

“Mati kau! Dasar penyihir jahanam!”
Sukinah harus rela menahan rasa sakit yang menggerogoti sekujur tubuhnya ketika ia lagi-lagi dipaksa untuk menyeret langkah kakinya menelusuri jalan penuh batuan di bawah teriknya matahari. Ia tidak bisa mengingat berapa lama waktu yang telah berlalu sejak peristiwa penangkapan itu terjadi. Sekelompok warga desa tiba-tiba menerobos masuk ke rumahnya sambil melayangkan beragam tuduhan tak berdasar mengenai dirinya yang dianggap sebagai pembawa pengaruh buruk kepada anak-anak di desa tempat tinggal mereka.
Sukinah bahkan masih tidak mengerti mengapa warga desa menatap ia dan belasan temannya dengan begitu bengis seolah ingin menguliti mereka hidup-hidup. Ia lupa akan apa yang terjadi setelah penggerebekan itu. Yang jelas kini mereka harus menerima nasib dipermalukan di hadapan seluruh penduduk desa dengan julukan seperti “penyihir” atau “pembawa malapetaka”. Bahkan sepanjang perjalanan ada banyak orang yang menyumpah serapahi mereka untuk segera mati.
Sukinah tidak yakin dari mana asal rasa sakit itu. Ia sungguh percaya bahwa hujaman batu kerikil tidak lebih menyakitkan dari tatapan dan ujaran penuh kebencian warga desa yang dulu kerap kali mengelu-elukan namanya. Bak ditusuk ribuan duri tak kasat mata, hati Sukinah terasa nyeri tak terkira. Ia hanya bisa menundukkan kepala sambil memikirkan apa kesalahan yang telah diperbuatnya hingga harus menerima penghinaan sedemikian rupa.
“Lepaskan! Sukinah … anakku – dia tidak bersalah!”
Perempuan muda itu bahkan telah menulikan telinga sejak lama ketika ibunya yang renta meraung-raung, memanggil namanya. Beruntung beberapa kerabat dekatnya secara sukarela menahan histeria wanita malang yang tengah menangisi nasib buruk yang menimpa anaknya. Meski samar, Sukinah masih bisa mendengar beragam sumpah serapah yang meluncur dengan mulus dari wajah keriputnya yang berlinang air mata. Merasa tidak tega, Sukinah akhirnya mengalihkan pandangannya. Ke mana saja asal ia tidak perlu bertatap muka dengan wanita yang telah melahirkannya.
Seketika pandangannya tanpa sengaja bersirobok dengan sosok yang belum lama ini ia kenal sebagai seorang pemimpin yang ramah. Yang senantiasa mengayomi rakyat, begitu ia kira pada awalnya. Tanpa pernah menyangka kalau hari penghakiman ini tiba lantaran fitnah keji dari mulut jahanam sang pria paruh baya. Dalam sekelebatan mata, Sukinah bahkan bisa melihat dengan jelas senyum culas pria itu yang seolah mengejeknya.
Masih dengan mempertahankan ekspresi penuh kemenangan, pria jelmaan iblis itu perlahan mendekat kepada Sukinah. Bersama dengan semakin meriahnya sorakan warga seolah mereka sudah menantikan pertemuan keduanya. Sukinah berusaha menahan pekikan agar tidak meluncur begitu saja dari mulutnya ketika pria itu menarik paksa rambut panjangnya yang tak lagi berbentuk. Ia langsung merasa mual ketika wajah bengis sang jelmaan iblis begitu dekat dengannya.
Iblis itu berbisik, “Kau tidak akan pernah bisa menggulingkan jabatan yang telah kupegang selama dua periode ini, Sukinah.” Tawa mengejeknya langsung memenuhi gendang telinga. “Kau kelewat naif kalau berpikir bahwa warga akan beralih mendukungmu karena gagasan-gagasan bodohmu itu.”
Sukinah seketika membelalakkan mata, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Pikirannya dengan cepat memproses informasi tersebut hingga berhasil tiba pada satu kesimpulan di balik alasan tersebar luasnya fitnah keji tentang ia dan organisasi pemuda yang ada di bawah naungannya kepada masyarakat setempat.
