

Arjuna, seorang pemuda desa yang tumbuh dengan jiwa yang merdeka, tinggal di sebuah tempat yang terpencil, terletak di lembah hijau nan subur yang dikelilingi oleh hutan lebat. Desa itu, meski terlihat damai di permukaan, menyimpan bayang-bayang tak kasat mata yang selalu hadir di setiap sudutnya. Penduduknya menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh ketenangan, namun di balik kedamaian itu, ada ketakutan yang mengakar kuat, diwariskan dari nenek moyang mereka.
Di desa itu, takhayul dan legenda menjadi bagian dari kehidupan. Mereka bukan hanya cerita untuk menakut-nakuti anak kecil atau kisah pengantar tidur, melainkan kepercayaan yang sudah mendarah daging. Salah satu legenda paling terkenal di sana adalah tentang bayang-bayang nenek moyang, entitas gaib yang diyakini selalu mengawasi setiap generasi yang hidup di desa tersebut. Menurut kepercayaan turun-temurun, para nenek moyang tidak pernah benar-benar pergi. Roh-roh mereka tetap tinggal di dunia, terperangkap dalam bentuk bayangan yang hanya bisa dirasakan, tetapi tidak pernah benar-benar terlihat.
Setiap tahun, ketika malam-malam menjadi lebih panjang dan angin yang bertiup dari hutan terasa lebih dingin, desa menggelar ritual besar untuk menghormati bayang-bayang ini. Orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat berkumpul di alun-alun desa, membawa sesajen, dupa, dan bunga sebagai persembahan. Mereka menyanyikan lagu-lagu kuno yang dipercaya dapat menenangkan roh para leluhur yang tidak tenang. Mantra-mantra berbahasa tua, yang mungkin sudah tak lagi dimengerti oleh sebagian besar penduduk, diucapkan dengan penuh khidmat. Semua itu dilakukan untuk satu tujuan: memastikan bayang-bayang nenek moyang tetap tenang dan tidak mengganggu kehidupan mereka.
Ritual ini dianggap sakral, dan bagi para penduduk, melanggar tradisi ini sama dengan mencari celaka. Setiap orang yang mencoba menentang atau mengabaikan legenda ini diyakini akan menghadapi kutukan yang mengerikan. Mereka yang tidak mengikuti aturan bisa kehilangan anggota keluarga secara misterius, jatuh sakit karena penyakit yang tak terobati, atau bahkan lebih buruk lagi mereka akan hilang di hutan yang gelap tanpa meninggalkan jejak, seolah-olah diambil oleh bayang-bayang itu sendiri.
Arjuna, yang sejak kecil tumbuh mendengar cerita-cerita itu, mulai meragukan kebenaran legenda tersebut. Baginya, semua itu hanya takhayul yang lahir dari ketakutan manusia akan hal-hal yang tidak mereka pahami. Ia tidak bisa mengerti bagaimana orang-orang di desanya bisa begitu percaya pada sesuatu yang tak pernah mereka lihat dengan mata kepala sendiri. Menurutnya, bayang-bayang itu hanya dongeng yang diciptakan untuk menakut-nakuti dan mengontrol masyarakat agar tetap patuh pada tradisi yang sudah usang.
Namun, meski pikirannya modern dan terbuka, Arjuna tidak bisa sepenuhnya mengabaikan pengaruh cerita-cerita lama itu. Ia masih ingat cerita-cerita yang diceritakan neneknya sebelum tidur, tentang orang-orang yang hilang tanpa jejak, tentang tanda-tanda gaib yang muncul ketika seseorang melanggar tradisi. Di sudut hatinya, ada keraguan yang terus bersembunyi, seolah-olah ada sesuatu yang benar dari cerita-cerita tersebut, meskipun ia enggan mengakuinya.
Di sisi lain, bayang-bayang yang tak pernah terlihat itu mulai terasa semakin nyata dalam hidupnya. Setiap malam, ketika ia sendirian di rumah, ia merasakan kehadiran yang tak bisa dijelaskan, seolah-olah ada mata yang mengintainya dari sudut-sudut gelap. Suara angin yang berhembus melalui celah-celah jendela terdengar seperti bisikan, dan langkah-langkah yang samar terdengar di lantai kayu rumahnya, membuat bulu kuduknya berdiri. Apakah itu hanya imajinasinya yang terlalu liar, atau ada sesuatu yang lebih dari sekadar legenda?
