PEMIKIRAN DESPERADO DARI LINGKUNGAN MASYARAKAT INDONESIA DALAM PIDANA MATI YANG BERKONTRADIKSI DENGAN HAK UNTUK HIDUP

Oleh: Sharon Rose Josephine

    Komplikasi hukum pidana mati pada negara Indonesia masih menjadi salah satu kondisi muncul banyaknya pro dan kontra atas pemahaman Hak Asasi Manusia (HAM), yang dimiliki oleh pemerintah, komunitas, organisasi, atau masyarakat. Pidana mati masih digolongkan sebagai sanksi berat yang memberikan dampak jera dan dianggap mampu untuk menahan tingkat kejahatan atau kriminalitas yang sangat tinggi, tetapi dalam fakta lapangan pada negara Indonesia, hukum pidana mati tidak menurunkan secara maksimum terjadinya tindakan yang telah digugat secara hukum tertulis dan tidak tertulis, dikarenakan banyak oknum yang bisa membeli hukum serta tidak takut pada hukum tersebut, membungkam kebenaran, dan merusak tatanan hukum dari suatu negara atau wilayah tersebut yang membangun tingkat perasaan desperado dari lingkungan masyarakat dalam mengimplementasikan praktik pidana hukuman mati. Uraian tersebut menunjukan bahwa keberadaan pidana hukuman mati dalam hukum pidana sangatlah khusus, sehingga perlu dikritisi secara seksama.

    Munculnya pemikiran
atau perasaan desperado dari
lingkungan masyarakat
Indonesia disebabkan terhadap situasi
di mana tindak kejahatan yang terus
berulang dan sulit diselesaikan dari
jangka waktu yang sangat panjang, karena itu masyarakat mengambil cara yang sensibel, singkat, dan cepat dengan 
mengangkat isu tindak pidana
mati. Data pendukung yang saya ambil dari Dataindonesia.id
dengan judul “Vonis Hukuman Mati di Indonesia Melonjak pada
tahun 2021” memaparkan betapa banyak tingkat kasus vonis hukuman mati di negara Indonesia
seperti
gambar diagram dan tabel dibawah ini:

    Kasus di atas
sangatlah bertolak belakang dari konsep instrumen hukum nasional
yang menjadi tombak ukur hukum atas adanya hak asasi manusia untuk memiliki hak untuk hidup,
seperti pemaparan
Undang-Undang
dibawah ini, diantaranya:
1)    Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945:
  • “Setiap orang berhak untuk hidup serta
    berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” [Pasal 28A].
  • “Setiap
    anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
    serta berhak
    atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” [Pasal 28B ayat
    (2)].
  • “Setiap orang berhak
    hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan
    mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” [Pasal 28H ayat (1)].
  • “Hak
    untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
    hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
    diperbudak, hak untuk diakui
    sebagai
    pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
    hukum yang
    berlaku
    surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” [Pasal 
    28I ayat (1)].
2)    Undang- Undang No.39 Tahun
1999:
  • “Hak untuk hidup, hak untuk tidak
    disiksa, hak kebebasan pribadi,
    pikiran
    dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
    hak untuk diakui
    sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum,
    dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
    dan oleh siapapun” [Pasal 4].
  • “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya” [Pasal
    9 ayat (1)].
  • “Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan     meningkatkan  taraf kehidupannya” [Pasal 53 ayat
    (3)].
    Menyimpulkan dari sisi hak asasi manusia tindak
pidana hukuman mati
dinilai
perlu dikritisi dan ditegakan dalam keadilan sebagai
langkah preventif dalam
menaungi keberadaan hak asasi manusia.
Adanya instrumen hukum nasional tersebut menjadikan pro dan kontra dalam
lingkungan masyarakat, dikarenakan
adanya
pengimplementasian hukum dari sisi lain yang masih menerapkan tindak
pidana mati dalam sebuah Undang-Undang, diantaranya; KUHP, Pengadilan HAM, Tindak Pidana
Terorisme, Tindak Pidana Korupsi, tentang Psikotropika, tentang
Narkoba,
dan tentang Senjata Api.
    Serta lembaga peradilan
Mahkamah Konstitusi juga memberikan dukungan terhadap keberadaan hukuman mati. Tetapi hal yang perlu diingat hukuman
mati diberikan jika sudah melewati batas kasus hukum khusus
yang sangat
besar dan berfungsi sebagai
the last
resort.
Hal tersebut terjadi dikarenakan
masih adanya HAM yang berjalan di negara Indonesia. Cara pemerintah untuk menekan
pemikiran
desperado dari masyarakat dalam sanksi hukuman mati yang berkontradiksi dengan hak hidup yang terkait dengan adanya hak asasi
manusia
antara lain:
  1. Memberikan pemahaman dalam konsep terbuka
    bahwa hukuman mati bukanlah cara yang sangat
    efektif, dikarenakan tindak
    hukuman mati 
    disebabkan oleh kejahatan yang memiliki sistem berantai
    atau pelaku
    berjenjang, jika secara gegabah
    dalam menjalankan pidana
    tersebut, maka akan menimbulkan dampak
    jangka panjang dikarenakan saksi atau pelaku
    yang telah terdakwa telah
    dibunuh. Sebagai contoh;
    kasus
    korupsi dan
    narkotika di Indonesia
    meskipun telah dilegalkan pada sistem hukum,

    masih banyak sekali
    kejanggalan dari hal tersebut yang bisa dibilang
    salah satu masalah utama dari negara Indonesia.
  2. Penyuluhan
    atau menyebarluaskan informasi mengenai HAM terhadap
    masyarakat dengan mendukung penegakan HAM yang bersifat kritis dan
    logis. Menerapkan sistem kepastian hukum dan meningkatkan  pengembalian aset yang telah diambil
    pelaku kejahatan kepada pemerintah dan masyarakat serta pemberian sanksi sosial.
  3. Memberikan
    gambaran kepada masyarakat bahwa HAM bukan sekedar
    untuk kepuasaan sementara
    dalam memberatas kejahatan
    dan pemidanaan, tetapi kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang.
  4. Sanksi serta
    denda yang ditanggung secara besar terhadap
    pelaku.
  5. Memberikan informasi
    lebih kepada masyarakat
    tentang
    hukuman mati
    tidak hanya melanggar HAM, tetapi juga memberikan dampak buruk lainnya.
  Pidana mati merupakan
salah satu bagian dari instrumen
hukum yang memiliki karakteristik dalam mengimplementasikannya, dikarenakan sangat bertentangan
dengan adanya hak asasi manusia yang merujuk kepada hak untuk hidup yang tidak bisa diganggu gugat oleh
siapapun. Meskipun tindak pidana mati sangat
diinginkan oleh sebagian besar masyarakat yang
telah lelah dan muak atas kejahatan
yang berlangsung secara panjang,
perlu ditinjau kembali
tidak selayaknya  pidana mati tersebut secara cepat dijalankan. Hak asasi manusia harus tetap berjalan dengan seiringnya hukum yang ada dalam memperhatikan pola masyarakat, mempertimbangkan pelaku kejahatan secara khusus yang akan memberikan dampak pada masyarakat pada
jangka panjang, dan mengangkat nilai bahwa HAM bukan sekedar
keadilan semu atau pemuas balas dendam bagi 
pemidanaan hukum tetapi kesejahteraan secara keseluruhan masyarakat Indonesia.

Editor: Umi Syarifah