Hujan Tak Bersuara

Regina Tiur Sitindaon

Kapankah manusia itu gagal menjadi manusia? Apakah ketika ia tak berhasil memiliki rumah beratap beton? Apakah ketika ia hanya bisa tinggal di bawah tumpukan seng yang sedemikian rupa dijadikan tempat hidup? Lalu, apakah aku gagal sebagai manusia (ilustrasi oleh Yawen Zheng)

“Kak! Kalau tidur di sana apakah suara hujan akan terdengar?” Suara itu menghentikan kakiku yang tak terbungkus apapun, yang mulai mengeriput karena melangkah di genangan air hujan yang memenuhi kota. Aku menoleh adik yang menunjuk rumah yang berdiri kokoh dengan gerbang yang bahkan tak akan dapat kutebus jika mengumpulkan barang bekas sejuta ton. 


“Hujan tetaplah hujan. Ayo bergegas, sudah mulai gelap” ajakku menarik tangan adik yang mendingin. Sejujurnya aku juga tak tau jawabannya, apakah manusia yang berlindung di sana tak bisa mendengar gemuruh yang berulang kali membuat adik memelukku ketakutan? Atap yang tak dilapisi seng yang bahkan menyisakan lubang seperti istanaku. Pertanyaan adik sialnya menghantuiku, merebak dan menjalari isi kepalaku yang biasanya berisi pertanyaan “Kapan kesialan ini usai? Kapan gemuruh ini tak terdengar seperti tepat di sisi kanan telingaku?” 


“Bisakah kita suatu saat tidur di rumah putih itu?” lanjut adik bertanya dengan pertanyaan aneh yang sulit kutafsir. Diam, lalu aku memeluknya. Bukankah saat ini sang pencipta sedang melihat kami? Bukankah Tuhan yang mereka sebut adil itu saat ini tersentuh dengan pertanyaan adik? Haruskah adik yang berumur kecil ini berkelahi dengan waktu? Tolonglah! Melihatnya tak beralas kaki sudah membuatku menjerit di dalam diam, kaki mungilnya harusnya menggunakan sepatu berlampu bukan?  


Ia menangis, wajar bukan? Anak seusianya sering menangis meminta mainan mahal, barang aneh yang kadang disebut lucu atau bahkan menangis hanya karna kehilangan penghapus. Lalu, tidak wajarkah adik menangis karena menginginkan tinggal di sana dan tak mendengar suara hujan sedikit pun? Berjuta kali aku mencoba menahan tangis di depan adikku yang kutau dia juga sering berusaha tak cengeng di depanku akhirnya mengalir di derasnya hujan. Saat ini aku mengerti adik, dia begitu pula. Apakah Tuhan mengerti?  


Kapankah manusia itu gagal menjadi manusia? Apakah ketika ia tak berhasil memiliki rumah beratap beton? Apakah ketika ia hanya bisa tinggal di bawah tumpukan seng yang sedemikian rupa dijadikan tempat hidup? Lalu, apakah aku gagal sebagai manusia? Kuucap keras “Persetan! Aku sudah gagal dari awal!” Terlebih saat kubaca adikku yang tak pernah mendapatkan pendidikan menulis hal yang mengharukan. 


Hujan, kata kakak dunia berputar

Kata kakak suatu hari nanti aku bisa makan permen sepuasnya tanpa harus menunggu setoran, benarkah?

Hujan, kapan kau tak bersuara lagi di telingaku? Bukankah kau ingin didengar orang yang lebih hebat dibandingkan kami?  

Bukankah kau lelah menelurusi rumah beralas kardus ini? Ayolah, aku lelah bermain denganmu tanpa sepatu.

Hujan, suatu saat aku mau punya rumah warna putih, ada tangganya, lampunya banyak, pakai kolam, dan ada tamannya. 

Hujan, berapa lama lagi dunia ku berputar? Rasanya aku dan kakak tetap di bawah, kapan kami di atas? Tapi hujan, suatu hari nanti pasti berputar kan? Ya! Aku mendengar kau mengucap ya! Kau harus janji. Titik.  


Surat yang ia tulis itu saksi kepedihannya, kesengsaraannya, dan kepahitan hidupnya. Surat yang tak tau ia harus berikan kepada siapa untuk diwujudkan, kepada siapa ia mengadu? Kepada ayah? Kepada ibu? Ia tak punya. Dan pada akhirnya, seorang anak hanya mengadu kepada hujan yang bulan ini selalu mendatanginya dan mengganggu tidurnya. Si hujan yang hanya bisa didengar jelas bahkan satu tetes saja di rumahnya. Rumah kami. 


Sebenci itukah dunia sampai menyakiti seorang yang lemah seperti kami ini? Lalu, kami tak diberi kesempatan untuk membenci dunia kembali. Lantas, kepada siapa lagi kami berharap? Hujan? Ataukah Tuhan yang Maha Adil?



Penyunting: Mario Nathanael Silalahi