Pers memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat karena memberikan informasi yang akurat dan tepat waktu kepada masyarakat, memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam diskusi dan debat sipil serta memperkuat demokrasi melalui penyebaran transparansi informasi. Menurut Setyowati & Kencono (2024), fungsi utama pers adalah menyampaikan informasi berdasarkan data yang akurat, yang sangat vital untuk pengetahuan publik. Kebebasan suatu pers menjadi sebuah pilar dalam suatu negara demokrasi. Dalam Undang Undang Dasar Pasal 28F yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi. Hal tersebut menunjukkan adanya kebebasan pers dalam melakukan penyebaran informasi. Namun praktik di lapang seringkali bertentangan bahkan seperti melupakan adanya pasal tersebut. Bahkan penerapan Undang-Undang penyiaran pun dipandang sebagai sebuah ancaman terhadap kebebasan pers dikarenakan dapat memberi ruang bagi intervensi pemerintah dan juga otoritas penyiaran untuk dengan mudah mengatur isi siaran.
Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 disahkan sebagai kerangka hukum untuk mengatur kegiatan penyiaran di Indonesia. Tujuannya adalah untuk mewujudkan sistem penyiaran yang lebih tertib, adil dan berkeadilan, dengan tetap memperhatikan prinsip demokrasi, kepentingan umum, dan keberagaman budaya. Undang-undang ini tampak sejalan dengan prinsip kebebasan pers karena memberikan perlindungan bagi masyarakat dari penyiaran yang dianggap melanggar norma sosial dan etika. Ketentuan Undang-Undang tersebut mencakup dua asas pokok, yaitu penyelenggaraan sistem penyiaran yang harus didasarkan pada berbagai pertimbangan karena penyiaran merupakan utilitas umum dan digunakan sebagaimana mestinya untuk memenuhi pertimbangan dan asas umum dalam rangka ketertiban umum serta menjunjung otonomi masyarakat lokal di wilayahnya melalui penerapan sistem siaran berjaringan (Tunggati, 2024). Namun di sisi lain, peraturan ini juga memberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan kementerian terkait untuk mengawasi dan mengatur media penyiaran, baik televisi maupun radio. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kekhawatiran di kalangan praktisi media dan aktivis kebebasan pers, karena intervensi berlebihan dari pemerintah atau lembaga penyiaran dapat menghambat kebebasan pers dan membatasi ruang kebebasan berekspresi.
Salah satu kritik utama terhadap UU Penyiaran adalah besarnya potensi pemerintah dalam mengontrol konten siaran. Pasal 8 UU No. 32 tahun 2002 memberikan wewenang kepada pemerintah untuk memberikan izin penyiaran, yang dapat menjadi alat untuk menekan media agar menyajikan konten yang sejalan dengan kepentingan pemerintah. Mekanisme pemberian dan pencabutan izin ini sering dipandang sebagai instrumen politik yang memungkinkan pemerintah menekan media yang kritis atau tidak konsisten dengan kebijakannya. Pemberian kewenangan pengawasan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga menjadi sorotan. KPI seringkali dianggap belum sepenuhnya lepas dari pengaruh dan kekuasaan politik. Banyak pengamat yang khawatir KPI bisa dimanfaatkan pihak tertentu untuk membatasi siaran yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan kelompok penguasa. Misalnya, keputusan kontroversial KPI yang menindak beberapa program televisi yang dianggap “melanggar norma”, padahal program tersebut justru menyuarakan kritik terhadap pemerintah atau isu-isu sosial yang sensitif, merupakan contoh nyata potensi penyalahgunaan kewenangan tersebut.
Jurnalisme investigatif merupakan salah satu bentuk jurnalisme yang paling rentan terhadap dampak negatif peraturan penyiaran yang terlalu ketat. Dalam banyak kasus, jurnalisme investigatif berfungsi untuk mengungkap praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan pelanggaran HAM yang seringkali melibatkan pihak-pihak yang memiliki kekuatan politik atau ekonomi. Dengan UU Penyiaran yang memungkinkan pemerintah dan KPI mengontrol dan mengawasi konten siaran, jurnalisme investigatif bisa menjadi sasaran pembatasan (Mustafa & Saumantri, 2024). Media yang berani menyiarkan hasil investigasi yang kritis terhadap pemerintah atau elite politik bisa diberi peringatan, sensor, atau bahkan dicabut izin siarannya. Hal ini tentu saja menjadi ancaman besar bagi kebebasan pers, karena media yang berfungsi melakukan kontrol sosial terhadap kekuasaan terbatas geraknya. Misalnya, kasus sensor terhadap beberapa program investigasi di media televisi nasional beberapa tahun lalu menunjukkan betapa rapuhnya posisi jurnalisme investigatif di Indonesia. Acara televisi yang menampilkan investigasi mendalam terhadap kasus korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan seringkali mendapat tekanan dari KPI dengan dalih melanggar etika penyiaran atau meresahkan masyarakat. Padahal, fungsi utama jurnalisme investigatif adalah memberikan informasi yang relevan kepada masyarakat tentang tindakan yang merugikan kepentingan masyarakat.