Seiring berjalannya waktu, Arjuna menyadari bahwa meski ia berusaha menolak kepercayaan lama, ia tidak bisa sepenuhnya bebas dari bayang-bayang nenek moyang yang terus menghantui desanya. Kedamaian yang selama ini ia anggap sebagai bagian dari kehidupan desa ternyata hanya lapisan tipis yang menyelimuti ketakutan mendalam yang sudah mengikat warganya selama berabad-abad. Tidak ada yang benar-benar bebas di desa itu; mereka semua terperangkap dalam lingkaran takhayul dan legenda yang diwariskan dari masa lalu.
Bagi Arjuna, sebuah pertanyaan besar kini muncul: apakah ia harus melawan dan mencari kebenaran di balik semua ini, ataukah ia akan tenggelam dalam ketakutan yang sama seperti yang dialami oleh generasi-generasi sebelumnya?
Malam itu, desa yang biasanya tenang mendadak gempar. Di tengah kegelapan, terdengar bisik-bisik dan desas-desus tentang bayang-bayang yang mulai muncul kembali. Beberapa warga mendapati ternak mereka mati tanpa sebab, dengan tubuh kaku dan mata terbuka lebar seolah-olah melihat sesuatu yang menakutkan sebelum ajal menjemput. Yang paling mengejutkan, seorang pemuda bernama Rahman dilaporkan hilang setelah terakhir kali terlihat memasuki hutan sendirian.
Di sebuah warung kecil di pinggir desa, Arjuna duduk bersama Laras, sahabatnya, menikmati kopi panas sambil membahas isu-isu yang berkembang. Mereka mendengar percakapan warga yang gelisah dari meja-meja sekitar.
“Katanya, bayang-bayang itu muncul lagi,” bisik seorang pria tua dengan suara bergetar, “Ternak Pak Samin mati semua, dan si Rahman… sampai sekarang belum ditemukan.”
Laras menoleh ke arah Arjuna, raut wajahnya serius meski ia mencoba menyembunyikan kekhawatiran. “Kau dengar itu, Jun? Semua orang membicarakannya.”
Arjuna mendengus, berusaha tetap tenang. “Itu cuma cerita lama yang mereka putar ulang setiap kali ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Ternak mati? Mungkin saja ada penyakit yang tersebar. Dan Rahman… dia pasti tersesat di hutan, mungkin dia akan pulang besok pagi.”
Laras menatap Arjuna dengan tatapan ragu. “Aku tahu kau tidak percaya takhayul, tapi kali ini rasanya berbeda. Ini bukan hanya satu atau dua orang yang membicarakan hal aneh ini, hampir semua orang merasakan sesuatu yang tidak beres. Apa kau tidak merasakannya juga?”
Arjuna menggeleng, tetap bersikeras. “Laras, kita tidak bisa hidup dengan rasa takut pada hal yang tidak pernah kita lihat. Bayang-bayang nenek moyang? Itu hanya cerita untuk menakuti anak kecil. Jika kita terus membiarkan diri kita dibelenggu oleh legenda ini, kita tidak akan pernah bisa maju.”
Laras menghela napas panjang. “Mungkin kau benar, Jun, tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini. Malam-malam ini terasa berbeda. Angin yang berhembus dari hutan, suara-suara yang samar… seakan ada sesuatu yang memperhatikan kita.”
Arjuna menatap sahabatnya dalam-dalam, lalu berkata, “Perasaan kita sering kali menipu, Laras. Ketika kita mendengar cerita-cerita seram, pikiran kita akan mulai menciptakan hal-hal yang sebenarnya tidak ada.”
Sebelum Laras bisa menjawab, seorang wanita paruh baya tiba-tiba masuk ke warung dengan wajah panik. Ia menghampiri pemilik warung dan berbicara dengan suara keras, cukup untuk didengar oleh semua orang di sana.
“Pak Jaya, tolong bantu! Suami saya belum pulang dari ladang. Saya takut ada sesuatu yang terjadi padanya!” Tangannya gemetar, dan suaranya penuh kecemasan.
