalan mendekat ke arahku. Lima
detik pertama laki-laki tersebut memandangiku sejenak, lalu detik selanjutnya
tanpa pikir panjang ia buang bungkus rokoknya yang sudah habis.

“Ge! Kita ‘kan lagi bahas kenapa kanal ini
airnya jadi kotor, kenapa kamu malah buang sampah ke sungai?” protes Nana
diakhiri helaan napas panjang.

Kalau Nana saja menghela napas
melihat kelakuan Gesang yang seolah tanpa dosa membuang sampahnya begitu saja,
tentu aku sudah menjatuhi sumpah serapah kepadanya. Dan melihat respon
laki-laki tersebut, aku semakin geram dibuatnya. Meyakinkanku bahwa Gesang dan
pemikiran dangkalnya itu adalah satu dari sekian banyak orang yang membuat
banjir selalu menaruh afeksi kerinduan kepada manusia bumi.

“Memang kenapa, Na? Toh, orang-orang juga buang sampah ke sana. Lagipula sampah yang
aku buang enggak ada artinya kalau dibandingkan pabrik yang rajin menyumbang
limbah di sungai. Iya ‘kan, Na?” alibi Gesang seraya mengangkat bahunya.

“Nanti air kanalnya menangis, Ge. Memangnya
kamu enggak kasihan sama airnya? Sama ikannya?” ujar Nana dengan suara lirih.

Gesang mengembuskan napas berat. Dan
melihat bagaimana cara dia mengembuskan napas, benar-benar membuatku semakin
geram. Rasanya, jika aku dikaruniai tangan … sudah pasti aku layangkan seribu
tamparan di wajahnya.

“Kalau aku buang ke tanah, pasti kamu mengomel
lagi. Nanti siapa yang menangis kalau aku buang sampahnya ke tanah? Rumputnya …
atau tanahnya? Atau justru cacing tanah? Bakteri yang hidup di dalam tanah?”
tanya Gesang dengan suara yang sangat memuakkan.

“Aku tahu kamu ini aktivis
lingkungan, Na. Tapi ‘kan … enggak lucu kalau kita berantem cuma gara-gara
sampah, Na,” tambah Gesang lantas ia kembali duduk.

Gesang meraih tangan Nana. Menautkan
jemari mereka, menghangatkan diri masing-masing akan dinginnya angin yang
berembus. “Jangan marah, ya?”

“Persepsi kamu yang beranggapan
kalau membuang sampah ini sudah menjadi kebiasaan … itu salah, Ge.” lirih Nana.

“Gini, Ge ….” Nana menghela napas
sejenak, “kalau ada satu orang saja yang membuang sampah di kanal, dan ada
orang yang sama-sama enggak peduli akan lingkungan melihat hal tersebut, maka
dia akan ikut membuang sampah di tempat tersebut. Alhasil, masyarakat lain pun
akan ikut membuang sampah di situ, sampai akhirnya menumpuk dan menghambat
jalan air.”

“Tapi aku bukan orang pertamanya,
Na,” pungkas Gesang membela diri. “Aku cuma buang satu sampah ke kanal, aku
enggak sampai buang sampah sekarung, kok.”

Aku mendelik gemas mendengar alibi
Gesang. Dengan gampangnya ia bisa bicara demikian, seolah laki-laki tersebut
tak bersalah karena telah menyumbang satu lagi sampah kepadaku. Mungkin
daripada melihat air jernih yang mengalir di sepanjang kanal, memamerkan
ikan-ikan yang menari penuh sukacita, Gesang lebih suka melihat kanal dan
sungai sebagai suaka sampah.

Astaga … akhir-akhir ini, aku jadi
lebih emosional. Selalu mendelik gemas kepada manusia bumi yang begitu sering
menyumbang sampah kepadaku, menambahkan sejuta tetes limbah tanpa rasa bersalah
kepadaku. Giliran semesta murka dan aku mampir dengan air yang meluap, mereka
baru saling menyalahkan sambil berkoar ‘Stop
membuang sampah sembarangan!
’. Menyebarkan ratusan lembar pamflet
penghijauan yang pada akhirnya juga menumpuk sia-sia di sungai. Katanya
penghijauan, tapi justru membiarkan delimber
menebas habis mereka yang hijau, lalu tanpa dosa membiarkan tumpukkan kertasnya
bersemayam di sungai.

“Dua tepatnya.” Nana mengoreksi
perkataan Gesang, “puntung rokok yang tadi juga kamu buang begitu saja ke
kanal.”

“Satu sampah juga berdampak buat
kanalnya, Ge. Nanti air kanal dialirkan ke sungai, terus makhluk hidup yang ada
di sungai bagaimana coba nasibnya? Banyak ikan yang mati gara-gara terjebak
kantong kresek, kekurangan oksigen gara-gara permukaan air tertutup sampah.
Bukan cuma hewan dan tumbuhan saja yang kena dampak, manusia juga kena.”

