Fragrant potato pancakes and herring with beetroot

BAKWAN IBU

Ilustrasi oleh timolina

Dua ribu. Lima ribu. Sepuluh ribu.

Aku lipat setiap lembar pelan-pelan, takut Bu Susi dengar gemerisiknya. Tiga ratus ribu. Tanganku berhenti di saku seragam. Aku tahu Ibu tidak punya uang sebanyak itu.

Tini melirikku dan berbisik, “Duit kamu, Mel? Traktir dong, hehe.”

“Uang tabunganku, Tin.”

“Oh, hehehe.” Tini terkekeh.

Di depan kelas, Bu Susi, guru kami, masih menulis di papan tulis: Karya wisata bulan depan. Rp 300.000.

“Anak-anak, pembelajaran hari ini selesai. Jangan lupa untuk sampaikan kepada orang tua kalian surat pemberitahuan untuk karya wisata yang tadi Ibu bagikan. Kita tutup pembelajaran hari ini dengan hamdalah.”

Alhamdulillahirabbil ‘alamin!” Semua anak murid kompak menjawab, dan bel pun berbunyi.

Aku pulang dengan berjalan kaki bersama teman-teman. Kali ini aku lebih banyak diam.

“Eh, asik ya bulan hareup urang kabeh rek ulin!” celetuk Umay, salah seorang temanku.

Ceuk, Bapa abdi di Kebon Binatang loba harimau!

Nya, bener atuh, maenya loba jangkrik!” jawab Tini menanggapi.

Hahaha, mereka tertawa bersama. Aku pun ikut tertawa meski ada perasaan mengganjal di dada.

***

Sesampainya di rumah, aku mengetuk pintu rumah.

“Asalamualaikum, Bu. Neng pulang.”

“Iya, Neng. Kumaha sakola? (Bagaimana sekolahnya?)”

“Bu, ie…” Aku ragu-ragu mengeluarkan kertas dari tas. “Ie, aya surat pangumuman kanggo karya wisata. (Ini, ada surat pengumuman untuk karya wisata)”

Muhun, Neng. Iraha waktosna?” kata Ibu dengan raut muka sedih. “Poe ie, Ibu teh aya musibah. Bakwan teh kasenggol ku motor, janten murag sadayana. (Hari ini, Ibu ada musibah. Tersenggol motor, jadi jatuh semua).”

Ibu teu kunanaon?(Ibu tidak apa-apa?).” tanyaku, kaget dan khawatir.

Teu kunanaon (Tidak apa-apa), alhamdulillah, Neng. Insyaallah nanti uangnya aya (ada). Isukan Ibu coba pinjam ka Pa Haji, nya? (Besok Ibu coba pinjam ke Pak Haji, ya?).”

Pa Haji itu orang paling kaya di kampung kami. Punya balong (kolam) luas, sawah sampai ke ujung desa. Kalau ada yang butuh pinjam uang, pasti ke Pa Haji.

Bu, Neng teu kudu milu atuh, nya. Ie ngarepotkeun Ibu wae. (Saya tidak harus ikut, kok. Ini merepotkan Ibu saja).”

Aku memeluk Ibu.

Yeuh, Neng, tong kitu. Eta perpisahan Neng jeung babaturan, kan sakedeng deui rek lulus terus ka SMP. Tong hariwang, engke oge aya rezekina. (Aduh, Nak, jangan begitu. Itu perpisahan kamu dengan teman-teman. Sebentar lagi mau lulus. Jangan khawatir, nanti juga ada rezekinya).”

***

Matahari sore mulai datang, siang berganti malam. Aku menggigil di atas tikar tipis. Dari luar rumah, suara anjing liar melolong—panjang, sepi, membuat bulu kudukku berdiri. Aku tarik selimut lusuh sampai dagu, tapi dingin tetap menusuk tulang dan angin masuk lewat celah-celah dinding bambu.

“Ya Allah,” lirihku pelan, “tolong Ibu dapat uang pinjaman besok. Tolong gorengan Ibu laku banyak… biar aku bisa ikut karya wisata.”

Mataku mulai berkaca-kaca mengingat percakapan sore tadi—bakwan dagangan Ibu jatuh semua kesenggol motor. Bakwan yang baunya harum setiap pagi itu, yang selalu Ibu goreng dari subuh.

Namun, aku tetap tak bisa tidur, mungkin karena haus, tenggorokan kering. Aku bangun untuk minum. Kulihat Ibu masih terjaga, duduk di dapur dengan lampu petromaks yang redup. Di tangannya ada kertas—surat pengumuman karya wisata itu. Ibu menatapnya lama, lalu kuseka air matanya dengan ujung kain jarik.

