

Aiman sedang memancing ikan di kolam. Berteman sebungkus rokok dan kopi di cangkir sampingnya yang dia bawa dari rumah sudah cukup membuat dia senang. Rasanya tidak ada yang dapat menyingkirkan kesenangan selain memancing ikan baginya. Air kolam beriak dan kail pancing Aiman dimakan ikan. Aiman segera menariknya keluar dari kolam. Ternyata bukan ikan, tapi hanya sebatang pelepah pisang yang hanyut menyangkut di pancingnya.
Aiman memang suka dengan memancing. Di sela hari libur selain kesibukannya mengajar di sekolah dasar, Aiman juga suka dengan berjalan melihat pemandangan pantai. Di pantai dia dapat melihat kapal-kapal nelayan berlabuh dengan cantik. Seringkali dipandanginya mega sore berarak tinggalkan peraduannya. Di situ Aiman merasa mesra dengan senja.
Aiman suka bertepi di bibir pantai dengan beralas pasir pantai yang putih. Karena di rumah baginya adalah siksa. Dia tidak betah dengan ocehan istrinya yang suka ngomel melulu. Gaji Aiman sebagai guru honorer hanya 150 ribu rupiah. Untuk memenuhi kebutuhan setiap bulan saja tidak cukup. Kadang dengan memancing dan mendapatkan ikan Aiman dapat makan bersama istrinya.
Sudah beberapa pekerjaan Aiman lamar. Tapi tidak kunjung juga mendapatkan panggilan. Aiman hanya bisa merenungi nasibnya yang malang dan sengsara. Dulu ketika melamar istrinya, Aiman berjanji membahagiakan istrinya. Istrinya pun menerima saja walau gaji Aiman hanya segitu. Tetapi Aiman sadar bahwa lama-lama dia dan istrinya tidak dapat hidup. Baginya gaji segitu dapat dibilang bahwa dia orang yang miskin.
Pagi itu ketika hari Minggu, Aiman akan berpamitan untuk memancing di kolam temannya. Istrinya hanya membanting gelas di meja. Istrinya dalam hatinya sudah merasa bosan dengan kehidupan yang miskin ini. Istrinya ingin kehidupan yang bahagia dan layak. Dilemparkannya meja sampai terbalik kaki meja di atas.
“Apa sudah cukup kehidupan kesenanganmu itu?”
“Aku akan pergi memancing, buat kita bisa makan hari ini.”
“Ah, kamu melulu bilang begitu, aku bosan.”
“Terus bagaimana lagi, aku sudah melamar ke berbagai pekerjaan.”
“Apa dengan jadi guru hidupmu terhormat?”
“Orang tuaku ingin aku jadi guru.”
“Orang hanya menganggapmu sebagai orang miskin. Kenyatannya kita ini miskin.”
“Pandai-pandailah bersyukur!”
“Syukur terus, makan itu rasa syukurmu dalam hidup kemiskinan.”
Aiman hanya bisa menahan marah. Apa yang dikatakn istrinya itu benar. Dia hidup dalam kemiskinan akibat menuruti hidup agar menjadi guru yang dihormati masyarakat. Namun kenyataannya, hidup istrinya tidak bahagia. Istrinya selalu memangis dan pandangan matanya kosong.
Aiman lalu beranjak pergi begitu saja sambil membawa tas pancing dan termos. Dia tinggalkan istrinya dalam rumah sendirian. Kalau memancing tidak dia lakukan hari itu, mungkin perut mereka kelaparan. Kelaparan lalu lama-lama mati dalam kehinaan. Sungguh keji kehidupan yang kejam ini.
Aiman saat itu yang melempar pancingnya kembali ke kolam, mendengar suara kaki berjalan di belakangnya. Dia menoleh ke belakang dan dia dapati temannya mendatanginya. Temannya itu duduk di sampingnya. Memandang bayangan kolam. Temannya hanya duduk dan melihat wajah terbayang di kolam.
“Sudah dapat berapa ikan?”
“Belum sama sekali.”
“Kamu pemalas, pantas hidupmu miskin.”
“Kenapa harus tiba-tiba begitu kamu mengejekku.”
“Kenyataan begitu. Istrimu tidak puas kan dengan kehidupannya kini.”
“Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Istriku begitu juga.”
“Lalu bagimana kehidupanmu sekarang dengan istrimu?”
“Dia pergi kabur kembali ke rumah orang tuanya.”
“Berarti kamu sudah cerai?”
“Sudah, dia yang mengajukan perceraian.”
“Kasihan sekali.”
“Nanti kamu juga alami nasib sama sepertiku.”
