Kelebihan tidak selalu membuat kita menjadi kuat, tetapi bisa menjadi titik terlemah dalam diri kita. Begitu pula dengan Indonesia, negara dengan penduduk sebanyak 261,1 juta jiwa merupakan potensi hebat negara ini yang justru melemahkan diri sendiri. Berdasarkan data menurut databoks.katadata.co.id tentang penggunaan media sosial tahun 2024 jumlah total pengguna mencapai 191 juta pengguna atau setara dengan 73,7% dari populasi, sedangkan jumlah pengguna aktif mencapai 167 juta pengguna atau setara dengan 64,3% dari populasi, lalu untuk penetrasi Internet sebanyak 242 juta pengguna atau setara dengan 93,4% dari populasi di Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa sangat banyak dari mereka menghabiskan waktu luangnya hanya untuk berselancar di media sosial, sehingga ketergantungan terhadap media sosial sudah dapat dikatakan menjadi penyakit bagi masyarakat Indonesia.
Media sosial merupakan media online yang mendukung interaksi sosial, dan media sosial menggunakan teknologi berbasis web yang mengubah komunikasi menjadi dialog interaktif. Pemanfaatan media sosial di Indonesia saat ini berkembang pesat. Pengguna media sosial dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang sangat cepat pula. Hal ini dikarenakan karena laju perkembangan teknologi dan informasi dalam bingkai globalisasi yang semakin pesat. Media sosial muncul dalam media baru dan selalu mendapat sambutan yang hangat dari setiap pengguna Internet. Media sosial membuat kita dapat bertukar informasi dengan semua orang yang kita senangi, juga dapat memberikan pesan secara efektif, hanya dengan bermodalkan gawai dan kuota internet saja kita dapat berinteraksi dengan orang orang yang kita kenal tanpa harus berjumpa secara langsung. Hal itulah yang menjadi salah satu poin penting bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk mau beralih kepada media sosial, disamping juga halnya karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, sehingga menambah daya tarik kepada seluruh masyarakat untuk menggunakan media sosial.
Keberadaan internet sebagai salah satu faktor penting dalam media sosial juga mempengaruhi berita yang akan dibagikan. Sebagai media online, internet membuat informasi yang beredar di media sosial belum terverifikasi benar atau tidak. Hanya dalam hitungan detik, suatu informasi sudah bisa langsung tersebar dan dinikmati oleh pengguna internet melalui media sosial. Mulai dari ratusan bahkan ribuan informasi disebar setiap harinya. Belum lagi berbagai macam fitur yang ditawarkan oleh media sosial seperti like, coment, share, dan hashtag yang membuat media sosial sangat berpengaruh dalam membaca minat dan konsumsi informasi khalayak umum . Hal ini tentu membuat berbagai macam media sosial memiliki daya tarik yang berbeda beda, tergantung media sosial apa yang ingin dipakai oleh penggunanya. Melalui fitur-fitur tersebut, berita dan informasi dari suatu peristiwa dapat dibagikan secara viral.
Berita dan informasi yang telah tersebar dengan begitu cepatnya oleh media sosial membuat fokus masyarakat Indonesia beralih, mereka rela menghabiskan waktu pentingnya untuk beberapa menit melihat informasi yang sedang viral. Pengaruh dari media sosial membuat orang yang memakainya merasakan kebebasan dan kemerdekaan untuk mengekspresikan dirinya. Ada yang berekspresi seolah olah ia ikut merasakan peristiwa yang terjadi, ada yang mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi, juga bahkan ada yang tidak peduli dengan peristiwa yang terjadi. Kebebasan yang dirasakan oleh setiap pengguna media sosial adalah hal yang mutlak terjadi. Artinya, pengguna media sosial bebas melakukan apa saja untuk berekspresi dengan tidak diganggu oleh orang lain. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan ialah dengan kebebasan tersebut mereka juga mendapatkan kebebasan kepada media sosial untuk digunakan secara positif atau negatif. Fenomena tersebut di satu sisi dapat menjadi potensi yang menguntungkan dan di sisi lainnya dapat juga menjadi sebuah ancaman.
Sisi positif yang dapat diambil dari media sosial tentu banyak, diantaranya memudahkan kita untuk berinteraksi dengan banyak orang, memperluas koneksi jaringan yang luas dengan media sosial, tidak terhalang jarak dan waktu, dan yang paling penting ialah penyebaran informasi dapat berlangsung secara cepat dan tepat membuat media sosial semakin digemari oleh masyarakat. Namun, satu hal yang menjadi permasalahan ialah apakah informasi yang disebar itu sudah sesuai dengan realita di lapangan? Maka sisi negatif dari media sosial disini muncul untuk membuat masyarakat pengguna media sosial seakan akan langsung percaya dan memvalidasi informasi yang telah dibagikan. Hal ini disebabkan karena pengguna yang membagikan informasi tidak mencari informasi yang dibagikannya secara lengkap, sehingga ketika ia mengetahui ada informasi yang sedang viral, maka secara cepat ia langsung bertindak untuk mengunggah informasi tersebut tanpa memahami dengan sebenarnya tentang informasi yang dibagikannya. Faktor lain yang menjadi sebab seseorang membagikan informasi yang tidak akurat adalah karena bias konfirmasi.