“… kalau musim hujan mulai tiba,
kayak sekarang ini, dan curah hujannya tinggi … kawasan-kawasan yang banyak
tumpukkan sampah bisa menyumbat saluran air. Akhirnya banjir pun sudah tidak
bisa dihindari lagi,” tambah Nana.

“Kebiasaan buang sampah ke sungai
atau kanal itu akan menyebabkan pendangkalan sungai, yang nantinya sungai
enggak bisa menampung lebih banyak air. Dan kamu tahu ‘kan kalau akhirnya bisa
saja terjadi banjir?”

“Iya, Na … aku paham. Tapi sampah
rokok yang aku buang juga enggak sebanding sama mereka yang suka menebang pohon
sembarangan atau para bidak dunia serakah yang gemar merampok alam. Iya ‘kan?”
ucap Gesang seraya memandang lama ke arah Nana.

Aku yakin jika saja tetes-tetes air
masih bisa menahan rindunya untuk tidak mengguyur Kota Jakarta, pasti Gesang
masih akan melanjutkan pembelaan diri yang penuh omong kosong itu. Namun ketika
semesta mempersembahkan rintik hujan untuk luruh ke bumi, Gesang bergegas
bangkit dan mengulurkan tangannya kepada Nana.

“Hujan. Ayo pulang, Na,” ajak Gesang
yang disambut oleh anggukan Nana. “Enggak perlu bahas soal sampah lagi, kita
harus cepat pulang kalau kamu enggak mau sakit karena basah kuyup kehujanan.”

Sekali lagi Nana mengangguk dan
menerima uluran tangan Gesang. Sementara aku masih di sini, memperhatikan
kepergian Nana dan Gesang sampai punggung mereka tak lagi terlihat. Aku tetap
di sini seraya menyambut kedatangan hujan yang rendah hati, dan lagi-lagi hujan
datang menyampaikan sebongkah cerita masa lalu. Ada perasaan pilu sekaligus
rindu setiap kali hujan kembali bercerita kepadaku.

Aku merindukan suatu waktu di mana
aku belum dipenuhi sesak oleh tumpukkan sampah dengan beribu bahan organik yang
disumbangkan oleh manusia kepadaku. Sampai pada akhirnya terkena bakteri dan
menghasilkan asam lemak yang menyebabkan warnaku tak lagi jernih serta berbau
tak sedap.

Aku pernah tersenyum sukarela saat
aku diperlakukan begitu baik oleh manusia ratusan tahun yang lalu. Saat
Molenvliet menjadi kanal penghubung antara Oud Batavia dan Weltevreden yang
airnya begitu jernih, sampai bisa dibuat untuk bercermin. Dulu, di kanan dan
kiri tubuhku terdapat banyak kincir dan melintasi Hotel van den
Gouverneur-General atau sekarang lebih dikenal dengan nama Istana Negara. Aku
rindu mereka yang hijau tumbuh subur menjulang di sekitarku, membawa hawa sejuk
sambil terus mengirimkan oksigen untuk bumi. Aku merindukan masa itu. Aku
merindukan manusia bumi yang tidak berlaku kurang ajar kepadaku.

Namun seiring berjalannya waktu,
mungkin manusia lebih suka melihat wujudku yang kotor penuh bau, lengkap dengan
tumpukan sampah yang menghiasi. Sampai terlalu mustahil jika sekarang digelar
berbagai pertunjukkan di tubuhku, seperti pesta perahu dengan lampion cantik
yang menghiasi. Ya, mau digelar pesta perahu seperti apa jika airku saja sudah
kering dan bau.

Tampaknya manusia lebih senang
memberiku satu per satu sampah tanpa memedulikan makhluk hidup yang ada di
dalam tubuhku. Mungkin mereka tidak sadar kalau ikan-ikan tidak bisa hidup
karena tak mendapat cukup oksigen di dalam air. Bukannya ikan mendapatkan
makanan, yang ada mereka terjebak sampah plastik yang disumbangkan dengan
ikhlas oleh manusia bumi.

Demi Langit, aku tak meminta banyak
kepada manusia. Cukup tidak membuang sampah rumah tangga serta tidak rajin
menderma limbah pabrik. Itu saja sudah lebih dari cukup untuk membuatku
bernapas lega. Namun manusia seolah menutup mata dan telinganya, membiarkan
airku yang semula jernih larut bersatu bersama sampah mereka.

***

Tempo hari aku mengadu bersama hujan
kepada semesta, bahwa aku merindukkan manusia bumi yang tak berlaku kurang ajar
kepadaku. Namun sepertinya semesta salah menafsirkan pengaduanku.

Aku merindukkan Nana, karena dia
bagian dari manusia yang peduli kepadaku. Kepada ikan-ikan serta makhluk hidup
lainnya yang tinggal di dalam tubuhku. Tapi justru, semesta mau aku sendiri
yang mengunjungi Nana.

