Di Desa Kami Tidak Ada yang Senang Bermain dengan Ruh Kecuali Lelaki Itu

Ilustrasi dari freepik

Ketika desis jahanam yang mendongak dengan cepat di hari-hari yang begitu hijaunya, sungguh masih termaktub jelas memoar darah yang kian mengalir dalam naluri liarku. Aku telah banyak mengunyah neraka yang luhung, melempar gunung serta semenanjung, menerkam nyali ciut para pelimbang yang limbung, menikam hidup raksasa raja yang agung, bahkan menaklukkan negeri para pemberontak yang ulung. Namun, kedatangannya dengan berahi yang terlampau menantang ialah sama sekali tidak masuk perhitunganku.

Dari perkataan sanak familiku yang kerongkongannya sudah setengah putus itu, secara samar aku membayangkan rupamu dalam perjalanan getirku. Rupa seperti apa yang melucuti kerlip tajam nasib kami semua, rupa seperti apa yang menebar busuk pada bunga tidur kami semua, dan rupa seperti apa yang akan melunakkan tajam geraham kami semua.

***

Dibanding pagi hari yang lainnya, tidak ada pagi yang lebih menggeparkan  desaku daripada pagi hari ini, dan timbulnya kegemparan itu tidak lain adalah karena Pak Kur. Tentunya warga desa sudah paham apa yang menyebabkan Pak Kur kembali menjadi pokok persoalan: mencoba menyingkirkan patung yang terletak di perbatasan desa ini dengan desa sebelah.

“Kalau malam matanya bergerak!” bentak Pak Kur kepada warga yang mengerubunginya.

“Ah, yang seperti itu tak lebih dari perasaan saja, Pak Kur,” kata salah seorang warga.

“Kalian tahu apa? Aku sendiri yang melihatnya malam tadi. Sewaktu aku melintas, samar-samar aku mendengar patung itu mengaum, ketika aku mendekatinya, aku melihat matanya bergerak seolah hendak menerkamku. Kalau patung itu bukanlah patung penjelmaan roh jahat, apalagi? Dan aku rasa mungkin saja  kalian semua tidak merasa aneh karena sudah terkena guna-gunanya.” Para warga hanya bisa menyiratkan kebingungannya. Memang, Pak Kur yang belakangan ini kuketahui adalah seorang pendatang baru sering kali melemparkan protesnya kepada warga untuk tidak lagi membiarkan patung itu ada di tempatnya sekarang.

“Andaikata memang yang dikatakan Pak Kur bukan sekadar kabar burung, nantilah kami usulkan kepada kepala desa perihal persoalan ini. Sekarang baiknya kita hentikan saja perdebatan pagi ini, karena tidak seharusnya pagi-pagi begini sudah membuat keributan,” ucap Pak Asep yang memang menjadi seorang yang disegani di desaku. Akhirnya Pak Kur pun ambil diri diiringi wajah kesalnya.

Sejauh yang kuketahui, patung itu bukanlah patung istimewa seperti yang berbaris di museum, bukan juga patung peninggalan dari zaman Kerajaan Mesir yang amat tinggi nilai jualnya. Patung itu hanyalah patung seekor macan yang sedang mengerlipkan taring runcingnya. Matanya nyala api: yang berkobar seperti kapan saja siap untuk menerkam apa yang dilihatnya, tajam kukunya serupa tombak perang di masa Kompeni datang, besar tubuhnya dua kali lipat dari orang dewasa, dan warna seluruh tubuhnya sudah putih memudar: seperti patung berumur pada umumnya. Namun andaikata kucing, atau anjing, atau bahkan hewan liar lainnya yang melintas di hadapannya dan secara tak sengaja menatapnya, maka kucing dan anjing atau hewan liar lainnya itu akan lari terkencing-kencing dengan matanya yang menggambarkan ketakutan yang teramat sangat. Tentu tidak ada yang tahu apa penyebabnya kecuali segelintir orang seperti Pak Kur dengan anggapan bahwa patung itulah yang menjadi sumber malapetaka.