Bias konfirmasi mengacu pada kecenderungan mencari informasi yang hanya membenarkan apa yang kita percayai, menerima fakta yang hanya memperkuat penjelasan yang kita sukai, dan menolak data yang menentang sesuatu yang sudah kita terima sebagai kebenaran. Bias konfirmasi adalah tantangan yang sangat sulit untuk dihindari, karena kita hanya fokus ke data yang mengonfirmasi ketakutan kita atau mendukung harapan kita. Bias informasi berperan karena orang harus bergantung pada apa yang sudah diketahui. Sehingga realita yang sebenaranya terjadi bukan menjadi kebenaran informasi bagi semua orang. Dalam buku the death of expertise yang ditulis oleh Tom Nichols, beliau mengatakan “Melakukan sebelum mengetahui adalah masalah umum dalam mempersiapkan penelitian yang detail”. Biasanya orang yang mengalami bias konfirmasi tidak dapat menghadapi setiap persoalan seakan akan pikiran mereka adalah kertas kosong.
Jika kita korelasikan dengan penyebaran informasi yang begitu cepat melalui media sosial maka bias konfirmasi adalah faktor yang membuat pengguna yang membagikan informasi secara tidak lengkap, ia hanya membagikan informasi yang sesuai dengan kebenarannya sendiri, apa yang ia percayai, dan yang mendukung penjelasannya saja, sehingga menolak seluruh penjelasan, data, dan informasi yang menentang kebenaran yang sudah ia terima. Ditambah penggiringan opini dari pengguna tersebut membuat kebenarannya hanya bersifat subjektif. Opini pendukung yang dibuat berdasarkan realita yang tidak sepenuhnya terjadi membuat kebenarannya menjadi semakin kuat, sehingga membuat informasi tersebut sesuai dengan realita yang terjadi di lapangan, dan membuat informasi tersebut mutlak kebenarannya. Hal ini tentu disebabkan karena satu orang pengguna yang merasa bahwa informasi ini sesuai dengan kondisinya saat ini maka ia langsung mengabaikan kebenaran yang sebenarnya dari informasi itu, ia menolak seluruh kejadian yang benar benar terjadi pada informasi, dan akhirnya ia membagikan informasi itu ke media sosial tanpa memahami keseluruhan realita yang terjadi.
Maka, dengan cepatnya informasi yang beredar membuat para pembaca mendapatkan informasi yang tidak lengkap. Artinya informasi itu hanya benar menurut pengguna yang membagikannya. Apabila pembaca yang juga memiliki kondisi dan situasi yang sesuai dengan informasi tersebut, maka informasi itu pun semakin valid kebenarannya di media sosial. Sehingga mengakibatkan bias konfirmasi yang bercabang terus menerus ke orang orang yang merasa informasi tersebut sesuai dengan kondisi dirinya. Akhirnya informasi yang sebenar benarnya terjadi di lapangan telah hilang dan tidak akan pernah dimunculkan lagi. Algoritma media sosial pasti akan terus memunculkan informasi yang kebenarannya mengalami bias konfirmasi oleh seluruh penggunanya.
Sebagai manusia yang menyandang status mahasiswa, sudah seharusnya kita dapat mengetahui mana informasi yang akurat dan mana informasi yang tidak. Mengingat mahasiswa adalah kaum intelektual, yang harus menjadikan literasi sebagai senjata dalam memahami konteks informasi dan memiliki kualitas dalam menyeleksi informasi yang telah beredar. Namun, dengan keadaan sekarang ini kita mengetahui bahwasanya masih banyak dari kalangan mahasiswa yang tidak mau membaca informasi secara utuh, hanya dengan membaca judulnya saja sudah pintar untuk memahami dan menyimpulkan informasi tersebut. Bahkan yang lebih parah lagi banyak dari mahasiswa yang tidak pernah membaca suatu informasi akan tetapi dengan gagahnya bersikap layaknya seorang pakar ketika menyampaikan informasi tersebut.
Maka dari itu nyawa dari mahasiswa ialah membaca, menganalisis, lalu menyimpulkan. Mari kita kembali kepada kodrat kita sebagai mahasiswa, yang sudah seharusnya menjadikan literasi sebagai alat untuk dapat melihat situasi dan kondisi yang terjadi di negara kita Indonesia. Dengan beragam perbedaan yang terjadi di era disrupsi sekarang, tentu literasi harus semakin ditingkatkan agar mendapatkan kualitas yang baik dalam mencerna informasi yang beragam. Oleh karena itu apabila tingkat literasi kita ditingkatkan maka informasi informasi yang beredar di media sosial dapat kita analisis kebenarannya sehingga tidak terjadi penyebaran informasi yang gantung atau tidak sesuai dengan kebenaran yang ada dilapangan. Ketika semakin banyak pengguna media sosial yang dapat memahami informasi secara faktual, maka algoritma media sosial akan memunculkan berita berita yang sesuai dengan kenyataannya, sehingga tidak ada lagi yang namanya bias konfirmasi dan akhirnya media sosial tidak lagi menjadi pengubur, melainkan menjadi penyubur bagi realita.
Penulis: Satria Faldhi Nasution
REFERENSI
Daniel, A. (2024, Mei 29). Ini Data Statistik Penggunaan Media Sosial Masyarakat Indonesia Tahun 2024. Radio Republik Indonesia.co.id https://www.rri.co.id/iptek/721570/ini-data-statistik-penggunaan-media-sosial-masyarakat-indonesia-tahun-2024
Hidaya, N., Qalby, N., Alaydrus, S. S., Darmayanti, A., & Salsabila, A. P. (2019). Pengaruh Media Sosial Terhadap Penyebaran Hoax Oleh Digital Native. Makassar: Universitas Muslim Indonesia.
Nichols, T. (2022). Matinya kepakaran. Kepustakaan Populer Gramedia.
Beri Balasan