Di balik peraturan penyiaran yang ketat, terdapat kecenderungan menjadikan isu moralitas dan etika sebagai pembenaran untuk membatasi kebebasan pers. Misalnya, KPI yang kerap mendasarkan keputusannya memberikan sanksi kepada media penyiaran dengan alasan melanggar norma etika atau moral yang berlaku di masyarakat. Meskipun penting bagi media untuk menghormati norma-norma sosial, penggunaan standar moralitas yang terlalu subjektif justru dapat menjadi alat sensor tersembunyi yang mengancam kebebasan berekspresi. Penggunaan alasan moral sebagai dasar penyensoran atau peringatan terhadap media juga dapat berdampak negatif terhadap keberagaman konten siaran (Mustafa & Saumantri, 2024). Media yang seharusnya bebas menyajikan berbagai pandangan dan sudut pandang berbeda dalam meliput suatu isu bisa terjebak dalam kekhawatiran akan sanksi, sehingga memilih untuk menyesuaikan kontennya agar sesuai dengan standar yang ditetapkan KPI dan pemerintah. Akibatnya, media penyiaran menjadi homogen dan kehilangan keberanian untuk menyuarakan pandangan kritis atau kontroversial.
Penting untuk diingat bahwa kebebasan pers merupakan salah satu pilar utama demokrasi. Pers yang bebas dan independen mempunyai peranan penting dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas pemerintah serta memberikan ruang bagi masyarakat untuk memperoleh informasi yang beragam dan obyektif. Jika kebebasan pers terancam oleh peraturan penyiaran yang terlalu ketat, maka fungsi pers sebagai check on power akan berkurang. Dalam sistem demokrasi yang sehat, pers tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, namun juga sebagai penggerak perubahan sosial (Setyowati & Kencono, 2024). Pers yang bebas dapat menyuarakan kepentingan masyarakat, mengkritik kebijakan yang tidak adil, dan mengungkap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang berkuasa. Namun, jika kebebasan pers dibatasi oleh peraturan yang represif, maka masyarakat akan kehilangan salah satu sumber utama informasi yang akurat dan dapat dipercaya. Pada akhirnya, hal ini dapat merusak tatanan demokrasi dan melemahkan peran pers sebagai pilar demokrasi.
Melihat dampak negatif peraturan penyiaran terhadap kebebasan pers, sudah saatnya dilakukan reformasi terhadap UU Penyiaran. Reformasi ini harus fokus pada upaya memperkuat independensi lembaga penyiaran, mengurangi intervensi pemerintah, dan menciptakan ruang lebih besar bagi kebebasan berekspresi (Akil, 2014). Dalam mengatasi permasalahan tersebut diperlukan adanya mekanisme yang lebih transparan dan akuntabel dalam pemberian izin penyiaran. Pemerintah tidak boleh terlalu mempunyai kewenangan dalam menentukan siapa yang berhak mendapatkan izin penyiaran. Proses pemberian izin harus melibatkan partisipasi masyarakat dan dilakukan dengan standar yang jelas dan objektif, sehingga tidak ada intervensi politik yang dapat membatasi kebebasan pers. Kemudian KPI sebagai lembaga pengawas harus benar-benar independen dan bebas dari pengaruh politik. Pemilihan anggota KPI harus dilakukan secara transparan dan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil dan komunitas pers, untuk memastikan KPI berfungsi sebagai lembaga yang melindungi kepentingan publik, bukan sebagai alat kontrol pemerintah (Khusna & Susilowati, 2015). Selain itu diperlukan jua penguatan regulasi yang menjamin perlindungan terhadap jurnalisme investigatif. Media yang melakukan investigasi untuk mengungkap kasus korupsi atau pelanggaran HAM harus dilindungi dari ancaman pencabutan izin atau sensor. Dalam hal ini, kebebasan pers harus menjadi prioritas utama, meski harus menghadapi kritik atau ketidaknyamanan dari pihak yang berkuasa.
Undang-undang penyiaran, meski bertujuan untuk menciptakan tertib sistem penyiaran, namun dalam prakteknya justru memberikan ancaman serius terhadap kebebasan pers di Indonesia. Intervensi pemerintah melalui pengaturan isi siaran dan pemberian izin penyiaran, ditambah dengan pengawasan KPI yang kerap dianggap tidak independen, telah mengikis ruang kebebasan berekspresi di media penyiaran. Jika dibiarkan tanpa reformasi, peraturan ini dapat merusak tatanan demokrasi di Indonesia karena menghambat peran pers sebagai pengawas kekuasaan. Reformasi UU Penyiaran sangat diperlukan untuk memastikan pers dapat beroperasi secara bebas, tanpa ancaman campur tangan politik atau sensor yang tidak perlu. Hanya dengan cara inilah kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi dapat dipertahankan dan masyarakat Indonesia dapat terus menikmati informasi yang bebas, beragam, dan akurat.
Penulis: Tiara Wahyuni Rahmawati Hipi
DAFTAR PUSTAKA
Akil, M. A. (2014). Regulasi Media di Indonesia (Tinjauan UU Pers dan UU Penyiaran). Jurnal Dakwah Tabligh, 15(2), 137-145.
Khusna, I. H., & Susilowati, N. (2015). Regulasi Media di Indonesia: Kajian Pada Keterbukaan Informasi Publik dan Penyiaran. Promedia (Public Relation Dan Media Komunikasi), 1.
Mustafa, R. A., & Saumantri, T. (2024). Kerusakan Modal Sosial Pers Indonesia Akibat RUU Penyiaran: Analis Teori Bordieu. JSPH: Jurnal Sosial Politik Humaniora, 1(1), 1-11.
Setyowati, A., & Kencono, P. S. (2024). Kebebasan Pers Dalam Penyampaian Berita Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Indonesian Journal of Law and Justice, 2(1), 18-18.
Tunggati, M. T. (2024). Ius Constituendum Dalam Sinkronisasi Kewenangan Penyelesaian Sengketa Jurnalistik di Bidang Penyiaran (Kajian Revisi Undang-Undang Penyiaran). Jurnal Hukum Bisnis, 2(1), 22-47.
Beri Balasan