Sebuah rumah di pinggir sungai tampak gagah dengan tembok kokoh berwarnakan putih kekuningan. Setiap orang yang melewatinya selalu memuji bangunan tua tersebut dengan alasan arsitekturnya yang klasik. Bangunan tersebut dahulu adalah milik sebuah keluarga Belanda sebelum akhirnya mereka diusir, menurut para tetangganya mereka diusir pada saat Masa Bersiap. Beberapa orang menjelek-jelekan rumah tersebut karena menurut mereka tempat itu menakutkan, entah karena banyak hantunya atau ingatan masa lalu mereka terhadap kolinialisme, yang jelas itu tetap menakutkan.
Rumah itu milik keluarga pensiunan marinir. Bagaimana mereka menempati tersebut, orang-orang di sekitarnya tidak terlalu peduli karena menurut mereka masuk akal jika rumah itu bisa ditempati pensiunan marinir. Namun, sebelum Pak Mar ini pensiun (Pak Mar adalah nama panggilan beliau walaupun nama aslinya adalah Pak Wawan), tempat ini biasanya hanya ditempati istri dan anaknya saja. Pak Mar adalah petualang sejati dan tidak pernah takut dengan samudra kata istrinya. Itu sebabnya dia tidak suka tinggal di rumah. Mungkin itu berlebihan bagi sebagian orang, tapi itu tidak berlebihan menurut Bu Mar (nama panggilan istri Pak Mar walaupun nama aslinya adalah Bu Wahyuni), mungkin karena Bu Mar mencintai Pak Mar. Kata orang-orang, kalau kita jatuh cinta kita jadi suka melebih-lebihkan sesuatu.
Di sebelah kanan rumah Pak Mar terdapat sebuah pohon kelapa besar yang sudah tua, lebih tua dari usianya Pak Mar. Ada hubungan unik antara pohon kelapa ini dengan Pak Mar. Pada momen-momen tertentu, pohon kelapa ini menjadi tempat yang paling didambakan ketika Pak Mar sedang ingin bercerita. Bukan untuk bercerita kepada teman-teman yang dia ajak ngopi di sana, tetapi pohon kelapa itu sendiri adalah teman Pak Mar. Pohon kelapa yang biasanya dia ajak ngopi. Beginilah percakapan pertama ketika Pak Mar muda dengan pohon kelapa tersebut.
“ Saya duduk di sini, ya?”
“…..,” jawab pohon mengizinkan.
“Kamu sudah lama hidup di sini?”
“…..,” jawab pohon mengiyakan.
“Pohon kelapa yang tua, saya baru saja pindah ke sini. Saya menyukai arsitektur bangunan rumah ini dan saya mencari banyak informasi tentang rumah ini. Rumah ini dulunya kepemilikan orang Belanda dan itu membuatnya rumit, lebih rumit lagi saya belum punya cukup uang untuk rumah ini saat itu. Saya sudah bertemu denganmu beberapa kali tapi kita belum pernah berbincang sedikitpun”
“Rasanya sulit sekali untuk mengurus hak milik rumah ini, tapi tempat ini selalu punya suasana yang menyenangkan untuk dilihat. Kalau bukan gara-gara pemandangan rumah yang cantik, sungai yang sejuk, dan kamu (sambil menyentuh pohon kelapa), sepertinya saya gak bakal balik lagi. Kalau untuk mengurus rumah biasa sampai serumit ini, agaknya itu buang-buang waktu saja dan saya tidak akan bilang bahwa saya membuang-buang waktu demi rumah ini karena saya menyukainya walaupun itu lama, karena rumah ini bukan rumah biasa”
Impresi pertama Pak Mar saat bertemu dengan rumah ini terasa kuat menurutnya. Itulah sebabnya dia merasa ditakdirkan untuk memiliki rumah tersebut. Itu juga menjadi ikatan awal antara pohon kelapa dengan Pak Mar. Pada percakapan awal, Pak Mar sengaja menggunakan kata “saya” dibandingkan dengan “aku” untuk menunjukan kesopanan terhadap “teman baru”, sebelum mereka menjadi sangat akrab seperti sekarang.
***
Pohon kelapa itu bukan hanya menjadi teman beliau, tetapi juga ia adalah tempat berbagi suka duka beliau. Semisal saja, dia pernah bercerita bagaimana ia bertemu dengan istrinya sekarang, Bu Wahyuni. Dia tidak hanya membahas ini sesekali, tetapi berkali-kali sampai pohon kelapa pun bosan olehnya.
“Pohon kelapa tua, pernahkah kamu melihat istriku? Aku menemuinya pertama kali saat hendak pergi ke salah satu kota. Menurutku dia lebih cantik daripada Marilyn Monroe ataupun perempuan lain yang ada di permukaan bumi. Senyuman manis dengan gigi gingsulnya dan juga tahi lalat di dekat matanya sangat meneduhkan. Aku pernah berkeliling melihat pantai, laut, dan samudra, tetapi tidak ada yang lebih indah dari gigi gingsul milik dia”
“…..,” jawab pohon kelapa seolah-olah heran terhadap perkataannya, apakah dia baru saja meminum kopi atau baru saja meminum narkoba.
“Aku beri tahu kamu, pohon kelapa tua. Aku jamin kamu tidak akan pernah menemukan seseorang yang sama dengan istriku. Mungkin menurutmu aku berlebihan, tetapi kata orang-orang, kalau kita jatuh cinta kita jadi suka melebih-lebihkan sesuatu.”
***
Di momen-momen tertentu, Pak Mar yang walaupun menurut istrinya adalah pengelana sejati dan tidak takut dengan samudra, ia juga menangis dihadapan “temannya” itu. Pernah suatu ketika saat anaknya divonis dokter mengalami penyakit lupus, sedangkan ia pergi meninggalkan keluarganya untuk pekerjaannya, ia menangis karena tidak bisa menemani anaknya. Ia pernah bercerita kepada pohon kelapa saat kembali dari pekerjaannya bahwasanya ia merasa menjadi ayah yang gagal bagi keluarganya.
“Pohon tua, aku selalu berpikir bahwa aku adalah ayah yang gagal. Aku tidak bisa menemani anakku saat menderita penyakit lupus. Menurut dokter, penyakit itu tidak bisa disembuhkan dan anakku meninggal pada umur yang masih belia, lima tahun. Aku tidak punya waktu banyak yang dihabiskan dengan anakku. Aku tidak bisa membahagiakannya. Umur yang masih belia dengan penderitaan yang luar biasa. Aku merasa bersalah.”
“….,” jawab pohon tua sambil menunduk melihat Pak Marinir sang pengelana dan tidak takut dengan samudra itu menangis. Seolah-olah ikut berbelasungkawa atas anaknya yang telah meninggal.
Namun, suatu ketika pohon kelapa itu semakin merunduk karena tidak kuat menahan guncangan angin besar, mungkin juga karena pohon tersebut sudah terlalu tua. Pohon kelapa itu menghalangi rumah cantiknya Pak Mar sehingga perlu ditebang. Pak Mar yang melihat itu bersedih. Hubungan Pak Mar dengan pohon kelapa tua sudah terjalin cukup lama. Pohon tua tersebut mengingat setiap kejadian yang menimpa hidup keluarganya Pak Mar, belum lagi Pak Mar selalu menganggap bahwa pohon kelapa ini istimewa. Setiap kejadian yang Pak Mar lalui tersimpan rapi di memori pohon kelapa tersebut. Namun, kini tidak ada lagi yang mendengarkan cerita-cerita Pak Mar dan keluarganya.
Selesai
Penyunting: Al Ninantari Dimarzio Ananto
Beri Balasan