Selanjutnya isi pesan sosialisasi ini bertujuan untuk meningkatkan literasi gatekeeper dalam bermedia dan imbauan untuk mengevaluasi nilai dari sebuah gagasan dalam setiap konten yang mereka temui. Pendekatan ini dapat diikuti dengan menyertakan informasi terkait bagaimana bahaya kondisi percaya terhadap disinformasi manipulasi. Serta ajakan dalam meningkatkan literasi digital secara aktif di media sosial.Ataupun pemahaman mengenai fact-checking, dengan mengarahkan masyarakat untuk selalu mempertanyakan informasi yang diterimanya dan menangkal kepercayaan terhadap opini manipulasi. Fact-checking dapat berguna untuk membiasakan audiens mengajukan pertanyaan-pertanyaan skeptis agar terhindar dari disinformasi. Contohnya seperti lima pertanyaan dasar siapa sumbernya? apa buktinya? apakah ada perspektif lain? apakah ini faktual atau opini? apakah informasi ini bisa diverifikasi?
Ketika seseorang terjebak pada keyakinan bahwa opini merupakan fakta, lantas bagaimana cara untuk mengenali fakta itu sendiri?
Ekosistem internet yang luas seperti media sosial dapat memberikan kebebasan penggunanya dalam membuat dan mengedarkan informasi dengan berbagai nilai didalamnya. Berdasarkan laporan yang dirilis oleh We Are Social pada bulan Januari 2024 di Indonesia, terdaftar sebanyak 139 juta identitas pengguna media sosial atau setara dengan 49,9% (Annur, 2024). Persentase tersebut menunjukkan bahwa semakin banyak pengguna media sosial di Indonesia yang memiliki akses dalam informasi digital. Namun, tercatat hingga tahun 2023, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) mengidentifikasi adanya 12.547 isu konten hoaks, disinformasi dan misinformasi yang tersebar di berbagai website dan platform digital (Kominfo, 2024). Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak informasi yang disajikan secara menarik, namun tidak memiliki nilai dan sumber yang jelas. Akibatnya, masyarakat rentan terhadap manipulasi serta ancaman terjebak antara informasi berisi fakta dan opini.
Situasi terjebak antara informasi berisi fakta dan opini adalah kecenderungan mempercayai opini yang sejalan dengan pandangan pribadi sebagai fakta. Pada dasarnya, fakta dan opini merupakan dua hal yang berbeda. Fakta akan tetap konsisten secara objektif meskipun dilihat dari berbagai sudut pandang. Sedangkan opini belum tentu dapat dikatakan fakta, karena melibatkan interpretasi dan penilaian subjektif, yang memungkinkan pandangan yang berbeda antar individu. Maka opini tidak dapat sekaligus dinilai sebagai suatu fakta. Diperlukan proses analisis kritis terhadap setiap informasi yang diterima dan ketepatan dalam pengambilan kesimpulan sehingga dapat membedakan apakah opini tersebut merupakan fakta, pendapat pribadi, atau bahkan narasi manipulasi sebagai disinformasi. Yakni opini disinformasi yang dikemas dengan tatanan dengan menargetkan penerima informasi (audiens) agar mempercayai opini tersebut sebagai suatu fakta, misalnya sebagai berikut.
