

Di Indonesia, kasus kekerasan seksual setiap tahun mengalami peningkatan. Korbannya bukan hanya dari kalangan dewasa saja, tetapi sudah merambah ke remaja bahkan anak-anak (Darmini, 2021: 56). Pernyataan ini menjadi penting untuk diketahui dan disadari oleh setiap manusia, secara khusus oleh masyarakat Indonesia. Hal tersebut juga menjadi bagian dari penelusuran paham humanisme yang secara khusus lebih melihat sisi kaum feminin yang sering kali menjadi korban.
Diskursus mengenai paham kemanusiaan yang tengah gencar digaungkan di era modern ini memperlihatkan bahwa pelbagai persoalan masih sering terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sekelumit bentuk penodaan terhadap paham dan realitas kemanusiaan tak lain adalah meningkatnya aksi kekerasan terhadap kaum feminin dan tindakan amoral lainnya. Bentuk-bentuk penodaan terhadap kaum feminin yang sangat merebak saat ini, misalnya diskriminasi dalam dunia seksualitas yang hingga kini belum sepenuhnya ditemukan langkah solutif untuk mengentaskan permasalahan tersebut.
Sejalan dengan itu, kekerasan terhadap kaum feminin yang digaungkan bahkan disaksikan secara langsung di era modern ini dapat ditelusuri melalui fakta-fakta miris, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap perempuan (istri), pemerkosaan, eksploitasi tubuh, perdagangan manusia (human trafficking), pelecehan seksual, kawin paksa, atau kehamilan di luar nikah, dan lain sebagainya.
Humanisme, Fakta Miris Kaum Feminin, dan Akar Masalahnya
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa humanisme adalah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mendambakan pergaulan sosial yang lebih baik (Daryanto, 1998: 250). Paham humanisme merupakan topik yang sudah lumrah dan terinternalisasi dalam dinamika kehidupan umat manusia. Humanisme dapat dipandang sebagai suatu upaya intelektual yang gigih untuk memaknai kemanusiaan dan keterlibatan manusia dalam hidupnya (Hardiman, 2012: 25).
Atas hal itu, penulis berpendapat bahwa humanisme adalah paham tentang ikhtiar mulia manusia untuk memperjuangkan hidup demi mencapai kemaslahatan bersama. Sejalan dengan itu, realitas relasi sosial yang baik mesti diaplikasikan dalam kehidupan bersama.
Relasi sosial yang baik tentu menjadi dasar dalam memaknai paham humanisme itu sendiri. Laki-laki dan perempuan harus saling menjaga harkat dan martabatnya. Pemahaman tentang humanisme seyogianya menyentuh tatanan hidup manusia. Hal ini berarti bahwa relasi antar manusia semestinya menjunjung tinggi pemahaman humanisme dengan mengedepankan pikiran dan tindakan yang beradab. Dengan demikian, perlu adanya penghormatan terhadap hak, kehidupan, pilihan, gagasan, dan tubuh seseorang, serta kerja sama yang menuntut adanya penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia.
Konsep kemanusiaan pertama-tama dikumandangkan dengan tujuan memperjuangkan kemaslahatan hidup manusia yang kondusif. Namun, di era kekinian, paham humanisme menjadi hal yang ironis dari makna aslinya, sehingga diremehkan dalam realitas kehidupan manusia serta kurang diejawantahkan secara sadar dan bertanggung jawab.
Bentuk penodaan seperti kekerasan terhadap kaum feminin sejatinya tidak terlepas dari beberapa fakta miris, antara lain KDRT terhadap perempuan (istri), pemerkosaan, eksploitasi tubuh, perdagangan manusia (human trafficking), pelecehan seksual, serta kawin paksa atau kehamilan di luar nikah tanpa tanggung jawab dari pihak laki-laki. Fakta-fakta miris tersebut menunjukkan bahwa paham humanisme telah memudar dalam realitas hidup manusia, dan persoalan seputar kekerasan terhadap perempuan akan terus terjadi.
Dilansir dari Liputan6.com dalam artikel Fakta Miris Kekerasan terhadap Perempuan di Dunia dan Indonesia, dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir delapan kali lipat). Dalam kurun waktu 2011–2020, tercatat 2.775.042 kasus kekerasan terhadap perempuan. Di rentang waktu yang sama, terdapat 49.643 kasus kekerasan seksual di ranah privat dan komunitas. Data tersebut menunjukkan bahwa keberadaan kaum feminin di Indonesia sesungguhnya belum aman dan tenteram.