“Betapa sempit akal dan pikiranmu itu, tua bangka! Siapa yang bilang kami bertindak demikian hanya untuk menggulingkanmu dari singgasana? Misi kami semua lebih besar dari itu,” pekik Sukinah berapi-api. Amarah tampaknya telah menguasai diri tanpa bisa ia bendung lagi. “Memang penting untuk punya pemimpin yang sadar soal pentingnya pendidikan agar pikirannya tidak melulu dibutakan oleh kekuasaan.”
Mendengar caci maki dari yang lebih muda, seketika air muka pria itu berubah semakin sadis. Tanpa segan, ia melayangkan tangan kanannya hingga mendarat dengan telak pada pipi kanan Sukinah. Menyisakan suara yang begitu kuat hingga memecah udara dan keriuhan di sekelilingnya. Kalian salah kalau mengira pukulan itu akan jadi yang satu-satunya, sebab ia kembali melancarkan serangan mutlak pada musuhnya yang tak lagi bisa mengelak apalagi melawan mengingat kondisi kedua tangan yang masih terikat dengan kuat.
Di bawah usaha untuk mempertahankan kesadarannya, Sukinah semakin bertanya-tanya. Apa yang salah dari gagasan naif kaum muda seperti mereka? Apakah cita-cita untuk membimbing anak-anak untuk lebih menikmati proses menimba ilmu pengetahuan adalah hal yang hina? Sehina itukah hingga ia dan kawan-kawan harus diperlakukan seperti pendosa yang menistakan agama?
“Bagaimana kabar Bapak dan warga desa yang lain? Sudah lama sejak terakhir kali kami pulang ke sini, tapi tidak banyak yang berubah rupanya.”
Barangkali semua kemalangan ini bermula ketika ia dan teman-temannya – yang telah menempuh masa studi di perguruan tinggi kota sebelah – kembali ke kampung halaman mereka. Awalnya ia sama sekali tak menaruh rasa curiga kepada pria bernama Pak Ono itu yang menyambut mereka dengan tangan terbuka dan senyum sumringah. Berbungalah hati belasan pemuda-pemudi itu yang sudah lama tidak pulang ke desa ini. Mereka rasa misi dan ambisi yang dibawa sejak masih mengenyam bangku kuliah bisa dengan mudah mereka terapkan di sini.
Misi untuk mempermudah akses masyarakat, utamanya anak-anak, terhadap pendidikan. Agar semua orang di desa bisa memiliki kesempatan yang sama untuk terbebas dari kemiskinan struktural yang telah menjadi momok dalam masyarakat. Kebodohan akibat kemiskinan struktural yang membelenggu anak-anak di sana layaknya lingkaran setan. Harus ada kesadaran dan kemauan yang kuat untuk memutusnya demi masyarakat yang lebih berwawasan dan sejahtera.
“Begini, Pak Ono. Kami bermaksud untuk mengusulkan beberapa program pembangunan yang mungkin bisa diterapkan di desa. Terlebih setelah kami amati fasilitas penunjang pendidikan di sini masih sangat kurang. Apa Pak Ono bersedia untuk mendiskusikan hal ini dengan kami?”
Diskusi panjang mereka pun dimulai. Entah berapa lama Sukinah dan teman-temannya bercokol di rumah kepala desa sampai-sampai menyisakan cerukan bekas duduk yang dalam ketika begitu mereka beranjak dari sofa pada sore menuju petang di hari yang sama. Meski diskusi sempat berjalan dengan alot dan membuat tegang otot, tetapi mereka sedikit lega setelah menyampaikan aspirasinya kepada salah seorang pejabat setempat. Terlebih ketika Pak Ono menjawab permintaan mereka dengan kata-kata:
“Nanti akan saya coba diskusikan dengan perangkat desa yang lain. Terima kasih, Mas-Mas dan Mbak-Mbak sudah mau datang ke rumah Bapak dan menyampaikan aspirasi. Insyaallah, kalau memang sudah disepakati akan segera saya kabari.”
Lain di mulut, lain pula di hati. Sudah berkata demikian imut, bukan berarti Pak Ono menyepakati ide-ide naif dari sekumpulan anak kemarin sore ini. Selagi melepas mereka pulang ke rumah masing-masing, perasaan gundah turut menghinggapi hati. Takut-takut jabatan yang dipegangnya selama 10 tahun ini akan direnggut oleh seorang perempuan bernama Sukinah yang begitu vokal memimpin diskusi sore ini.