Opini | Keterangan | Nilai | |
“Saya mulai merasa dingin akibat perubahan suhu menjadi 17 derajat Celsius.” | Ini bisa dianggap sebagai opini, tetapi didukung oleh data ilmiah yang menunjukkan bahwa suhu global memang 17 derajat Celsius. Dengan bukti yang kuat, pernyataan ini bisa dianggap sebagai fakta. | Opini yang adalah Fakta | |
“Saya percaya bahwa warna merah lebih indah daripada hijau.” | Ini adalah pendapat pribadi yang tidak memiliki kebenaran objektif. Setiap orang bisa memiliki pandangan berbeda tentang warna yang mereka sukai. | Opini sebagai Pendapat Pribadi | |
“Banyak orang mengatakan bahwa vaksin tidak aman, jadi Anda sebaiknya tidak divaksin.” | Pernyataan ini dapat menyesatkan. Meskipun pernyataan tersebut merupakan opini, namun banyak penelitian menunjukkan bahwa vaksin aman dan efektif. Menyajikan pendapat ini tanpa konteks yang jelas bisa dianggap sebagai narasi manipulasi yang bertujuan untuk menimbulkan maksud tertentu. | Opini sebagai Narasi Manipulasi |
Ketidakmampuan memverifikasi nilai dari suatu opini dapat menimbulkan penilaian bahwa narasi manipulasi dianggap sebagai kebenaran, atau sebaliknya. Bahkan ketidakmampuan ini dapat mengisolasi seseorang dalam filter bubble serta echo chamber. Karena pada prinsipnya, disinformasi sering kali disebarkan secara berulang-ulang untuk menanamkan gagasan palsu ke dalam benak publik. Bahkan jika informasi tersebut telah dibantah, pengulangan terus-menerus dapat membuatnya terlihat seperti fakta. Informasi berulang dapat memperkuat keyakinan yang salah dengan menargetkan emosi dan persepsi pribadi melalui opini yang sejalan. Ditandai dengan menerima umpan balik yang positif dan serupa, meskipun terdistorsi dan menyimpang dari fakta. Pengulangan informasi yang diterima mengacu dalam memperkuat keyakinan dalam sistem tertutup dan terisolasi dari sanggahan. Chen (2021) menyebutkan bahwa situasi tersebut disebut sebagai echo chamber.
Algoritma media sosial yang bersifat personalisasi pasif semakin menutup kemungkinan seseorang untuk memverifikasi nilai sebelum mengambil keyakinan terhadap suatu opini. Berbeda dengan echo chamber, filter bubble didefinisikan sebagai pemeringkatan berdasarkan algoritma dalam personalisasi pasif tanpa pilihan aktif yang mungkin terjadi dari aspek-aspek tertentu tentang bagaimana berita dan informasi didistribusikan secara digital (Arguedas, et al. 2022). Secara otomatis menyaring dan menampilkan konten berdasarkan perilaku atau preferensi jejak seseorang tanpa keterlibatan langsung. Dan memiliki akibat yang hampir sama dengan echo chamber, ketika distribusi berita dan informasi yang diterima menjadi sangat terbatas pada apa yang sistem anggap relevan, maka memungkinkan seseorang tertutup dari sudut pandang atau fakta yang berbeda.
Polarisasi pada ruang digital dapat berpotensi menimbulkan bias konfirmasi dan membuat seseorang menjauhkan diri dari fakta atau perspektif alternatif karena hanya memperkuat siklus keyakinan dengan menerima informasi yang sesuai dengan pandangannya saja. Sehingga merugikan pemahaman masyarakat terkait isu-isu penting yang tidak hanya berdampak pada persepsi individu tetapi juga menciptakan dampak sosial yang lebih luas. Terutama ketika seseorang tidak memverifikasi nilai sesungguhnya dari sebuah opini dan hanya menerimanya secara langsung. Seperti, pasalnya hingga selasa 2021, Kominfo menemukan 2.164 sebaran disinformasi mengenai vaksin Covid-19 di salah satu media sosial, Facebook (Rizkinaswara, 2021). Disinformasi yang berkaitan dengan kesehatan tersebut dapat menyebabkan orang mengabaikan saran medis yang penting, serta menciptakan dampak berkelanjutan lainnya.