Berdasarkan data Humas Jateng mengenai kekerasan dalam rumah tangga yang bersumber dari Simfoni PPA, terdapat 12.185 kasus KDRT yang terlapor pada tahun 2018. Per 6 September 2019, tercatat 6.009 kasus KDRT. Selain itu, data CATAHU Komnas Perempuan 2018–2019 menunjukkan bahwa lembaga layanan di Indonesia menangani 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan jenis kekerasan didominasi KDRT sebanyak 71%.
Patut disadari bahwa banyaknya kasus kekerasan seperti yang tertera pada data tersebut merupakan fenomena dari beberapa faktor pemicu, salah satunya minimnya kesadaran terhadap keberadaan perempuan sebagai pihak yang sederajat dalam kehidupan. Kasus kekerasan terhadap perempuan sering kali terjadi karena masih ada laki-laki yang kurang menghayati paham humanisme.
Menurut Mestika (2022: 3), sejak dahulu banyak mitos yang menjadi penyebab ketidakadilan gender, salah satunya anggapan bahwa laki-laki selalu rasional sedangkan perempuan emosional. Misalnya, pandangan tradisional bahwa perempuan hanyalah konco wingking atau “teman belakang” dengan fungsi 3M (masak, macak, manak).
Manusia kerap gagal merefleksikan kehadiran perempuan sebagai sesama yang setara dan sederajat. Perempuan sering dipandang sebagai objek pemuas nafsu, sehingga fakta miris kekerasan terhadap perempuan kian hari kian meningkat.
Solusi
Potret dan konsep kemanusiaan mesti dikumandangkan secara kondusif dengan tujuan memperjuangkan kemaslahatan hidup manusia. Namun, di era kekinian, paham tentang kemanusiaan menjadi ironi dari keasliannya, sehingga diremehkan dalam realitas kehidupan.
Sebagai upaya menggugah kesadaran, sosialisasi menjadi langkah solutif dan isyarat yang secara eksplisit mampu menyadarkan pelaku. Pertama, sosialisasi kesetaraan gender, yang bertujuan mengubah cara pandang masyarakat—terutama kaum laki-laki—terhadap kedudukan perempuan. Dalam konteks rumah tangga, peran istri di dapur bukan berarti dinomorduakan, melainkan bagian dari pembagian peran yang sama pentingnya dengan peran suami.
Kedua, sosialisasi penegakan hukum. Dengan penegakan hukum yang disosialisasikan secara luas, masyarakat akan semakin sadar bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan bertentangan dengan paham humanisme dan melanggar hukum.
Di Indonesia terdapat sejumlah undang-undang terkait kekerasan terhadap perempuan, termasuk UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Selain itu, beberapa pasal dalam KUHP juga mengatur tentang kekerasan terhadap perempuan. Dalam revisi KUHP yang disetujui DPR dan pemerintah pada 6 Desember 2022, definisi perkosaan kini telah disesuaikan dengan hukum internasional.
Penegakan undang-undang tersebut penting dilakukan secara tegas dan disosialisasikan secara langsung (face to face).
Penutup
Humanisme adalah paham tentang ikhtiar mulia manusia untuk memperjuangkan hidup demi kemaslahatan bersama. Ketika laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan, tindakan tersebut telah bertentangan dengan paham humanisme. Fakta miris seperti KDRT, pemerkosaan, eksploitasi tubuh, perdagangan manusia, pelecehan seksual, kawin paksa, atau kehamilan di luar nikah merupakan peristiwa yang sangat memprihatinkan dan melanggar undang-undang.
Oleh karena itu, kesetaraan gender dan penegakan hukum yang disosialisasikan mesti dipahami secara rasional oleh semua pihak pada umumnya, dan oleh kaum laki-laki pada khususnya.
Daftar Pustaka
Darmini. 2021. Peran Pemerintah dalam Pencegahan Kekerasan Seksual terhadap Anak. Jurnal for Gender Mainstreaming, Vol. 15, No. 1.
Daryanto. 1998. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Apollo Lestari.
Hardiman, F. Budi. 2012. Humanisme dan Sesudahnya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Liputan6.com. Fakta Miris Kekerasan terhadap Perempuan di Dunia dan Indonesia.
Komnas Perempuan. Penegakan Hukum yang Berkeadilan Gender dan Siaran Pers tentang Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Mestika, Fairuz Hana. 2022. Perlindungan Hukum pada Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga di Indonesia. IPMHI Law Journal, Vol. 2, No. 1.
Zuhriyah, Umi. 2023. Daftar Undang-Undang yang Mengatur Kekerasan terhadap Perempuan.
Penyunting: Aprilla Ragil Argiyani






















Beri Balasan