‍Lima Tahap dalam Kehilangan

Al Ninantari Dimarzio Ananto 

Ilustrasi Pixabay.com


I. Penyangkalan

Malang selalu dingin, menjadi lebih dingin saat ayah membiru. 

Dunia ini aneh ;

— isinya, peraturannya, penghuninya bahkan takdir didalamnya tak bisa kupahami.

Kata orang, Tuhan mengambil orang baik karena Dia terlalu menyayanginya. 

Ayahku orang jahat, Tuhan. Kenapa ikut diambil juga? 


II. Marah

Aku membenci ayah

Aku marah melihatnya hanya bisa berdiam diri saat ibu pontang-panting membina keluarga ini

Aku selalu jengkel mengingat bagaimana ia sok memberi titah

Tapi, sumpah atas nama Tuhan, melihatnya membiru membuat hatiku pilu.

teramat menyedihkan. terlampau menyakitkan. 

pilu yang jauh lebih hancur dari rasa benci itu sendiri


III. Penawaran 

Dunia ini penuh kehipokritan

Semuanya abu abu, tak ada batas untuk si hitam dan putih

Atau justru hitam dan putih tak pernah ada? 

Aku mulai tak mengerti konsep bahagia dan merasa, tak ada rasa yang tersisa


IV. Depresi

Aku mencintai ayah bak seorang hamba pada tuhannya. 

Penuh kemunafikan serta pencitraan. 

Seperti pendosa alim yang selalu melakukan dosa namun tak sedikitpun melupakan adanya Tuhan.

Aku mencintai ayah, dengan cara yang bahkan aku sendiri tak pernah bisa memahaminya. 


V. Penerimaan.

Kota Malang semakin dingin. 

Ayah, kita nikmati sisa hujan di bulan Oktober ini sambil meminum kopi pahit kesukaanmu, ya? 

Namun kali ini, bukan dengan lagu, genjreng gitar

Maupun perintah menjengkelkan mu yang mengiringi.

Kali ini, giliranmu, mendengar ratapanku  atas tubuhmu yang membiru, ya?

Penyunting: Lili Rohmawati