Contoh lain, kembali pada kondisi ketika Pemilihan Presiden Indonesia pada Tahun 2024 tengah berlangsung, terdapat fraksi-fraksi yang timbul sebagai sekat polarisasi dalam ruang media sosial. Terlepas dari nilai opini tersebut, banyak ditemukan audiens yang sama sekali tidak menerima alternatif fakta dalam informasi-informasi lain dan hanya terpaku pada informasi yang dipercayainya saja. Hal ini lantas menimbulkan perbedaan signifikan dan menunjukkan adanya echo chamber serta filter bubble. Karena dapat dilihat bahwa sekat tersebut tidak hanya memisahkan beberapa kepercayaan dalam satu media sosial, namun dengan memisahkan satu kepercayaan dalam satu media sosial. Yang artinya, fraksi tersebut sama-sama terkurung dan terjebak dalam echo chamber dan filter bubble di dalam satu media sosial, dimana fraksi tersebut merasa bahwa segala informasi dari sudut pandangnya adalah benar. Sehingga apabila terdapat perbedaan pendapat, dapat memunculkan keengganan dalam menerima informasi alternatif dan membuka peluang verifikasi validitas dari sebuah informasi yang marak tersebar.
Pada situasi terjebak dalam keyakinan bahwa opini manipulasi merupakan fakta tersebut dan enggan menerima informasi alternatif, kuncinya adalah audiens perlu membuka peluang kesempatan informasi yang bertentangan dan dengan sangat berhati-hati memvalidasi secara berkala nilai dari informasi yang diterima melalui kemampuan literasi digital yang baik. Literasi digital mencakup kemampuan untuk menavigasi, mengevaluasi, dan menciptakan informasi menggunakan teknologi digital, yang sangat penting dalam siklus penerimaan informasi seseorang. Sehingga dengan kemampuan literasi digital yang baik, seseorang dapat memproses suatu opini terlebih dahulu dan membedakan apakah opini tersebut diliputi disinformasi atau tidak.
Sebagaimana pengertian literasi digital yaitu sebagai kemampuan menggunakan, memahami, mengevaluasi, dan menganalisis informasi dalam berbagai format yang diambil dari berbagai sumber digital (Sujana & Rachmatin, 2019). Adapun Sopani (2022) menegaskan bahwa pengguna media sosial harus mampu bersikap kritis dan skeptis, terutama berbagai konten atau informasi yang tidak masuk akal. Menangani konten dengan tidak menerima informasi secara mentah-mentah dan dapat menentukan pencegahan terjadinya hoaks (Sopani, 2022). Sehingga dapat disimpulkan bahwa literasi digital audiens yang baik dapat mendorong kemampuan dalam membedakan antara fakta dan opini. Sebagai proses dalam menentukan terlebih dahulu nilai dari informasi dan tidak menerimanya secara langsung tanpa melakukan evaluasi. Sehingga dapat mendorong pengguna untuk lebih kritis dan skeptis terhadap informasi yang tidak jelas kebenarannya dan menghindari pengulangan informasi yang telah dibantah.
Menciptakan gatekeeping dapat menjadi salah satu upaya dalam mengembangkan literasi digital untuk menangkal opini manipulasi secara efektif di media sosial. Gatekeeping merujuk pada proses menyeleksi informasi yang dipublikasikan kemudian menyusun ke dalam potongan informasi yang layak untuk disebarluaskan kepada publik (Shoemaker & Vos, 2009). Mencakup kemampuan audiens sebagai penjaga gerbang dalam mengevaluasi nilai kualitas dan kredibilitas informasi serta meminimalisir opini manipulasi di media sosial. Adapun orang-orang yang mengambil peran dalam suatu proses gatekeeping disebut sebagai gatekeeper atau penjaga gerbang (Irene, 2021). Bertugas untuk mengembangkan keterampilan dalam mengkritisi informasi melalui proses gatekeeping, termasuk memahami bias yang mungkin ada dalam informasi digital. Sehingga dapat dikatakan bahwa kunci dalam menangkal opini manipulasi salah satunya adalah dengan memastikan audiens dapat menjadi gatekeeper yang ter-literasi.
