KEBEBASAN BEREKSPRESI: STUDI KASUS UU ITE DAN DAMPAKNYA TERHADAP DEMOKRASI DI INDONESIA

Oleh: Aulia Thaariq Akbar
    
    Deklarasi Hak Asasi Manusia memuat rumusan
yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan
untuk mempunyai dan mengeluarkan pendapat;
dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa
intervensi, dapat mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat
dengan cara seperti
apapun dengan baik memandang batas-batas. Diakui dan dijaminnya hak
atas kebebasan berekspresi dan berpendapat senantiasa memberikan pengawasan dan kendali oleh masyarakat umum untuk
proses demokratisasi dalam suatu
negara berlangsung dan juga kepada jalannya roda pemerintahan atau public control and direction. Dewasa ini, perkembangan teknologi yang semakin
pesat menjadi sebuah keuntungan maupun kelemahan
dalam proses pengimplementasian kebebasan berekspresi maupun berpendapat
di dalam suatu masyarakat (Nurlatifah, 2018).
    
    Kemajuan teknologi menjadi sangat penting bagi kehidupan
suatu individu di masyarakat, hal tersebut
disebabkan hampir semua kebutuhan atau keperluan dalam kehidupan tidak terlepas
dari sesuatu yang dinamakan teknologi ini. Seiring berjalannya waktu, teknologi-teknologi yang sekarang ini beredar luas di masyarakat
tidak lagi menjadi sebuah hal yang istimewa karena harganya yang semakin murah dibandingkan dengan kemampuan
kerjanya. Dengan demikian, kebutuhan akan teknologi jaringan
semakin meningkat sebab harganya yang dapat dijangkau
oleh kalangan luas banyak dicari guna memenuhi kebutuhan kehidupan
mereka (Irawan, 2016).

       Teknologi yang sekarang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup ini memunculkan suatu realitas
baru yang dinamakan dunia maya. Pada kehidupan sekarang ini, dunia maya
memiliki segudang dampak positif yang
ditawarkan, seperti mendapatkan informasi dari berbagai dunia secara mudah dan cepat, transaksi jual
beli secara daring yang memudahkan kita tanpa perlu mengeluarkan tenaga untuk
pergi ke toko dengan maksud
membeli sesuatu, sebaliknya, bagi penjual juga tidak perlu ruang fisik untuk menjual barang dagangannya, menambah
relasi pertemanan yang luas,
meningkatkan kreatifitas manusia, mengekspresikan pendapat, dan masih banyak lainnya.

    Perkembangan teknologi juga menunjang untuk proses demokratisasi yaitu salah satunya
kebebasan berekspresi. Teknologi
memecahkan realitifitas antara konsep ruang dan waktu, semua orang sekarang bebas dapat berkomunikasi hingga menyuarakan apa yang
dirasakan dalam berbagai bentuk
dalam media sosial. Media baru, seperti media sosial memiliki karakter yang berbeda dengan media-media konvensional terdahulu seperti media cetak dan media penyiaran. Media sosial lebih memiliki interaktivitas, multimediality, fleksibilitas, dan konvergensi dibandingkan media-media kuno
(Nurlatifah, 2018).

    Pemerintah Indonesia menghadirkan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (selanjutnya ditulis UU ITE) sebagai payung hukum dengan maksud sebagai bentuk regulasi yang dibuat untuk melindungi berbagai
macam aktivitas di internet dari ancaman-ancaman
cyber crime atau kejahatan siber
(Ikramina, 2017). Namun, UU ITE tidak sekadar
semata-mata untuk melindungi atas tindakan cyber
crime
, lebih dari itu UU ITE digagas oleh
pemerintah dengan tujuan mengatur kehidupan
di dunia maya yang sarat akan kebebasan
berpendapat agar dapat lebih bertanggung jawab. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Wilhelm (2003)
dalam bukunya Demokrasi di Era Digital,
negara yang telah menempatkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahannya wajib menjamin kebebasan
masyarakat dalam hal menyampaikan
pendapat atau aspirasi dan melakukan diskusi maupun debat pada ruang publik ataupun ruang maya.