“Tenang, Bu Sari,” jawab Pak Jaya, pemilik warung, berusaha menenangkannya. “Mungkin dia hanya terlambat. Malam ini gelap, jalanan licin. Dia pasti akan segera kembali.”
“Tidak!” seru Bu Sari. “Saya tahu ada yang salah. Bayang-bayang itu… saya melihatnya di ujung desa tadi sore, di dekat ladang! Suami saya bilang dia akan pulang lebih awal, tapi sampai sekarang tidak ada kabar!”
Suasana di warung menjadi tegang. Semua orang mulai berbisik satu sama lain, dan ketakutan semakin meluas. Laras menatap Arjuna dengan mata lebar.
“Jun… bagaimana kalau ada sesuatu di balik ini semua? Orang-orang mulai hilang, ternak mati tanpa sebab, dan sekarang ini…”
Arjuna berdiri dengan raut wajah serius, meski dalam hatinya masih terselip keraguan. “Kita tidak bisa langsung percaya pada hal-hal seperti ini. Aku akan pergi ke hutan mencari tahu. Kalau Rahman dan suami Bu Sari benar-benar tersesat, kita harus menemukannya sebelum terlambat.”
Laras terdiam sejenak sebelum berkata dengan nada pelan, “Aku ikut denganmu.”
“Tidak, Laras. Ini bisa berbahaya, dan aku tidak mau melibatkanmu.”
Laras menatapnya tajam. “Aku tidak takut, Jun. Kalau kau ingin mencari kebenaran, maka aku juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita sudah terlalu lama hidup dalam bayang-bayang legenda ini, dan aku ingin menemukan jawabannya.”
Arjuna menghela napas, menyadari bahwa sahabatnya tidak akan mundur. “Baiklah. Tapi kita harus tetap rasional. Jangan biarkan cerita-cerita itu mempengaruhi pikiran kita.”
Dengan langkah tegas, mereka berdua meninggalkan warung dan berjalan menuju hutan. Di sepanjang perjalanan, suara gemerisik daun dan angin malam yang berhembus semakin membuat suasana mencekam. Laras mencoba tetap tenang, namun ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang mengintai mereka dari dalam kegelapan.
“Jun… kau yakin ini bukan sesuatu yang lebih dari sekadar ketakutan?” tanya Laras, suaranya pelan namun penuh kekhawatiran.
Arjuna berhenti sejenak, menatap ke arah hutan yang semakin gelap. “Aku tidak tahu, Laras. Tapi kalau ada sesuatu yang benar-benar terjadi, kita harus menghadapinya. Aku tidak akan lari hanya karena cerita-cerita lama.”
Malam semakin larut, dan di antara pepohonan hutan yang sunyi, bayang-bayang mulai bergerak di pinggir pandangan mereka.
Setelah malam yang mencekam di hutan, Arjuna dan Laras memutuskan bahwa sudah saatnya mereka mencari jawaban. Banyak hal aneh yang terjadi di desa belakangan ini, dan meskipun Arjuna masih ragu dengan semua cerita bayang-bayang, dia tahu ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar ketakutan masyarakat. Laras, yang juga terpecah antara logika dan perasaan, setuju untuk mencari sosok yang mungkin bisa menjelaskan semua ini.
Nenek Randa adalah sosok misterius di desa. Wanita tua itu tinggal di pinggir hutan, jauh dari keramaian desa. Orang-orang menganggapnya sebagai penjaga tradisi dan pengetahuan kuno. Beberapa percaya bahwa ia memiliki hubungan langsung dengan para leluhur dan tahu rahasia yang disembunyikan oleh bayang-bayang yang selama ini menghantui desa.
Mereka sampai di rumah Nenek Randa saat matahari mulai terbenam. Gubuknya sederhana, namun suasana di sekitarnya terasa berat dan penuh misteri. Arjuna mengetuk pintu kayu itu, suaranya menggema dalam keheningan senja.
“Nenek Randa… ini aku, Arjuna, dan Laras. Kami perlu bicara denganmu,” suara Arjuna terdengar tegas, meskipun ada sedikit kegelisahan di dalamnya.
Pintu berderit terbuka perlahan. Nenek Randa berdiri di ambang pintu, sosoknya tampak rapuh dengan keriput yang dalam di wajahnya. Namun, di balik kelembutannya, ada kilatan kebijaksanaan dan pengetahuan yang dalam.
