
Poster ajakan pernyataan sikap civitas academica Universitas Brawijaya (UB) terhadap ancaman demokrasi beredar di media sosial. Mulanya, pernyataan sikap akan dilaksanakan Senin (5/2/2024) pukul 10.00 WIB. Namun, pada Minggu (4/2) beredar kabar pengunduran hingga Selasa (6/2).
Setelah pengunduran diberitahukan, poster baru disebar, kali ini mengatasnamakan Dewan Profesor UB. Aula Lantai 7 Gedung F Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) tertulis sebagai tempat pelaksanaan. Waktu pelaksanaan pun diubah menjadi pukul 9.00.
Poster pertama, dengan logo akun @ub_mfs (kiri) dan poster kedua, mengatasnamakan Dewan Profesor UB (kanan)
Selasa (6/2), beberapa orang mengenakan jas almamater datang ke Universitas Brawijaya. Apakah semua masuk ke Gedung F FEB? Tidak. Bahkan hingga pukul 9.00, pernyataan sikap belum dilaksanakan.
Ternyata, Dewan Profesor masih berdiskusi tentang pernyataan sikap yang akan dibacakan. Petugas keamanan Gedung F FEB menyampaikan, pernyataan sikap akan dilaksanakan di depan Gedung Rektorat pada pukul 10.00. Pukul 10.04 WIB, terlihat barisan civitas academica berjalan menuju Gedung Rektorat. “Sampai tadi, kita berdebat tentang materi, sebetulnya. Banyak yang ingin lebih keras, misalnya,” terang Sasmito Djati, Profesor FMIPA UB.
Setelah sampai di depan Gedung Rektorat, para Profesor mengajak seluruh civitas academica yang hadir untuk ikut berbaris. Pernyataan sikap dibacakan oleh Sukir Maryanto, Ketua Senat Akademik FMIPA UB. Isi pernyataan sikap telah dirangkum oleh jurnalis LPM basic di sini.
Pembacaan Pernyataan Sikap oleh civitas academica Universitas Brawijaya di Depan Gedung Rektorat. Sukir Maryanto (tengah) sedang membacakan pernyataan
Bukan Sekadar Buntut
Minggu (4/2), Eksekutif Mahasiswa (EM) UB mengunggah kiriman berisi penolakan intervensi pejabat negara dalam pemilu 2024. Di hari yang sama, UB menerbitkan Edaran Nomor 2397/UN10/TU/2024 berisi imbauan menyikapi pemilu bagi civitas academica. Edaran tersebut juga disebarkan melalui akun instagram Universitas Brawijaya.
Post akun instagram UB berisi himbauan menyikapi pemilu bagi civitas academica
Respons di kolom komentar beragam. Beberapa menyayangkan sikap yang diambil oleh Rektor UB, Prof. Widodo, S.Si, M.Si, Ph.D.Med.Sc., sedangkan sebagian lainnya justru mengapresiasi sikap tersebut. Isi dari edaran tersebut tidak lebih dari ajakan menjaga kerukunan, netralitas, dan integritas dalam menghadapi pemilihan umum tahun 2024. Namun, respons positif di kolom komentar menyatakan kepuasan karena UB dinilai tidak ‘ikut-ikutan’.
Menentang narasi itu, Sukir Maryanto mengatakan, UB sudah lama merumuskan pernyataan sikap ini, bahkan sebelum Petisi Bulaksumur dari Universitas Gadjah Mada. “Sejak 15 Desember di Unhas (Universitas Hasanuddin) dalam forum MDGB (Majelis Dewan Guru Besar),” tegasnya. “Kita berproses untuk: satu institusional, kedua formal, ketiga melibatkan seluruh stakeholder.”
Meski proses perumusannya dibilang institusional, Rektor UB, Widodo, tidak menghadiri pernyataan sikap. Menurut keterangan Dewan Profesor, Widodo tidak dapat hadir karena urusan lain. Meski demikian, ia tak menentang pernyataan sikap ini. Rachmad Safa’at, Profesor Fakultas Hukum UB, mengaku sudah mendatangi Widodo. Widodo kemudian mengarahkan Dewan Profesor untuk berkoordinasi. “Saya ke Rektor, sebagai Ketua Komite B. Ya, silakan, dibawa koordinasi dan manajemen Dewan Profesor, katanya,” jelas Rachmad.
Lebih tegas lagi, Rachmad mengatakan, pernyataan sikap ini bukan karena setiran pihak tertentu. “Staf khusus kepresidenan menyatakan bahwa ini tendensius, nggak, saya tahu persis, orang-orang di bawah UGM, di bawah UI, saya kenal, dan mereka sungguh-sungguh menyuarakan ini,” bantahnya.
Berdasarkan cerita Sasmito, perumusan pernyataan sikap ini ternyata dihadiri oleh sejumlah perguruan tinggi lainnya. “Kita sudah membuat tanggal 15 Desember bareng-bareng dengan PTN-BH, waktu itu saya juga ikut ngonsep,” jelasnya. “Kalau sudah banyak perguruan tinggi seperti itu, pasti kekuatan moralnya kuat,” tambahnya.
Sasmito juga membantah mentah-mentah tuduhan ikut-ikutan. Menurutnya, karena pernyataan sikap ini bersifat institusional, prosesnya tidak singkat. “Di UB sendiri perbedaan (pendapat tentang pernyataan sikap) banyak. Semua perguruan tinggi, bukan hanya UB saja,” katanya. Kata Sasmito, momen ini bukan asal buntut, tapi sudah disiapkan. Karena adanya momentum dari perguruan tinggi lain dan desakan mahasiswa, Dewan Profesor memutuskan ini momen yang tepat. “Kalau saya ngomong seperti ini setahun lagi, tidak ada gunanya. Kami tidak hanya memanfaatkan momentum saja, tanggung jawab perguruan tinggi juga diteruskan, harus otonom.”