Mendengar kata itu, Aiman terbengong. Dia pandangi wajahnya dalam bayangan kolam. Wajahnya mengerut dan lesu. Putihnya seperti hilang harapan karena lapar dan kekosongan. Dia tidak tahu harus berbuat apa lagi selain memancing dan memancing terus.
Tangan temannya menunjuk ke kolam. Pancing Aiman dimakan ikan. Pancing tertarik ke dasar kolam. Aiman menariknya dengan segera. Rasanya begitu berat seperti beratnya beban kehidupannya yang ditanggungnya kini. Aiman segera minta bantuan temannya buat menarik pancingnya.
Ditariknya pancing dengan sekuat tenaga. Tambah makin mudah dan ringan berkat tangan temannya ada di atas tangannya. Mereka berdua tarik bersama-sama kail pancing itu. Akhirnya ikan terlempar ke udara. Bergantung di atas kolam, mulutnya tersangkut mata kail yang tajam. Aiman senang bukan main.
Dilemparkannya lagi mata kail ke kolam setelah dipasang umpan lagi olehnya. Temannya masih berdiri menemaninya di sampingnya. Mereka berdua pandangi wajah kolam dengan tajam sekali. Di dalam riak air itu, ikan-ikan lele berenang dengan jelasnya. Dapat dilihatnya lagi satu ikan lele memakan umpan pancing Aiman.
Aiman menariknya lagi dengan mudahnya dia dapatkan satu ikan lagi. Ikan itu disatukannya dengan ikan yang tadi dalam ember di belakang punggungnya. Siang sudah memanas. Aiman merasa sudah cukup dengan apa yang dia dapatkan hari itu. Dia memanggil temannya di sampingnya itu.
“Berapa total harga dua ikan ini?”
“Tidak usah bayar!”
“Lima ribu cukup?”
“Apa, lima ribu untuk dua ikan, yang benar saja. Dua ikan ini kalau dihargai 10 ribu.”
“Kenapa harganya mahal?”
“Kamu yang miskin, makanya tidak usah bayar!”
“Aku jadi punya hutang kalau begini, sudah ini 5 ribu untuk dua ikan.”
“Untuk apa lima ribu, tidak usah!”
“Apa kau tuli, bawa saja, pulang sana!”
Nada bicara temannya semakin meninggi dan matanya memerah. Dia nampak marah pada Aiman. Aiman sebenarnya orang yang tidak mau meninggalkan utang di dunia ini. Makanya dia hanya bisa membayarnya dengan 5 ribu saja. Tetapi uang yang dibawa Aiman itu dirasa sebagai belas kasihan dan penghinaan.
Aiman pergi kembali ke rumah. Ditentengnya ember di tangannya. Sesampai di rumah yang tidak jauh itu, dia dapati istrinya tidur di kursi ruang tamu. Dia tidak tega bangunkan istrinya yang sedang nikmati tidur siangnya. Rasanya dia merasa semakin bersalah. Segeralah dia masak saja ikan lele itu.
Digorengnya kedua ikan lele itu dengan perasaan bangga dan senang. Lalu dia ambil piring dan siapkan nasi di kedua piring. Satu buat istrinya dan yang satunya lagi buat dia makan. Dia bangunkan istrinya dari tidur. Dihadapkannya dua piring nasi dengan ikan goreng di atasnya.
“Kamu mau apa?”
“Makan dulu, ini aku sudah masakkan ikan.”
“Cuma ikan lele. Terus saja masak ikan lele biar aku jadi lele sekalian.”
Dibantingnya piring ke tanah. Istrinya makin marah bukan main. Ditinggalkannya Aiman ke dalam kamar bersama dengan marahnya. Istrinya kemasi barang bawannya berupa pakaian dan beberapa kosmetik. Dia keluar rumah dengan meneteng tas.
“Kamu mau kemana?”
“Kembali ke rumah orang tuaku.”
“Pergi? Silahkan pergi saja, tanpa aku hidup di sisimu.”
“Aku sudah tak tahan hidup miskin.”
“Sudah, pergi saja cepat!”
“Bagus kalau begitu, jangan sampai kamu datang ke rumahku!”
Aiman hanya bertatap lesu saja. Istrinya benar-benar tinggalkan dirinya sendirian. Istrinya lenyap begitu saja. Benar adanya yang dikatakan oleh temannya. Akhirnya dia tahu bahwa hidup itu bagai penjara. Isinya hanya kehinaan dan kesengsaraan. Aiman menjumput nasi yang berserakan di tanah. Dia terima nasib itu dengan tabah. Relakan begitu saja apa yang terjadi.
Pati, 26 Juli 2025
Beri Balasan