“Aku sudah menunggu kalian,” katanya dengan suara serak namun penuh wibawa. “Masuklah.”
Mereka masuk ke dalam gubuk yang sederhana, dipenuhi aroma rempah-rempah dan dupa. Cahaya dari lampu minyak menerangi ruangan dengan lembut, menciptakan bayang-bayang yang bergerak di dinding seperti sesuatu yang hidup. Arjuna dan Laras duduk di depan Nenek Randa yang perlahan mengambil tempat di kursinya.
“Apa yang kalian cari?” tanya Nenek Randa, menatap mereka dengan mata yang tajam, seolah-olah dia sudah tahu jawabannya.
Arjuna mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Kami datang untuk mencari kebenaran tentang bayang-bayang yang menghantui desa ini, Nek. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah semua ini hanya takhayul, atau ada sesuatu yang nyata di balik legenda nenek moyang?”
Laras menambahkan dengan nada khawatir, “Orang-orang mulai hilang, ternak mati, dan semua orang percaya bahwa ini karena bayang-bayang itu. Kami butuh jawaban, Nek. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Nenek Randa memejamkan matanya sejenak, seolah-olah sedang merenung. Setelah hening beberapa saat, ia membuka matanya kembali dan menatap mereka dengan pandangan yang penuh kesedihan.
“Bayang-bayang yang kalian bicarakan itu bukan hanya legenda. Mereka adalah sesuatu yang nyata, tapi bukan dalam bentuk yang kalian kira,” kata Nenek Randa perlahan, suaranya bergetar dengan emosi. “Mereka adalah cerminan dari ketakutan, dosa, dan kesalahan masa lalu yang belum terselesaikan. Setiap generasi menambah kekuatan mereka dengan rasa takut yang diwariskan dari nenek moyang.”
Arjuna mengernyit, bingung. “Maksudmu, bayang-bayang itu muncul karena kita percaya pada mereka?”
Nenek Randa mengangguk pelan. “Setiap kali seseorang percaya bahwa bayang-bayang itu ada, mereka memberi kekuatan kepada mereka. Ketakutan kalian adalah makanan bagi mereka. Mereka tidak nyata dalam bentuk fisik, tapi mereka menjadi nyata karena kalian takut akan mereka. Setiap generasi menyumbang sesuatu kepada bayang-bayang itu. Bukan hanya ketakutan, tapi juga kesalahan, dosa-dosa yang tersembunyi, dan rasa bersalah yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.”
Laras terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. “Jadi… kita sendiri yang menciptakan mereka? Apa yang harus kita lakukan untuk menghentikannya?”
Nenek Randa menatap Laras dalam-dalam. “Kalian harus menghadapi ketakutan kalian. Kalian harus berani menolak takhayul yang selama ini kalian percayai. Setiap orang di desa ini harus berhenti memberi mereka kekuatan. Bayang-bayang itu ada karena mereka dibangun dari ketakutan dan cerita-cerita yang diceritakan turun-temurun. Jika kalian tidak lagi percaya pada mereka, jika kalian tidak lagi takut, mereka akan memudar, hilang seperti kabut di pagi hari.”
“Tapi, bagaimana kita bisa membuat semua orang berhenti percaya? Ini sudah menjadi bagian dari kehidupan di desa selama berabad-abad,” tanya Arjuna, ragu.
Nenek Randa tersenyum tipis, namun matanya tetap serius. “Perubahan tidak pernah mudah. Kalian harus menunjukkan kepada mereka bahwa ketakutan itu tidak beralasan. Bahwa mereka telah hidup terlalu lama dalam bayang-bayang masa lalu. Kalian harus menjadi cahaya yang menyingkirkan kegelapan itu.”
Laras menggenggam tangan Arjuna, merasa bahwa ini bukan hanya sekadar tugas untuk mengungkap kebenaran, tetapi juga untuk menyelamatkan desanya. “Kita bisa mulai dengan diri kita sendiri, Arjuna. Kita hadapi bayang-bayang itu. Kita buktikan bahwa kita tidak lagi takut.”
Arjuna menatap Laras dan mengangguk. “Kita akan lakukan ini, Laras. Kita akan buktikan bahwa desa ini tidak perlu hidup dalam ketakutan lagi.”