Tidak akan kubiarkan siapapun merebut posisi ini, batinnya dalam hati yang penuh rasa dengki. Hingga terbesit ide mengerikan dalam kepala pria yang saat itu belum sepenuhnya menjelma jadi iblis di hadapan warga yang mengenalnya.
Hingga sepekan berlalu, tak kunjung Sukinah jumpai kabar dari para perangkat desa itu. Ia bahkan sampai tak menyadari bahwa kegugupannya itu terpatri dengan jelas pada wajah dengan fitur orientalnya yang khas. Namun ketika ditanya soal apa yang sedang mengganggu pikirannya, gadis itu hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum sekilas sebelum akhirnya melengos pergi. Bagi sebagian orang yang sudah lama mengenal Sukinah, mereka langsung tahu bahwa ada hal yang tengah ia tutup-tutupi.
Salah seorang teman yang sadar akan perubahan suasana hatinya, juga yang kebetulan begitu memahami dirinya, Adel, dengan senang hati menawarkan telinga untuk Sukinah pinjam guna mendengarkan segala keluh kesahnya. “Saya perhatikan akhir-akhir ini kau seperti sedang dilanda masalah. Ada apa, Sukinah?”
Adel yang sudah kelewat hafal dengan perangai Sukinah yang enggan membagi masalahnya lantas menimpali ketika ia melihat rekannya itu hendak menggelengkan kepala lantaran tidak sudi membagi dukanya. “Saya sudah sangat hafal dengan kebiasaanmu. Selalu saja enggan berbagi beban yang menghinggapi pikiran.”
“Jadi, ayo mulai ceritakan.”
Belum sempat Sukinah membuka mulutnya untuk bercerita, serta Adel yang belum sempat menyuarakan penghiburan, tiba-tiba saja mereka dikejutkan dengan kedatangan seorang pegawai kantor desa yang merangkap menjadi tetangganya itu. Sosok pria tambun yang mereka kenal sebagai Pak Budi itu tergopoh-gopoh menghampiri Sukinah dan Adel yang masih tidak mengerti tujuan kehadiran orang penting itu di sini.
“Sukinah, ada kabar baik dari kantor desa. Saran untuk pembangunan perpustakaan desa yang kemarin kalian usulkan sudah disetujui. Kalau memungkinkan, sore hari ini kalian diminta datang ke balai desa untuk sosialisasi ke warga.”
Rasa lega seketika merebak dalam hati keduanya. Mereka saling pandang sebelum akhirnya tertawa lepas, terlampau senang karena kegelisahan mereka selama sepekan ini berujung pada hasil yang baik. Buru-buru Sukinah mengabari teman-temannya agar segera mempersiapkan diri untuk sosialisasi sore ini. Mereka tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan berharga ini untuk mengenalkan masyarakat kepada pintu masuk menuju dunia penuh wawasan dan pengetahuan.
Sebuah perpustakaan pertama di desa mereka yang kelak akan menjadi tempat bagi para generasi muda menimba ilmu pengetahuan di luar sekolah. Dari sini mereka akan membekali diri dengan wawasan soal dunia luar yang belum banyak diketahui sebelumnya.
Selagi mengelabui anak-anak yang masih bau kencur itu dengan menyetujui gagasan naif mereka, Pak Ono mulai bergerilya dengan rencana pamungkasnya. Ia dan akal bulusnya bermaksud untuk mengkudeta anak-anak muda yang dengan berani menginjak-injak daerah kekuasaannya itu. Pria licik itu akan membuat mereka merasakan kepahitan yang telah mereka ciptakan sendiri sebagai pelajaran agar tidak sembarangan menduduki wilayah yang sudah di bawah pengaruhnya selama dua periode ini.
Sudah menjadi perangai buruk Pak Ono untuk senantiasa menebar senyum meski sudah jelas tak menyukai sesuatu ataupun seseorang. Barangkali memang seperti itulah hidup penuh kepalsuan yang ia jalani. Berlagak menjadi kawan padahal ia tak lebih dari musuh dalam selimut yang siap menerkam anak-anak muda itu yang masih terlena dalam buaian kata-kata manisnya.