Dalam lanskap digital, audiens sendiri telah beralih dari konsumen pasif menjadi peserta aktif dalam proses diseminasi informasi di media sosial. Audiens memiliki kebebasan dalam memilih, membagikan, dan mengomentari item berita berdasarkan kriteria kelayakan berita mereka sendiri. Pergeseran ini telah memberdayakan pengguna untuk memengaruhi arus informasi secara signifikan. Maka dari itu, audiens yang memiliki literasi digital dapat berperan dalam mengurangi penyebaran disinformasi di media sosial. Dengan keterampilan dalam menyaring dan menilai informasi secara kritis, kemampuan literasi pada audiens dapat menjadi gatekeeper yang berperan dalam menjaga kualitas dan etika dalam ruang digital (Srikandi, Suparna & Haes, 2023).
Adapun strategi dalam mendorong tingkat literasi digital gatekeeper di media sosial salah satunya kampanye tahapan sebelum menarik kesimpulan atau mempercayai sebuah informasi—seperti mengecek berbagai sumber, melakukan verifikasi melalui pengenalan dari ciri-ciri opini manipulasi dan membuka kesempatan audiens pada gagasan alternatif lainnya. Membantu menarik perhatian pengguna dan mengarahkan mereka ke informasi terkait pengetahuan mengenai opini manipulasi, bias konfirmasi, echo chamber, filter bubble, dan berbagai kondisi sejenis. Berikut merupakan contoh mekanisme strategi tersebut.
- Target Sosialisasi
Diawali dengan menentukan kelompok yang menjadi target sosialisasi. Seperti berdasarkan usia atau jenis kelamin yang berpotensi besar terpapar oleh informasi di media sosial, untuk menuntun pada konten yang akan dikembangkan dalam sosialisasi tersebut.
- Isi Pesan Sosialisasi
Selanjutnya isi pesan sosialisasi ini bertujuan untuk meningkatkan literasi gatekeeper dalam bermedia dan imbauan untuk mengevaluasi nilai dari sebuah gagasan dalam setiap konten yang mereka temui. Pendekatan ini dapat diikuti dengan menyertakan informasi terkait bagaimana bahaya kondisi percaya terhadap disinformasi manipulasi. Serta ajakan dalam meningkatkan literasi digital secara aktif di media sosial.
Pesan dapat berisi dorongan untuk refleksi kritis pada audiens sebagai gatekeeper, untuk mengetahui apakah mereka terjebak dalam konfirmasi bias seperti echo chamber dan filter bubble. Pesan ini dapat dibuat dengan menyuguhkan pengenalan mengenai istilah-istilah tersebut dan ciri-ciri terjebak dalam kondisi tersebut, seperti apakah mereka hanya mengonsumsi informasi dari sumber yang sejalan dengan pandangan mereka? apakah informasi yang muncul memberikan umpan balik yang positif saja tanpa menyertakan opini alternatif? apakah mereka merasa tidak nyaman ketika menghadapi pandangan yang berbeda? dan pertanyaan-pertanyaan untuk memvalidasi apakah mereka termasuk ke dalam kondisi terjebak atau tidak.
Ataupun pemahaman mengenai fact-checking, dengan mengarahkan masyarakat untuk selalu mempertanyakan informasi yang diterimanya dan menangkal kepercayaan terhadap opini manipulasi. Fact-checking dapat berguna untuk membiasakan audiens mengajukan pertanyaan-pertanyaan skeptis agar terhindar dari disinformasi. Contohnya seperti lima pertanyaan dasar siapa sumbernya? apa buktinya? apakah ada perspektif lain? apakah ini faktual atau opini? apakah informasi ini bisa diverifikasi?
- Bentuk dan Media Sosialisasi
Penyediaan sumber daya atau konten dalam berbagai bentuk seperti artikel, video, audio-visual, podcast, infografis, dan bentuk lainnya yang dapat menarik dan mengedukasi dalam meningkatkan literasi gatekeeper. Adapun media penyebarannya ialah media sosial, sebagaimana merupakan platform digital dengan jumlah pengguna Indonesia yang banyak seperti Twitter, Instagram, Tiktok, dan platform media sosial lainnya.