Katanya Reformasi Jilid Dua, Apakah Ini untuk Jokowi?
Momentum yang diambil oleh sejumlah Perguruan Tinggi untuk menyatakan sikap dimulai dari Petisi Bulaksumur, UGM. Dilansir dari Tempo.co, Ketua Dewan Guru Besar UGM, Koentjoro, menganggap tindakan Presiden Joko Widodo kelewat batas. Sebabnya, menurut Koentjoro, ujaran Jokowi tak lagi dapat dipercaya. Keterlibatan putranya, Gibran Rakabuming Raka, dan pernyataannya tentang kampanye mendasari opini tersebut.
Bagaimana dengan UB? Ada perbedaan pendapat civitas academica terkait hal ini. Pernyataan sikap dari Dewan Profesor UB sendiri bersifat normatif untuk semua pihak, terutama pemerintah dan aparat penegak hukum. Meski demikian, menurut Sasmito, posisi individu berbeda-beda. “Terus terang saja, ada yang keras ada yang tidak, biasa itu, tapi bahasa yang keluar normatif,” tegasnya. “Kalau individu silakan ngomong apa saja, kalau individu lho ya, tapi kalau institusi normatif, dan itu betul-betul omongan lembaga dan bukan segerombolan orang,” tambahnya.
Pernyataan yang tertuju langsung pada individu tertentu keluar dari Rachmad Safa’at. Menurutnya, demokrasi di Indonesia di ujung tanduk. “Meskipun kita bisa makan dengan tenang, ke masjid dengan tenang, tapi kita mencengkeram bara yang akan meledak, tinggal menunggu momen saja. Kenapa tidak meledak? Karena kekuatan TNI dan Polri ada di tangan Presiden.” Menurut Rachmad, sikap ini memang mengerucut ke Jokowi. “Ya mengerucutnya ke Jokowi, karena yang membangun sistemnya ya Jokowi, Presiden.”
Lebih lanjut lagi, Rachmad menegaskan sikapnya tentang pencalonan putra Jokowi, Gibran, sebagai wakil presiden Prabowo. “Putusan Mahkamah Konstitusi, kalau sudah melanggar etik kok tetap mencalonkan itu, Gibran?” Rachmad pesimistis tentang kondisi negara apabila pasangan calon Prabowo-Gibran memenangkan pemilu 2024. “Saya yakin kacau nanti, setelah pemilu. Apalagi yang jadi Prabowo, bisa lebih kacau lagi, karena wakilnya tidak memenuhi syarat. Prabowo sendiri mencengkeram beberapa persoalan, misalnya tentang penghilangan aktivis,” tambahnya. “Apapun yang terjadi, kalau ini dibiarkan terus, kemudian yang jadi Prabowo sama Gibran, chaos kita.”
Rachmad Safa’at di Depan Gedung Rektorat UB Usai Pembacaan Pernyataan Sikap. (Kabarbasic/Nazarru)
Pendapat serupa dinyatakan oleh Presiden EM UB, Satria Naufal Ansar. Satria khawatir bahwa Presiden Jokowi akan mengulang orde baru dalam bentuk neo orde baru. “Dulu di Orde Baru, Soeharto itu memobilisasikan kepentingannya menggunakan yang namanya jalur ABG. ABRI, Birokrat, dan Golkar. Jangan sampai hari ini, ada diksi ABI. Aparat, Birokrat, dan Istana,” katanya.
Meski memiliki pandangan pribadi yang mengerucut pada sikap Jokowi, Satria menyampaikan, apa yang tercantum dalam naskah pernyataan sikap sesuai dengan posisi yang diambil oleh aliansi mahasiswa. “Kita punya yang namanya aliansi mahasiswa resah (Amarah) Brawijaya, bukan hanya EM. Jadi kawan-kawan individu merdeka yang tidak punya ormawa juga bisa hadir ke sana, dan seluruh pernyataan sikap itu linear dengan apa yang kita konsolidasikan di hari Minggu malam, yang telah kita kirim drafting-nya ke Dewan Profesor semuanya,” kata Satria.
Undangan Konsolidasi Terbuka Mahasiswa UB
“Pernyataan sikap kita sudah ada, terhitung dua hari yang lalu kita sudah posting di Instagram, dan sudah ada infografis juga untuk pencerdasan bagi kawan-kawan, yang mempertanyakan kenapa kemudian pernyataan sikap ini hadir, apakah FOMO, fear of missing out, dan sebagainya,” kata Satria. Di kiriman yang diunggah oleh EM, terdapat foto Jokowi dengan teks ‘Reformasi Jilid 2?’
Kiriman EM UB di Instagram @em_ubofficial
Berbeda dengan narasi EM UB, Rachmad berpendapat reformasi seperti pada tahun 1998 tidak akan terjadi. “Sejak awal rakyat dibagi-bagi, ada ‘cebong’, ada ini ada itu, bagaimana menyatukan? Yang kedua, kekuasaan TNI dan polisi ada di tangan Jokowi,” jelasnya. Namun, ia juga menegaskan, andai TNI dan polisi netral, bisa saja terjadi people power. “Tapi kan nggak mungkin, saat ini kan teman-teman Jokowi semua yang pegang kendali,” ujar Rachmad.
Reporter: Nazarru Djalu Ulhaqi
Editor: Leri Oktavia Amara
Beri Balasan