Selama Itu Besok

Ilustrasi oleh freepik

Setiap pagi lahir dari warna yang sama,
seperti dunia lupa menambahkan nada baru pada langitnya.
Langkahku mengulang dirinya sendiri
jejak yang kubuat hari ini masih bayangan dari yang kemarin.

Aku hidup dalam lingkaran yang rapi,
terlalu rapi sampai rasanya seperti sangkar.
Nilai-nilai baik kupasang seperti topeng,
tapi di baliknya, aku kosong seperti halaman buku yang belum ditulis.

Ada hari-hari ketika muak datang tanpa mengetuk,
menyergap dadaku seperti kabut yang beratnya melebihi tubuhku sendiri.
Ingin pergi, ingin menjadi siapa saja selain aku,
tapi dunia tetap memelukku dengan tangan yang tak ingin kulepaskan.

Aku mencari, bahkan untuk alasan sekecil debu
tanda, celah, bisik, atau apa pun yang membuat napas tidak sia-sia.
Meski sering gagal, ada sesuatu yang memaksaku bertahan:
entah harapan, entah keras kepala, entah hanya keinginan untuk melihat esok.

Dan perlahan aku mengerti,
bahwa hidup tidak butuh puncak untuk bisa dijalani,
kadang ia hanya menuntut satu langkah kecil yang tidak menyerah,
kecil, tapi cukup untuk menjaga api yang hampir padam.

Maka aku berjalan lagi, meski ragu, meski takut, meski letih,
sebab di ujung semua ini
selama ada hari besok
aku masih bisa menjadi sesuatu yang lebih dari hari ini.

Nama saya Gabrielle Esther, seorang pelajar SMA di Sekolah Kristen Calvin yang berasal dari Jakarta Saya tertarik untuk berbagi karya sastra, salah satunya puisi ini, dengan pembaca Kabar Basic.