Nenek Randa menatap mereka dengan tatapan bangga. “Ingatlah, bayang-bayang itu hanya sekuat rasa takut kalian. Jika kalian bisa menghadapi mereka dengan hati yang bebas dari ketakutan, mereka tidak akan punya kuasa lagi.”
Malam itu, Arjuna dan Laras meninggalkan rumah Nenek Randa dengan semangat baru. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang dan penuh tantangan, tetapi untuk pertama kalinya, mereka merasa bahwa bayang-bayang yang selama ini menghantui desa mereka mungkin bisa dihadapi dan akhirnya, dikalahkan.
Malam telah larut ketika Arjuna dan Laras berjalan menembus hutan, menuju tempat yang dipercaya sebagai pusat kemunculan bayang-bayang. Udara di sekitar mereka terasa dingin dan tebal, seakan-akan hutan itu sendiri menolak kehadiran mereka. Pohon-pohon besar menjulang tinggi di atas kepala, menciptakan bayangan yang tampak hidup dan bergerak dalam kegelapan. Namun Arjuna dan Laras tidak lagi gentar, mereka sudah siap menghadapi apa pun yang menanti di depan.
“Jun, kau yakin tentang ini?” tanya Laras dengan nada pelan, namun penuh tekad. “Kita tidak tahu apa yang sebenarnya akan kita hadapi.”
Arjuna mengangguk, matanya menatap lurus ke depan. “Aku yakin, Laras. Bayang-bayang itu hanya bisa hidup karena kita takut. Kalau kita bisa mengendalikan rasa takut kita, mereka tidak akan punya kuasa atas kita.”
Mereka terus melangkah, sampai tiba di sebuah tempat terbuka di tengah hutan. Tanahnya lembab, dengan kabut tipis yang melayang di udara. Suasana begitu sunyi, bahkan angin seolah berhenti berhembus.
Tiba-tiba, bayang-bayang itu muncul. Gelap, lebih hitam dari malam itu sendiri, merayap dari setiap sudut hutan, menyelimuti pepohonan, dan perlahan-lahan mendekati mereka. Bayang-bayang itu tampak bergerak hidup, menari-nari di sekitar mereka seperti asap tebal yang tidak bisa disentuh. Suara bisikan samar terdengar dari segala arah, mengisi udara dengan kecemasan yang mencekam.
Laras mencengkeram lengan Arjuna, matanya membesar saat melihat sosok bayang-bayang yang mengerikan itu mendekat. “Jun… apa yang harus kita lakukan?”
Arjuna menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang meskipun dadanya berdegup kencang. “Kita tidak boleh takut, Laras. Itulah kunci mereka. Mereka kuat hanya karena kita takut pada mereka.”
Bayang-bayang itu semakin dekat, bentuknya mulai berubah menjadi sosok-sosok menyeramkan, cerminan dari rasa takut terdalam mereka. Laras mulai merasakan ketakutannya muncul ke permukaan. Di depannya, bayang-bayang itu mengambil bentuk siluet orang-orang yang hilang di hutan, wajah-wajah yang pernah ia kenal, termasuk Rahman dan suami Bu Sari. Suara-suara menyeramkan memanggil namanya, seakan-akan mencoba menariknya ke dalam kegelapan.
“Laras…” bisik sosok bayangan itu, suara Rahman terdengar menggema dalam kegelapan, “Kenapa kau meninggalkanku? Kenapa kau tidak menyelamatkanku?”
Laras merasa tubuhnya melemah, tangannya gemetar. “Rahman… ini salahku…,” bisiknya dengan perasaan bersalah. Namun Arjuna segera menggenggam tangannya, menahannya agar tidak jatuh ke dalam jebakan bayang-bayang itu.
“Tidak, Laras! Itu bukan dia! Itu hanya ilusi yang dibuat dari rasa takutmu!” seru Arjuna, memaksa dirinya tetap fokus. “Mereka hanya bisa mempengaruhi kita jika kita membiarkan rasa takut menguasai pikiran kita!”
