

Setiap pagi, sebelum matahari menyapa bentala, aku berjalan menyusuri rel kereta yang berada di sebelah rumahku menuju pelabuhan. Udara dingin menyelimuti, diikuti dengan bau asin khas laut selalu membuatku bersemangat. Aku berlari kencang dengan membawa wadah kosong di tanganku untuk menampung cumi yang siap dimasak oleh Ibu. Para nelayan sudah mengenalku, Laras si gadis kecil yang tak pernah bosan mengunjungi laut. Bagaimana bisa bosan? Laut sudah menjadi rumah kedua bagiku.
“Untuk nasi bakar ibumu lagi, Ras?” tanya salah satu nelayan sambil mengangkat jala. Aku mengangguk, tersenyum kecil membalas sapaan para nelayan. “Iya, Pak. Ibu bilang berkat cuminya yang masih segar, nasi bakarnya menjadi yang terenak di kampung ini.”
Laut adalah tempat favoritku. Di sinilah aku merasa hidup, mendengar deru ombak yang selalu menyapaku ketika aku datang. Suatu hari nanti aku ingin punya kapal sendiri agar bisa mengarungi samudra yang luas. Aku bahkan sudah menabung dari hasil bantu Ibu berjualan nasi bakar cumi.
Setelah dari pelabuhan, kami berdua akan sibuk di dapur kecil yang hanya cukup untuk dua orang. Ibu menyiapkan bumbu, aku membungkus nasi dengan daun pisang lalu menaruhnya di atas bara arang. Aroma nasi bakar cumi yang khas membuat siapa pun yang lewat berhenti sejenak hanya untuk mencium wangi itu.
Kalau aroma nasi bakar yang sudah terbakar sempurna memenuhi dapur, Ibu selalu bilang, “Itu tanda rezeki hari ini udah siap dipanggil.” Aku sangat antusias menata nasi bakar di meja teras rumah. Karena setiap kali nasi bakar cumi matang, selalu ada nelayan yang datang membeli. Termasuk guruku yang sudah pensiun, Bapak Santosa, yang tiap hari menitipkan uang lebih dan berkata, “Sisanya buat tabunganmu saja, Ras. Buat beli kapal nanti.”
Bapak Santosa adalah guru IPS-ku di sekolah dasar. Dulu beliau juga sempat bercita-cita menjadi pelaut sebelum akhirnya mengajar. Setiap kali mampir, beliau selalu bercerita tentang peta, tentang samudra yang luas, tentang nama-nama kapal yang beliau pernah baca di buku. Aku banyak belajar dari beliau tentang keanekaragaman laut. Kadang beliau bercanda, “Kalau nanti kamu punya kapal, jangan lupa ukir namamu di kapal itu, ya. Biar semua orang tahu kapal itu punya gadis kecil yang menjadikan laut sebagai rumah keduanya.” Sejak itu, aku semakin yakin menabung bukan hanya untuk kapal, tapi buat mimpi yang terasa nyata setiap kali beliau datang membeli nasi bakar di pagi hari.
Suatu pagi, saat aku jalan ke pelabuhan, aku memperhatikan laut biru menatapku berbeda. Aku baru sadar waktu penjual cumi langgananku bilang hasil tangkapannya menurun. Air di sekitar pelabuhan mulai keruh, laut pun terbatuk-batuk saat mencoba menelan sampah-sampah plastik yang dibuang manusia. Beberapa hari ini bahkan cuminya berlendir. Ibu tetap memakainya, tapi aku bisa mencium aroma yang berbeda. Bukan aroma segar laut, tapi getir seperti minyak.
Pelanggan mulai berkurang. Ada yang bilang harga nasi bakar kami kemahalan, ada juga yang diam-diam tak pernah datang kembali. Ibu tetap tersenyum setiap pagi, tetap menggunakan daun pisang, tetap menyalakan arang dengan cara yang sama. Tetapi sekarang aku merasa ada yang berbeda dari rutinitas kami. Semangat yang dulu terasa hangat kini mulai dingin.