Aku sendiri tidak tahu mengapa patung yang sudah berumur itu masih saja dibiarkan berdiri di perbatasan desaku, seolah-olah patung itu memang dibiarkan untuk menyambut orang yang hendak singgah ke desaku, tetapi jika hematku benar,  bukankah sambutan yang bijak adalah sambutan yang hangat? bukankah patung itu  justru membuat siapa saja yang melihatnya akan ketakutan? Dan perkara asal-usul patung itu pun aku sendiri tidak tahu kepastiannya. Ada yang berpendapat bahwa patung itu dulunya merupakan macan yang sebagaimana mestinya, dipelihara oleh seorang prajurit rakyat untuk membantu menjaga desaku dari datangnya penjajah, sampai akhirnya macan itu pun mati, dan bangkainya perlahan berubah menjadi patung. Ada pula yang mengatakan bahwa macan itu sebenarnya adalah siluman yang mencoba mengusik desaku, dan karena hal itulah siluman tersebut diburu oleh warga sampai ia terpojok. Akhirnya, berubahlah ia menjadi sebuah patung untuk menghindari kejaran warga, maka tak sedikit pula orang percaya bahwa setiap hari Kamis tengah malam, patung itu akan kembali menjadi wujud silumannya— meskipun sampai saat ini belum ada seorang pun yang melihatnya. Sementara menurut cerita orang tuaku, patung itu tidak lebih dari patung yang diciptakan oleh  pengrajin sekaligus sesepuh dari desaku yang hendak mengabadikan hasil pahatannya. Dari beberapa pendapat tersebut aku hanya bisa menyimpulkan: patung tersebut merupakan patung berharga yang menjadi peninggalan di desa ini, dan tentulah suatu peninggalan tidak bisa sembarang disingkirkan apalagi dihancurkan.

***

Pada tiap cerobong sendi belantara ini, tentu tidak ada yang berani untuk menimbulkan apa yang selalu menjadi pantangan bagiku. Seperti para malaikat yang lupa cara tersenyum tatkala jantung para iblis berhasil aku koyakkan di depannya. Tetapi tidak dengan dia yang bahkan belum menunjukkan keseriusannya kendati hari mulai berganti. Dalam medan yang mencekam ini, sebentar-sebentar ia tersenyum, sebentar-sebentar ia tertawa, sebentar-sebentar ia berkata akan kebijakannya, sedang napasku sedang kuatur sedemikian rupa supaya terkamanku  tak meleset lagi.

“Aku sudah mengetahui akan kesaktianmu dari bawahanmu yang berusaha menyerangku.”

“Kau terlalu banyak bicara, manusia. Dan satu hal, mereka adalah keluargaku, bukan bawahanku.”

“Terus terang aku sudah berkata baik-baik kepada mereka, bahwa aku hanya ingin merebahkan lelahku saja di hutan ini.”

“Adalah karena hutan ini milik karuhun kami, maka kau harus angkat kaki.”

“Hutan bukan kepunyaan siapa atau apa, tetapi bagian kecil dari indahnya suatu negeri.”

“Maka bersiaplah untuk menjemput nerakamu sendiri!

“Kalau begitu akan kuambil keangkuhanmu itu.”

***

Semakin bertambahnya hari, semakin tumbuh pula kebencian Pak Kur kepada patung yang bahkan tidak pernah bergerak sedikit pun dari tempatnya itu. Sering kali Pak Kur seolah-olah memancing amarah patung itu. Pernah suatu kali secara kebetulan aku melihat patung itu diludahinya, dicaci maki, bahkan ditendang-tendang olehnya. Namun, tidak ada yang berubah kecuali rasa kesal Pak Kur yang kian bertambah. Bahkan, saat desa kami sedang mengadakan syukuran menyambut bulan suci puasa, Pak Kur dengan kesalnya membungkus patung itu dengan terpal yang besar, sehingga menutupi semua sisi patung itu. Sekonyong- konyong warga yang sudah tidak bisa menahan emosinya pun hendak menghakimi Pak Kur seorang diri, tetapi siapa pun tahu bahwa Pak Kur akan merasa bahwa dirinyalah yang benar.

“Aku tidak tahu alasan mengapa kalian tidak menyingkirkan atau menghancurkan patung ini. Bukankah mulai esok adalah bulan yang penuh suci? Di mana iman kalian? Sebesar apa iman kalian sampai berani menyekutukan-Nya?” kata Pak Kur dengan marahnya. “Bukankah sudah kukatakan berkali-kali bahwa patung ini merupakan tempat bersemayamnya roh jahat, dan patung inilah yang akan menjadi malapetaka bagi desa ini, bagi warga sini.” Aku tidak tahu mengapa Pak Kur berkata seperti itu. Mengapa pula Pak Kur malah mengaitkan  ketidaksukaannya terhadap patung itu dengan iman kami? Apakah dengan kami membiarkan patung itu tetap ada berarti kami menyekutukan-Nya? Apakah iman kami hanya dinilai dari hal semacam ini? Apakah Tuhan yang Maha Segala mengalami kekeliruan yang semacam ini? Mustahil, bukan?