Tidak. Semesta memintaku untuk
bertegur sapa kepada manusia yang begitu sering menderma sampah dan limbah kepadaku.
Semesta ingin aku mengembalikan sampah yang sempat manusia sumbangkan kepadaku.
Hujan tempo hari membuat airku meluap dan kini mau tak mau aku datang menyapa
mereka. Namun, manusia bumi justru menjatuhi sumpah serapah kepadaku di saat
aku mengembalikan setumpuk sampah yang terbawa arus air kotor penuh kotoran itu
kepada mereka.

“Ge, kita enggak bisa ketemuan hari
ini. Rumahku kebanjiran, jadi aku enggak bisa keluar.”

Itu suara Nana. Gadis itu sedang
berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon. Aku tersenyum tipis
berhasil bertemu dengan Nana. Namun jujur saja, bukan pertemuan seperti ini
yang aku harapkan. Nana bukan bagian dari mereka yang hobi membuang sampah
sembarangan sambil berdalih orang-orang
juga buang sampah sembarangan, kok.
Tapi, ia justru ikut terkena dampaknya.
Semesta mendatangkan banjir sebagai bentuk peringatan, namun masih saja manusia
tak peka dan hanya mengeluh sambil saling menyalahkan.

“Banjir, ya? Rumahku juga kebanjiran, Na. Pemerintah memang enggak
bisa menyediakan tempat sampah yang cukup banyak sih, Na … kurang memperhatikan
saluran air yang ada di daerah-daerah rawan banjir juga, makanya jadi
kebanjiran begini. Duh, kalau udah banjir ‘kan yang repot semua ya, Na?”

 “Kok kamu gampang banget menyalahkan orang
sih, Ge? Mau pemerintah berupaya secara optimal buat mencegah banjir juga,
kalau warganya masih enggak sadar tentang kebiasaan buruk mereka membuang
sampah sembarangan … ya tetap saja sia-sia upaya pemerintah,” ujar Nana kepada Gesang
yang ada di seberang sana. “Perilaku membuang sampah ke sungai atau mendirikan
bangunan di bantaran kali juga harus dihilangkan, Ge.”

 “Kamu mau ungkit lagi
masalah waktu kita ke kanal tempo hari, Na?”

“Enggak gitu maksud aku, Ge. Maksud
aku, kebiasan membuang sampah ke sungai atau kali ‘kan bisa menyebabkan banjir.
Enggak seharusnya kamu buang sampah begitu saja kayak tempo hari,” ucap Nana.

“Bukan cuma aku, Na. mayoritas warga Jakarta juga buang
sampah ke sungai dan kanal. Mereka juga salah, jangan memojokkan aku kayak
gini.”

Untuk kali kesekian Nana
mengembuskan napas kasar. “Kamu mau mengikuti jejak orang yang enggak benar?
Kamu tahu kalau buang sampah itu salah, tapi kamu masih saja buang sampah.
Kalau sudah banjir begini, saling menyalahkan. Dalihnya orang lain juga banyak
yang suka buang sampah sembarangan, pabrik lebih sering derma limbah penuh
minyak, sampai bilang pemerintah enggak optimal menanggulangi bencana banjir.”

“Maaf, deh. Janji enggak akan ulangi lagi.”

 “Jangan minta maaf sama aku, Ge …. Minta
maafnya sama alam, tapi alam enggak butuh permintaan maaf berupa perkataan yang
keluar dari bibir. Alam butuhnya pembuktian kalau kamu menyesal,” kata Nana
dengan suara lembut.

“Ya sudah, kalau sudah enggak banjir … kalau semesta udah
enggak marah lagi, nanti aku minta maaf yang benar sama alam, ya?”

 “Gimana cara minta maaf seorang Gesang?” tanya
Nana.

“Aku mau jadi sukarelawan buat bersihin sampah bekas banjir.
Siapa tahu dengan begitu semesta tersenyum dan mau memaafkan aku. Itu termasuk
cara klise merayu semesta bukan, sih, Na? Merayu semesta agar banjir enggak
mampir lagi ke rumah.”

 “Asal enggak mengulangi kesalahan yang sama …
mungkin air sungai juga enggak akan mau silaturahmi lagi sampai ke rumah kamu
hahaha …,” ujar Nana diakhiri tawa kecil yang mengudara.

Sementara Nana meneruskan obrolannya
dengan Gesang yang rupanya juga sama-sama mendapat tamu tak diharapkan─banjir,
aku tersenyum bersamaan dengan diriku yang terus mengalir tenang membawa
setumpuk sampah.

Kupikir setiap manusia selalu
dijatuhi akan sebuah pilihan. Membuang sampah sembarangan, menebang hutan
begitu saja, atau terus mengeksploitasi gas alam … itu semua menjadi pilihan
mereka. Namun pada dasarnya semesta sudah memperingatkan, bahwa ada harga yang
harus dibayar mahal akan setiap pilihan yang mereka buat.

Dan banjir hanya satu dari
sepersekian harga yang harus mereka lunasi.

***

Penyunting:
Helen Magdalena Hartono