Aku pura-pura batuk. Ibu cepat-cepat menyembunyikan kertas itu dan tersenyum, “Neng, teu tiis? Hayu bobo deui. (Tidak kedinginan? Ayo, tidur lagi!).”

Tapi aku tahu—Ibu sedang memikirkan caranya agar aku bisa ikut. Makin lama makin dingin, larut semakin larut. Ingin cepat-cepat rasanya pagi.

***

Keesokan harinya aku berangkat sekolah seperti biasa. Ibu juga sudah menggoreng bakwan dari subuh. Baunya sudah mulai harum lagi, bau minyak goreng sama bawang putih.

Neng, ie kanggo sangu sakolana. (Ini untuk bekal sekolahnya).” Ibu mengeluarkan uang lima ribu. “Poe ie, Ibu rek ka Pa Haji saatos dagangan beres. (Hari ini, Ibu mau ke Pak Haji, ya?).”

Aku mengangguk dan mencium tangan Ibu sebelum berangkat sekolah.

Sore itu, sepulang sekolah, aku langsung pulang. Dari jauh aku lihat baskom Ibu sudah kosong—bakwan habis terjual. Alhamdulillah, kataku.

“Bu, laku semua?” tanyaku.

Ibu tersenyum. “Alhamdulillah, Neng. Ayeuna Ibu ka Pa Haji, ya? (Sekarang, Ibu ke Pak Haji, ya?)”

Ibu jalan ke rumah Pa Haji. Aku ikut dari belakang, biar Ibu tidak sendirian.

Rumah Pa Haji sangat besar. Cat putihnya bersih, tidak seperti rumah kami yang catnya mulai lapuk. Dari pagar saja sudah terlihat balong luas dengan ikan-ikan besar berenang tenang. Di belakang rumah, sawah terbentang hijau sampai ke ujung.

Ibu mengetuk pagar. Mang Dadang, tukang kebun Pa Haji, keluar sambil menyeka keringat dan tangan kanannya memegang serokan.

“Bu Mela? Aya naon? (Ada apa?).”

Pa Haji aya, Mang? (Pak Haji ada, Mang?).”

Mang Dadang menggeleng. “Ka Bandung, Bu. Nganterkeun anak bungsuna kuliah. Meureun saminggu deui balik. (Mengantarkan anak bungsunya kuliah).”

Seminggu. Terlalu lama. Pembayaran karya wisata tinggal tiga hari.

“Oh… muhun, Mang. Hatur nuhun. (Baik, Mang. Terima kasih).”

Ibu berbalik. Aku lihat bahunya turun pelan, mukanya terlihat kecewa.

Ibu tak patah semangat. Ia mengetuk pintu tetangga—Bu Warsi.

Punten-punten (Permisi-permisi), Asalamualaikum, Bu Warsi. Punten ngaganggu waktosna.

Mangga, Bu Mel. Calik heula atuh. (Silakan, Bu Mel. Duduk dulu).”

Manawi aya tilu ratus rebu, abdi nginjem sakedap heula kanggo si Neng karya wisata. Engke upami dagangan tos kakumpul, abdi langsung ngagantosna. (Kalau ada tiga ratus ribu, saya pinjam sebentar untuk si Nak karya wisata. Kalau dagangan sudah terkumpul, saya langsung menggantinya).”

Punten pisan bu Mel. Abdi oge aya peryogi, Bu. Anak abdi nu cikal oge rek ujian, peryogi artos kanggo les, (Anak saya yang sulung jugamau ujian, perlu uang untuk les).” kata Bu Warsi sambil memegang tangan ibu.

Kami pulang dengan tangan kosong. Aku menggenggam tangan Ibu lebih erat. Ibu tersenyum.

***

Dua hari ini Ibu terlihat lesu dan sedih. Ibu duduk di dapur, tangannya sedikit gemetar saat memotong wortel. Aku enggan bertanya, takutnya ini gara-gara karya wisata. Dua hari ini juga Ibu bangun lebih lambat. Aku dengar kompor baru dinyalakan jam lima, bukan subuh seperti biasanya. Bakwan yang digoreng juga lebih sedikit—hanya setengah baskom. Ibu bilang biar tidak kecapekan, tapi aku lihat raut mukanya seperti banyak pikiran.

“Bu, kenapa tidak goreng bakwan?”

Ibu sibuk melipat kain. “Isukan Ibu ka pasar heula. Harga kol naek, Neng. (Besok Ibu ke pasar dulu. Harga kol naik).”

Aku tahu itu bohong. Ibu menghemat uang untuk beli sayuran.

Sore itu aku sedang mengerjakan PR di ruang tengah, suara Ibu memanggil terdengar.

Neng, ka dieu sakedap! (Ke sini sebentar!)” Ibu memanggilku pelan sambil memotong sayuran untuk adonan bakwan.