Di samping pertanyaan-pertanyaan yang membiak di kepalaku, mereka terus saja berdebat di malam yang seharusnya penuh selawat yang suci. Keributan semakin tak bisa dielakkan, beruntung hadir Pak Asep yang menjadi penengah bagi mereka. Setelah berbagai perdebatan mengiringi malam itu, akhirnya lagi-lagi Pak Kur harus menelan kemarahannya sendiri, tetapi terlihat dari air muka Pak Kur seperti menyimpan sesuatu. Namun, aku tidak tahu pasti apa maksudnya.

Sebenarnya aku tidak tertarik dengan persoalan yang selalu terjadi seperti ini, hanya saja aku tak begitu mengerti mengapa Pak Kur bisa menaruh benci dengan sebuah patung yang tidak pernah mengusiknya, atau memang sebenarnya aku dan warga desalah yang salah dalam hal ini? Bukankah kami hanya membiarkan patung itu tetap berdiri saja? Masing-masing dari kami tentu paham bahwa di dalam ajaran kami, memperlakukan sebuah patung atau apa pun secara berlebihan itu adalah perilaku musyrik. Lantas mengapa? Aku pun turut dalam kebimbangan, dan kebimbangan yang ada pada diriku pun seperti menemui jalan yang buntu, sampai suatu malam terdengarlah kabar: patung macan itu dibakar oleh Pak Kur!

Semuanya berhamburan, saling meneriaki satu sama lain, rasa panik yang menyelimuti diriku dan warga desa kian mendekap tubuh kami, dan berapa banyak pun air yang kami sediakan, tidak cukup melenyapkan api merah yang menghanguskan pekat malam ini. Waktu berlalu sampai tengah malam. Tidak ada kepakkan sayap kelelawar atau cerik jangkrik yang biasanya, yang terlintas ialah rasa syukur kami kepada-Nya. Api yang memakan sebuah rumah tua itu sudah tidak lagi terlihat, yang tersisa hanyalah asap yang mengepul ditiup angin malam, bau gosong yang menampar hidung, dan ketidakpahamanku kepada pikiran Pak Kur.

***

Spektrum bulan yang kian melenyapi hitam hutan, yang memantul- mantulkan kemilau pada permukaan jeram, menyiratkan suatu peristiwa yang baru saja kualami, suatu tanda dari kekalahanku. Di hadapannya, runcing taring dan cakar yang menjelma tombak berakar hanyalah membuat percuma. Angin malam pun tak berhenti menusuk beku tubuhku yang sudah tak lagi berkuasa.

“Bunuhlah saja aku. Kekuatanku ternyata tidak seberapa besar. Lebih baik mati di tangan musuh ketimbang hidup dengan penuh kelemahan.”

Ia sedikit tersenyum. “Untuk apa aku membunuhmu sementara dalam hidup, memberi maaf pada musuh adalah sikap yang paling mulia.”

“Kau kelewat naif. Manusia sepertimulah manusia yang paling kubenci, penuh kesombongan berikut kepolosannya.”

“Maka teruslah hidup. Buatlah manusia di sekitarmu jauh dari sifat-sifat yang bisa mencelakai dirinya sendiri. Mulai saat ini bantulah aku, Sri Baduga Maharaja, sebagai teman dekatmu, wahai macan putih.

***

Tatkala cahaya dari timur yang menyelinap pohon-pohon rindang itu masuk  dengan sejuknya, burung-burung pun turut berkicau, pandang-memandang, bergamit satu dengan yang lainnya, saling menyebar seperti percakapan orang-orang tua, sanak saudara, atau para pemuda di desa belakangan hari. Ada yang berkata bahwa Pak Kur dapat musibah karena ia telah membakar patung yang berada di perbatasan desa. Ada yang berpendapat bahwa rumah Pak Kur terbakar karena amarah dari patung yang dibencinya selama ini, lalu ada pula yang mengatakan bahwa Pak Kur sendirilah yang membakar rumahnya karena dihantui oleh patung penjelmaan siluman macan itu, dan dari beberapa pendapat tersebut aku tidak bisa menyimpulkan apa pun, selain kenyataan bahwa patung macan yang dibakar oleh Pak Kur tetap utuh seperti sedia kala tanpa tergores barang segaris pun.

Jakarta, 15 September 2024

Penulis: Muhamad Iqbal Mubarok