Hari itu pun akhirnya tiba. Saat di mana perpustakaan desa pertama kali dibuka. Di bawah kepemimpinan Sukinah, mereka mulai menjalankan program pertama yakni kegiatan seminggu membaca satu buku. Awalnya mereka tak muluk-muluk mengharapkan antusiasme dari masyarakat. Namun begitu melihat betapa banyak peserta yang datang di hari ketiga, rasa optimis langsung memenuhi rongga dada mereka. Sebuah awal dari perubahan yang sama sekali tidak pernah mereka duga.
Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan pun berlalu. Hal itu tak membuat semangat masyarakat untuk menimba ilmu surut. Jumlah pengunjung perpustakaan justru semakin membeludak setiap sabtu sore. Bahkan ada satu keluarga yang setia datang tiap akhir pekan, lengkap tanpa meninggalkan satu pun anggota keluarganya. Ayah, ibu, kakak, dan adik selalu datang bersama dengan senyum sumringah.
“Kami sekeluarga senang dengan kehadiran perpustakaan ini. Kami jadi tidak perlu repot-repot pergi ke perpustakaan kota sebelah untuk membaca buku,” tukas seorang kepala keluarga itu saat ditanya mengenai alasannya begitu rutin datang kemari.
“Beruntung sekali rasanya desa ini punya sosok-sosok hebat seperti kalian. Seperti ada yang meniupkan angin segar di dataran yang gersang.” Seorang pria berkalung sorban menjabat tangan salah seorang pustakawan.
Kebahagiaan itu membuncah hingga tak lagi bisa dibendung. Hal itu tergambar jelas dari wajah-wajah cemerlang Sukinah dan kawan-kawan yang tak pernah lelah memberikan pengaruh positif ke masyarakat. Mereka sangat bersyukur lantaran langkah pertama menuju perubahan ini dapat diterima dengan lapang dada oleh warga sekitar.
Akan tetapi, kebahagiaan fana itu berhasil membuat mereka terlena akan bahaya yang ada di depan mata. Persis seperti apa yang Pak Ono dan pendukungnya inginkan. Mereka memulai gerilya untuk menghasut orang-orang yang sering berkunjung ke perpustakaan. Sebagai pembukaan dari serangkaian teror mendatang, mereka berencana menebar rumor yang akan diterbangkan angin bersama biji bunga dandelion.
“Aku dengar anak-anak yang kembali dari kota itu telah melakukan berbagai ritual aneh,” bisik salah seorang simpatisan kepada rekannya dengan suara yang begitu lantang.
Desa itu pada dasarnya tidak terlalu luas. Jadi rumor mengenai ritual aneh dapat tersebar dengan luas layaknya api yang melahap tumpukan jerami di kalangan para orang tua. Pada awalnya, hanya sedikit mereka yang terpengaruh. Namun, lambat laun para orang tua tidak lagi mengunjungi perpustakaan itu. Menyisakan tanda tanya besar pada hati anak-anak yang biasa menemani mereka melaksanakan program belajar rutinan.
Tetapi, hal itu masih belum cukup memuaskan dahaga Pak Ono akan sebuah perpecahan. Maka, ia pun memerintahkan anak buahnya untuk menyulut kembali api itu dengan beberapa jeriken bensin. Ia berkata, “Astaga, ini benar-benar mengerikan. Kau tahu, apa yang baru saja aku dengar? Anak-anak itu ingin menumbalkan anak-anak kecil di desa kita saat ritual aneh mereka besok lusa!”
Fitnah keji itu dengan cepat merebak ke seluruh penjuru desa. Awalnya hanya satu anak yang tidak datang saat jadwal belajar. Lalu lama-kelamaan banyak dari mereka yang menolak hadir di perpustakaan sekalipun sudah dijemput oleh para pustakawan. Beberapa masih bersikap ramah dan menolak datang ke sana dengan baik, namun mayoritas dari mereka bahkan tidak segan untuk bersikap kasar kepada anak-anak muda yang naif itu.
Sukinah dan teman-temannya tidak mampu mendeteksi maupun menyadari perubahan perilaku masyarakat kepada mereka dengan cepat. Siapa yang akan menduga bahwa akan tiba hari di mana mereka akan dihakimi sedemikian keji. Amarah rupanya telah menggerogoti hati dan akal sehat seisi desa hingga berani mengambil langkah main hakim sendiri.