- Evaluasi Keberlanjutan
Strategi ini memerlukan evaluasi keberlanjutan terhadap literasi digital gatekeeper dalam menilai dan mengkonsumsi informasi di media sosial. Penilaian terhadap dampak dari pesan yang disampaikan dapat diukur melalui timbal balik seperti survei atau analisis interaksi pengguna di media sosial, guna mengukur perubahan pemahaman dan sikap audiens terhadap informasi yang diterima. Dengan adanya evaluasi keberlanjutan, sosialisasi dapat lebih dikembangkan kepada target secara lebih efektif.
Strategi ini diharapkan dapat meningkatkan literasi digital sebagai kemampuan dalam mengidentifikasi dan mengatasi bias dalam konsumsi informasi. Serta memainkan peran dalam menjalankan kampanye yang mendorong masyarakat menyadari pentingnya menilai informasi yang diterima apakah adalah suatu fakta yang dapat dipercayai atau adalah opini manipulasi yang dapat menimbulkan disinformasi. Sehingga dapat berkontribusi pada ruang digital yang lebih sehat, cermat, dan terhindar dari opini manipulasi di media sosial.
Penulis: Alya Zahra Tiaranisa
Daftar Pustaka
Annur, C. M. 2024. Ini Media Sosial Paling Banyak Digunakan di Indonesia Awal 2024. Databook Katadata. Diakses 19 September 2024 pukul 9.30 dari https://databoks.katadata.co.id/teknologi-telekomunikasi/statistik/66ea436ab12f2/ini-media-sosial-paling-banyak-digunakan-di-indonesia-awal-2024
Arguedas, A., Robertson, C., Fletcher, R., & Nielsen, R. (2022). Echo chambers, filter bubbles, and polarisation: A literature review. Reuters Institute for the Study of Journalism. https://reutersinstitute.politics.ox.ac.uk/echo-chambers-filter-bubbles-and-polarisation-literature-review
Chen, J. (2022). Research on the Echo Chamber Effect. Atlantis Press. https://doi.org/10.2991/assehr.k.220110.165
Irene, I., & Rusdi, F. (2021). Proses Gatekeeping Portal Media Daring (Studi Kasus pada Media Daring Okezone.com). Koneksi, 5(1), 16. https://doi.org/10.24912/kn.v5i1.10123
Kominfo (2024). Hingga Akhir Tahun 2023, Kominfo Tangani 12.547 Isu Hoaks. Siaran Pers No. 02/HM/KOMINFO/01/2024. Diakses pada 15 September 2024 pukul 8.30 dari https://www.kominfo.go.id/content/detail/53899/siaran-pers-no-02hmkominfo012024-tentang-hingga-akhir-tahun-2023-kominfo-tangani-12547-isu-hoaks/0/siaran_pers
Rizkinaswara, L. (2021, November 3). Kominfo Temukan 2.164 Sebaran Hoaks Vaksin Covid-19 di Facebook. Ditjen Aptika. https://aptika.kominfo.go.id/2021/11/kominfo-temukan-2-164-sebaran-hoaks-vaksin-covid-19-di-facebook/
Shoemaker, P. J., & Vos, T. (2009). Gatekeeping Theory. Routledge. https://doi.org/10.4324/9780203931653
Sopani, I. (2022). literasi digital dalam menghadapi hoaks di masa pandemi. Deiksis Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 9(1), 36. https://doi.org/10.33603/deiksis.v9i1.6238
Srikandi, M. B., Suparna, P., & Haes, P. E. (2023). Audiens Sebagai Gatekeeper Pada Media Sosial. Perspektif Komunikasi: Jurnal Ilmu Komunikasi Politik Dan Komunikasi Bisnis, 7(2), 179. https://doi.org/10.24853/pk.7.2.179-192
Sujana, A., & Rachmatin, D. (2019). Literasi digital abad 21 bagi mahasiswa PGSD: apa, mengapa, dan bagaimana. Current Research in Education: Conference Series Journal, 1(1), 003-013.
Beri Balasan