    Selaras dengan yang telah disampaikan oleh Wilhelm, menurut
Bertens pada bukunya yang berjudul Etika, menjelaskan bahwa kebebasan
haruslah dengan didasari tanggung jawab karena
kebebasan seseorang dibatasi dengan kebebasan orang lain (Bertens,
2013). Dengan kata lain, seseorang harus bertanggung jawab atas perbuatan
yang telah dilakukan
dengan segala konsekuensinya, karena kebebasan tanpa moralitas memungkinkan untuk merusak stabilitas tatanan kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, demi menjaga
keseimbangan kehidupan dalam masyarakat, UU ITE hadir untuk memastikan agar masyarakat Indonesia
tetap bertanggung jawab atas
pendapat yang mereka sampaikan pada dunia maya melalui media sosial. Pada tulisan ini akan lebih berfokus kepada UU ITE yang menjadi
sebuah ancaman bagi kebebasan berpendapat yang merupakan landasan
praktik demi mewujudkan demokrasi di Indonesia (Nasution, 2020).

    Media sosial yang merupakan sebuah produk hasil
dari kecanggihan teknologi kini memberikan kebebasan
masyarakat untuk menyampaikan pendapat atau sekadar mengekspresikan dirinya. Namun, di sisi lain pengguna media sosial
kini memiliki ancaman berupa UU ITE yang sering kali dianggap mengawasi
sekaligus membatasi kebebasan
berpendapat. Pasalnya, di dalam undang-undang tersebut masih banyak pasal
karet yang sewaktu-waktu dapat disalahgunakan
oleh pihak tertentu demi membungkam orang yang
dianggap sebagai musuhnya. Banyaknya orang
yang terjerat akibat pasal karet tersebut menjadi bukti bahwa UU ITE menjadi
sebuah ancaman terhadap demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Hal tersebut didukung
dengan data yang dikeluarkan oleh id.safenet.or.id sebanyak
325 orang terjerat
UU ITE (periode Agustus 2008–April 2020), diantaranya 241 kasus karena
mengkritik otoritas maupun pemerintah,
82 kasus akibat tuduhan membenci ataupun menghina pemerintah (id.safenet.or.id, 2021).

    Banyaknya kasus kebebasan berpendapat di media sosial
akibat terjerat UU ITE dapat dijadikan indikator
sebagai kualitas demokrasi. Seakan melenceng dari tujuan awal dibentuknya UU
ITE ini, undang-undang yang
seharusnya melindungi dan menjamin hak berpendapat masyarakat di dunia maya, justru kini menjadi bumerang
untuk menciderai kebebasan berpendapat itu sendiri. Pasal-pasal karet yang kian hari menjadi bahan hangat pembicaraan oleh publik, tidak lagi menjadi
penjaga keseimbangan kehidupan dunia maya, tetapi dianggap hanya alat semata
untuk menjebloskan korbannya ke
jeruji besi. Tak bisa disangkal bahwa kebebasan berpendapat yang telah dijaga selama ini merupakan buah
hasil dari reformasi akibat runtuhnya pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa 32 tahun lamanya. Menurut Marijan
(2010) dalam bukunya Sistem Politik
Indonesia: Konsolidasi Demokrasi
Pasca-Orde Baru,
menjelaskan
bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru kebebasan
berpendapat sangatlah dibatasi bahkan hingga
di taraf pelarangan, hal tersebut merupakan dampak yang harus
dirasakan akibat dari pemerintahan Orde Baru yang otoriter.

    Dengan demikian, menjadi
sebuah tantangan bersama
bahwa apakah keberhasilan
reformasi yang melahirkan kebebasan
berpendapat, dengan adanya UU ITE akankah mengembalikan lagi Indonesia
pada era Orde Baru
yang menganggap kebebasan berpendapat merupakan praktik pemicu konflik sosial
yang berujung pada ketidakstabilan politik (Marijan, 2010). Walaupun demikian,
sudah semestinya dalam pelaksanaanya individu
menggunakan hak kebebasan
berpendapat tetap mengedepankan prinsip penghormatan pada hak orang lain
dan tanggung jawab, karena pada
hakikatnya kualitas demokratisasi dapat berkembang dengan baik apabila pilarnya —yang merupakan
masyarakat sipil— dapat menyampaikan pendapatnya dengan mempertimbangkan
dahulu nalar dan emosinya sehingga pendapat yang disampaikan bersifat rasional dan tidak merugikan hak-hak milik
orang lain.

Editor: Umi Syarifah