Para warga datang menyerbu kediaman Sukinah sambil membawa-bawa obor dan garpu taman. Begitu beringas seolah ingin membakar belasan anak muda itu hingga habis tak bersisa. Ketika Sukinah membuka mulut untuk meluruskan kesalahpahaman, ia justru diteriaki dengan julukan-julukan kurang menyenangkan.
“Penyihir sialan!”
“Wanita jahanam!”
“Dasar munafik! Berani-beraninya kau menggunakan anak-anak kami untuk tumbal sekte sesatmu itu?”
Mereka sama sekali tak memberinya kesempatan untuk membela dirinya sendiri. Ia harus rela membiarkan tubuh teman-temannya diinjak-injak dan disulut api dengan sedemikian keji. Matanya berkaca-kaca kala melihat Adel yang sekuat tenaga menahan tangisnya ketika seorang menjenggut rambutnya sebelum akhirnya menyeretnya pergi. Para warga yang keburu dibutakan kemurkaan mengikat kedua tangan mereka dengan tali tambang. Memaksanya berjalan beriringan dalam satu barisan, tak jauh beda dengan kawanan sirkus yang tengah dipertontonkan.
“Warga-wargaku sekalian! Saksikanlah dihadapan kalian ini sudah ada sosok-sosok peneluh keji yang berniat untuk menghancurkan desa tercinta kita ini. Keberadaan mereka sungguh meresahkan dan wajib untuk dibinasakan!” pekik iblis dalam balutan kostum manusia yang menyerupai Pak Ono itu dengan lantang. Ia tak perlu menyembunyikan jati dirinya yang beringas di balik senyum kemunafikannya lagi sebab seluruh penduduk di sini telah hanyut dalam permainan kata yang ia ciptakan sendiri.
Sukinah tidak lagi mampu menemukan perbedaan antara ia dan mayat seekor anjing yang ditemukannya teronggok begitu saja di tepi jalan beberapa waktu belakangan. Tak ada bedanya lagi ia dengan anjing yang dipukul hingga mati karena mencuri sepotong roti lantaran kelaparan. Barangkali keduanya begitu mirip hingga membuat orang-orang itu begitu tega mengkriminalisasi Sukinah hanya karena sedikit pengetahuan yang ia bagikan kepada anak-anak mereka.
Padahal impian itu begitu sederhana: ia dan kawan-kawannya hanya ingin membebaskan anak-anak dari kebodohan yang telah membelenggu mereka sekian lama. Melalui upaya ini, ia harap anak-anak itu bisa mengungkap betapa bengisnya wajah asli sang penguasa di balik topeng ramah dan mitos sifat mengayominya itu. Serta betapa mustahilnya mereka bisa bertahan melawan kemunafikan dunia tempat mereka berpijak saat ini tanpa berbekal sedikit pun wawasan.
Sekilas ia teringat akan kata-kata yang teman baiknya ungkapkan sebelum ia bertolak ke kampung halaman. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba mengingat hal itu ketika napasnya sudah di ujung tenggorokan. Samar-samar suara itu terngiang dalam kepalanya, laki-laki itu berkata:
“Barangkali perjalananmu akan lebih sulit dan penuh hambatan di sana-sini. Mengingat masyarakat di kampung halamanmu banyak yang belum pernah mengenyam pendidikan.” Ia terdiam cukup lama sebelum akhirnya melanjutkan. “Bagi masyarakat yang telah lama berdiam diri dalam kegelapan. Suatu hal yang baru dan berbeda dari kebiasaan mereka itu tidak lebih dari anomali yang mungkin perlu dibasmi agar tidak mencemari tradisi.”
“Kau masih ingat dengan kepercayaan salah satu suku di pedalaman negara kita yang menganggap pensil sebagai pembawa tulah? Pendidikan di mata orang-orang seperti mereka akan selalu dianggap membawa masalah jika kau tidak bisa memperoleh simpati dari mayoritas warga di sana.”
“Lebih buruk lagi kalau ternyata ada petinggi yang tidak suka dengan kemajuan pendidikan. Segala sesuatu akan ia halalkan demi memelihara kebodohan dan kemiskinan yang tak berkesudahan.”
Penulis: Destya Salsa Ikasari
Beri Balasan