Beberapa hari setelah itu, aku melihat truk besar berhenti di tepi sungai yang mengalir ke laut. Dari dalamnya, cairan pekat hitam mengalir diikuti dengan sampah-sampah plastik, membuat air sungai keruh. Aku hanya berdiri di sana, menatap tanpa tahu harus berbuat apa. Saat itu, entah kenapa aku merasa laut sedang sakit dan aku cuma bisa melihatnya menderita. Cumi yang kubeli selalu berlendir dan aneh. Entah kenapa Ibu tetap memasaknya. Kali ini nasi bakar kami tak lagi harum. Aroma dari daun pisang cepat hilang, tak meninggalkan jejak apa pun di udara. Ketika pelanggan setia kami, guruku yang sering menitip uang tabungan kapal datang, beliau mencicipi sedikit lalu menatapku dengan wajah yang tak bisa aku artikan. “Lautnya udah gak kayak dulu, Nak,” katanya pelan. “Kalau lautnya sakit, rasa makanannya juga berubah.”
Aku tidak bisa menjawab. Rasanya ada sesuatu di tenggorokanku yang tersangkut. Malam itu, aku duduk di dekat jendela, memandangi laut yang hanya terlihat sebagai bayangan gelap dari kejauhan. Suara kereta lewat membuat kaca jendela bergetar, seolah mengingatkanku bahwa waktu berjalan terus, dan laut yang dulu kukenal mungkin tak akan sama lagi. Aku menatap ke luar cukup lama sampai mataku perih, mencoba mencari sisa cahaya di atas air yang kini keruh. Tapi yang kurasakan justru sesak karena aku tahu aku tidak melakukan apa-apa. Laut itu dulu tempatku berlari, tempat aku menaruh mimpi, tapi ketika lautnya mulai sekarat, aku malah diam di balik jendela.
“Percuma, Bu. Cuminya juga udah gak ada yang segar.” Untuk pertama kalinya aku menolak ikut ke pelabuhan. Ibu cuma diam sebentar, lalu pergi meninggalkanku untuk menyalakan bara di dapur. Tak lama kemudian, aroma gosong daun pisang kembali memenuhi udara. Aku mendekat, heran. “Kenapa masih bikin, Bu? Udah gak ada yang beli.” Ibu terus mengipasi arang tidak menghiraukanku. “Kalau bukan kita yang jaga, nanti semuanya benar-benar hilang.” Kalimat sederhana yang terucap dari mulut Ibu menampar pelan hatiku. Aku ikut duduk di sebelahnya, mengambil daun pisang dan mulai membungkus nasi. “Kali ini isinya ayam aja ya, Bu,” kataku. Ibu tersenyum kecil. “Yang penting masih dibungkus dengan doa.” Aku dan Ibu kembali berbincang di dapur. Asap gosong dari arang kembali naik. Walau tak seharum dulu, tapi tetap punya rasa yang membawa kembali ke rumah.
Beberapa bulan kemudian, laut belum kunjung pulih. Kapal-kapal besar kini lebih sering bersandar di pinggir pelabuhan baru. Tapi aku masih ke sana setiap minggu, ikut membersihkan pantai bersama anak-anak kampung. Kadang kami hanya dapat empat karung kecil, tapi itu sudah menjadi bentuk langkah kecil dariku untuk menjaga laut. Setidaknya, aku tidak membiarkan laut menderita sendirian. Toples tabunganku tak lagi disebut “tabungan kapal.” Aku menggantinya dengan kertas kecil yang bertuliskan “Kalau aku tak bisa mengarungi samudra, setidaknya aku harus bisa melihat laut yang masih biru.”
Setiap kali Ibu menyalakan arang dan asap dari daun pisang mulai mengepul, aku menutup mata sejenak. Wangi nasi bakar yang selalu menyelimuti ingatanku saat masa kecil yang dekat dengan laut. Aroma itu masih sama, tapi kali ini yang terbakar bukan hanya daun pisang, tapi rinduku pada laut yang sedang belajar untuk hidup lagi.
Penyunting: Aprilla Ragil Argiyani






















Beri Balasan