‘Rape Culture’ di Sekitar Kita

Oleh: Siti Solekha

Ketika berada di jalan atau
di tempat umum, pernahkah kalian bertemu dengan 
segerombolan lelaki lalu mereka mengeluarkan sebuah nada siulan dengan
maksud menggoda? Nah, dalam bahasa kerennya hal tersebut disebut dengan cat
calling
. Cat calling dianggap
suatu hal yang sangat lumrah. Orang-orang mengganggap hal tersebut adalah
bentuk pujian untuk menggoda, padahal  cat calling termasuk bentuk pelecehan
seksual secara verbal. Mungkin banyak orang yang
menganggap enteng hal ini, mereka akan
menganggap si penerima cat calling
adalah orang yang berlebihan jika mempermasalahkan hal tersebut. Namun sadar
atau tidak, cat calling merupakan salah satu bentuk intimidasi verbal,
meskipun tidak berbahaya namun bentuk intimidasi secara verbal ini dapat
meningkat ke level yang mulai memengaruhi target individu. Sebenarnya
, masih banyak kebiasaan
buruk lainnya yang diangap wajar namun para pelaku tidak sadar jika hal
tersebut merupakan  bagian dari pelecehan
seksual. Kebiasaan-kebiasan tersebut masuk ke dalam budaya rape culture.

Lalu apakah sebenarnya rape culture itu?

Istilah rape culture muncul pada tahun
1970-an. Rape culture adalah lingkungan dimana pemerkosaaan
dianggap suatu hal yang biasa/dinormalisasi dan kekerasan seksual terhadap
wanita dipandang sebagai sesuatu hal yang lumrah dan dimaklumi, hal ini nampak
dalam perilaku media dan budaya ma
ssa.
Sangat disayangkan karena rape culture dibentuk dan diperkuat
oleh faktor kultural
sebagai bahasa misoginis/bahasa yang mendeskriminasi perempuan, pembedaan
terhadap tubuh perempuan, dan perayan terhadap praktik  kekerasan seksual.  

Penulis Transforming
a Rape Culture
, Emilie Buchwald, mengungkapkan bahwa ketika masyarakat
menormalkan kekerasan seksual, itu menandakan bahwa mereka menerima dan
menciptakan rape culture itu sendiri. Budaya rape culture ini mengakibatkan kasus
pelecahan seksual tidak kunjung berhenti. Victim blaming, rape jokes, kekerasan
berbasis gender yang serampangan yang digambarkan di dalam film dan televisi
atau media massa lainnya, pembenaran atas kekerasan seksual atau kekerasan
berbasis gender lainnya, menghakimi pakaian korban, keadaan mental, motif, dan
sejarah korban secara terbuka, mengartikan “kelaki-lakian” sebagai dominan dan
agresif secara seksual, sedangkan “keperempuanan” sebagai penurut dan pasif
secara seksual, dan mendidik perempuan agar tidak diperkosa daripada mendidik
lelaki untuk tidak memperkosa adalah bentuk-bentuk dari normalisasi pelecehan
seksual atau rape culture. Meskipun normaliasi tersebut berada dalam tingkat
terbawah dari penyebab kasus pelecehan seksual dan tidak mengakibatkan
pelecehan tersebut secara langsung
, tetapi hal-hal tersebut dapat menggiring opini
masyarakat sehingga menyebabkan terjadinya normalisasi.

Rape culture berakibat fatal, hal ini menimbulkan penyintas kekerasan
seksual enggan untuk mengungkapkan apa yang terjadi pada diri mereka, jika
mereka speak up
(angkat bicara)-pun bukan perhatian yang mereka berikan, namun
pertanyaan dan kalimat yang menyudutkanlah yang mereka dapatkan. Sering kali
masyarakat menganggap korban adalah wanita nakal, genit, dan berpakaian yang
tidak pantas  yang meningkatkan nafsu si
pelaku. Sangat disayangkan karena pemikiran tersebut adalah
hal yang salah kaprah. Banyak masyarakat yang berpikir
bahwa korban adalah pemicu terjadinya pelecehan seksual. Padahal jika kita
menilik berdasarkan data, pemikiran mengenai pakaian
merupakan pemicu utama seseorang mengalami kekerasan
seksual
adalah salah. Hal ini terbantahkan oleh temuan survei tentang
pelecehan seksual di ruang publik yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman
pada tahun 2019, temuan ini dilakukan  di
34 Provinsi di Indonesia. Dalam survei
tersebut ditemukan fakta bahwa peristiwa pelecehan seksual tertinggi terjadi
pada korban yang mengenakan rok/celana panjang yaitu sebesar 18%, baju lengan panjang
sebesar 16%, seragam sekolah sebesar 14%, hijab sebesar
17%, dan baju longgar  sebesar 14%.

      Dengan demikian asumsi
dan pernyataan-pernyataan yang menyatakan bahwa pakaian yang tertutup rapat
akan menghindari pelaku melakukan kekerasan seksual tidaklah benar. Pelecehan seksual terjadi bukan karena pakaian
korban, dan pelecehan seksual terjadi bukanlah salah si korban, melainkan
pelaku yang tidak bisa mengendalikan dirinya. Manusia memang diciptakan
memiliki nafsu, namun mereka juga diberi akal untuk mengendalikan pikiran dan
hawa nafsunya. Dibanding menyalahkan dan menyudutkan korban, lebih baik kita
memberikan dukungan kepada mereka, berdiri di samping mereka, dan
menghindari budaya rape culture. Semoga kita senantiasa
diberikan kesadaran akan hal ini sehingga kasus pelecehan seksual bisa segera terhentikan.