“Iya, Bu.”

Neng, ai karya wisata teh kan terakhir pembayaran tilu poe deui, nya? (Ini karya wisata kan terakhir pembayaran tiga hari lagi, ya?).” Ibu berhenti memotong. “Engke Ibu rek ngawartosan ka Bu Guru… Ibu nembe aya sakeudik. (Nanti Ibu mau memberitahu ke Bu Guru … Ibu baru ada sedikit).” Suaranya pelan. “Tapi Neng kudu ikut. Engke diciciL. Hampura… Pa Haji ternyata ka Bandung.”

Teu nanaon, Bu. Atuh teu ikut oge. (Tidak apa-apa, Bu. Tidak ikut juga).” Aku merasa tak enak hati.

Percakapan kami berhenti. Ada yang mengetuk pintu. Ketukan di pintu memecah keheningan—suara Bu Warsi, tetangga kami.

“Asalamualaikum, Bu Mela. Puntennya, ie abdi meni rek maghrib ka dieu. Bu, ie aya saeutik ti abdi. Alhamdulillah, si Kaka teu jadi lesna, da katanya aya bimbel nu gratis ti sakola. Neng Mela kedah ikut. Eta kenang-kenangan terakhir SD. Urang sadaya ningali kumaha Neng Mela rajin, pinter. Mangga, Bu, ulah hariwang. (Maafnya, ini saya baru mau maghrib ke sini. Ini ada sedikit dari saya.  Si Kakak tidak jadi lesnya, karena katanya ada bimbel yang gratis dari sekolah. Neng Mela harus ikut. Itu kenang-kenangan terakhir SD. Kami semua melihat bagaimana Neng Mela rajin, pintar. Silakan, Bu. Jangan khawatir).”

Mata Ibu berkaca-kaca. Aku tersenyum. Kami berdua mengucapkan terima kasih berkali-kali.

***

Aku peluk Ibu erat. Dari celah dinding bambu, cahaya matahari sore mulai masuk—hangat, seperti pelukan Ibu.

“Ibu,” bisikku, “nanti kalau Neng geus ageung (sudah besar), Neng masihan Ibu artos nu seueur kanggo Ibu jalan-jalan oge. (Saya memberi Ibu uang yang banyak untuk Ibu jalan-jalan).”

Ibu tertawa sambil mengusap rambutku. “Iya, Neng. Hayu tuang, Ibu rek haneuteun soto. Nanti pas karya wisata rek Ibu bekalan bakwanna, engke pasihan Bu Susi jeung babaturan di bus. (Nanti pas karya wisata mau Ibu bekali bakwannya, nanti kasih Bu Susi dan teman-teman di bus).”

Muhun, Bu. Nuhun pisan.” Mataku berkaca-kaca.

Bakwan Ibu yang baunya selalu harum setiap subuh menjadi saksi perjuangan Ibu beberapa tahun ini sejak Bapa meninggal.

Terima kasih, ya Allah, kataku dalam hati.

Hari keberangkatan yang ditunggu pun datang. Aku bangun pagi seperti biasa dengan bau bakwan yang harum. Ibu sudah menggoreng sejak jam tiga pagi.

Ieu kanggo Bu Susi sareng batur-batur Neng di bus, nya? (Ini untuk Bu Susi dan teman-teman kamu di bus, ya?)” Ibu memasukkan bakwan ke dalam kotak plastik. “Bilang, ieu ti Ibu.

Aku memeluk Ibu lama. Mencium tangannya yang berbau minyak goreng—bau yang tidak akan pernah aku lupakan.

Di bus, aku buka kotak bekal. Bakwan Ibu masih hangat. Umay dan Tini langsung minta satu.

“Enak banget!” kata Umay. “Ibumu jualan di mana sih? Kok aku baru tahu?”

Aku tersenyum. “Di dekat toko beras seberang kampung. Setiap pagi.”

Tini menggigit bakwannya pelan. “Pasti ibumu bangun subuh terus, ya?”

Aku mengangguk. Mataku berkaca-kaca.

“Iya, Tin.” Aku mengangguk pelan. Untuk aku.

Penyunting: Arief Kurniawan

Seorang penulis lepas yang terinspirasi dengan hal-hal random. Kadang bisa jadi storyteller dengan mengubah ide menjadi narasi yang menginspirasi. Sering menulis di halaman Kompasiana.com dan kadang aktif di YouTube. Penulis novel dengan judul "Afstand Tiada Berbatas" dan diadaptasi menjadi buku bicara untuk penyandang disabilitas netra oleh Kementerian Sosial Sentra Abiyoso Cimahi dengan pengisi suara oleh Rukmi Widayanti. Mari Berkolaborasi! Email: puspakartikananda@gmail.com