Sementara itu, Arjuna melihat bayang-bayang mengambil bentuk lain sosok ayahnya, yang sudah lama meninggal. Wajah ayahnya tampak penuh kesedihan, seolah-olah menuduh Arjuna atas sesuatu yang tidak pernah ia selesaikan. “Kau gagal, Arjuna… kau tak pernah menjadi anak yang kuharapkan…”
Arjuna merasakan gelombang emosi menyerangnya, hampir membuatnya goyah. Tapi ia segera mengingat kata-kata Nenek Randa. “Bayang-bayang itu hanya sekuat rasa takut mereka.” Ia memejamkan matanya, berusaha melawan perasaan bersalah dan ketakutan yang mulai mencengkeramnya.
“Aku tidak akan membiarkanmu menguasai pikiranku,” bisik Arjuna kepada dirinya sendiri. Ia membuka matanya dengan tekad yang kuat. “Kau bukan nyata. Semua ini hanya bayangan dari rasa takut yang kita ciptakan sendiri!”
Seketika, sosok ayahnya yang tadinya begitu nyata mulai memudar, bayang-bayang itu melemah di hadapan keberanian Arjuna. Arjuna memutar kepalanya ke arah Laras yang masih terguncang oleh bayangan Rahman.
“Laras! Jangan biarkan mereka mengendalikannya!” seru Arjuna. “Ingat, mereka hanya ada di dalam pikiranmu! Rahman tidak ada di sini, itu hanya ketakutanmu yang coba digunakan untuk melawanmu!”
Laras, meski masih terguncang, mulai menenangkan dirinya. Ia mengulangi kata-kata Arjuna di dalam pikirannya: Bayang-bayang ini tidak nyata, ini hanya ilusi. Perlahan, ia melepaskan rasa bersalah yang telah lama menghantuinya tentang hilangnya Rahman.
“Semuanya hanya ilusi…” bisik Laras, menggenggam tangan Arjuna lebih erat. “Rahman… maafkan aku, tapi aku tidak akan membiarkan ketakutanku menguasai hidupku.”
Seiring dengan ketenangan yang mulai kembali pada Laras, bayang-bayang yang mengelilinginya mulai memudar. Sosok Rahman menghilang, digantikan oleh kegelapan yang mulai melemah. Momok itu kehilangan kekuatannya, semakin lama semakin pudar, seiring dengan keberanian mereka yang tumbuh.
Arjuna menatap bayang-bayang terakhir yang masih tersisa, suaranya tegas. “Kita tidak takut lagi. Kau tidak bisa menguasai kami. Rasa takut kami tidak akan lagi memberi makan kekuatanmu.”
Bayang-bayang itu bergetar, seolah-olah berusaha mempertahankan dirinya, tapi kemudian… hilang. Dalam sekejap, hutan yang tadinya terasa berat dan mencekam berubah menjadi sunyi dan damai. Kabut yang tebal perlahan menghilang, meninggalkan udara yang segar dan bersih.
Laras menatap Arjuna, napasnya masih tersengal. “Jun… kita berhasil. Mereka menghilang.”
Arjuna mengangguk pelan, masih merasakan gemuruh emosinya. “Ya, Laras. Karena kita berhenti takut. Kita menghadapi mereka, dan akhirnya mereka kehilangan kekuatannya.”
Mereka berdiri dalam hening sejenak, merasakan kemenangan yang baru saja diraih. Bayang-bayang yang selama ini menghantui desa mereka, yang membuat seluruh generasi hidup dalam ketakutan, akhirnya lenyap. Tapi bukan karena mereka berhasil menghancurkan momok itu dengan kekerasan, melainkan karena mereka belajar untuk menghadapi dan menaklukkan rasa takut mereka sendiri.
Setelah mengalahkan bayang-bayang dengan keberanian dan pemahaman, Arjuna kembali ke desa bersama Laras. Ia mengumpulkan warga dan menceritakan pengalaman mereka, menjelaskan bahwa bayang-bayang itu hanya hidup dari ketakutan yang diwariskan turun-temurun. Dengan penuh keyakinan, Arjuna memimpin warga untuk melepaskan kepercayaan mereka pada takhayul tersebut. Seiring waktu, desa pun terbebas dari momok yang selama ini membelenggu mereka. Kedamaian yang tidak lagi terikat pada legenda nenek moyang kini menjadi milik desa, dan mereka bisa menjalani hidup tanpa rasa takut yang tak beralasan.
Penulis: Salmaa Anisah Rodhiyah
Beri Balasan