

Semakin dinamis perkembangan zaman saat ini telah banyak membawa perubahan terhadap aspek kehidupan sosial terutama dalam hal teknologi dan informasi. Dengan berkembangnya teknologi secara drastis dalam ruang industri penyiaran, membuat masyarakat bertanya-tanya mengenai letak transparansi dan partisipasi publik dengan diterbitkannya Undang-Undang Penyiaran terbaru. Masyarakat dibuat ramai dengan dikeluarkannya Rancangan Undang-Undang Penyiaran tertanggal 27 Maret 2024, hal ini sangatlah beralasan karena beberapa pasal yang termuat dalam Undang-Undang tersebut dianggap mengganggu kebebasan pers. [1]
Dilihat dari satu aspek, keberadaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran tentunya perlu regulasi yang adaptif, sehingga dapat mengakomodir perkembangan teknologi saat ini. Namun, pada faktanya dengan dikeluarkannya Rancangan Undang-Undang Tentang Penyiaran bukannya membuat bahagia masyarakat dengan hadirnya Undang-Undang tersebut, melainkan sebaliknya. Hal ini kemudian menjadi pertanyaan besar dimana letak hukum yang dapat mengakomodir segala aspek kehidupan masyarakat dengan sebaik-baiknya. Lalu bagaimana korelasinya dengan Sila Kelima Pancasila yang menyatakan “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” jika adanya Undang-Undang Penyiaran dianggap sebagai ancaman kebebasan pers.
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agama dan bahasa. Sehingga, sangat logis jika diperlukannya suatu regulasi yang mengatur dan menjamin kebebasan berekspresi atau hak untuk menyatakan pendapat. Mari kita lihat bersama bahwa dalam Undang-Undang Dasar 1945 norma hak atas kebebasan berekspresi (the right to freedom of expression) sudah semestinya selaras dengan norma hak atas kebebasan berpendapat (the right to freedom of opinion) sehingga sering dikenal dengan the right to freedom of expression and opinion. [2]
Prof. Jimly Asshiddiqie seorang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi pernah menyatakan bahwa norma hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah norma hak yang paling penting di antara seluruh rangkaian norma hak asasi, terutama ditinjau sebagai suatu hak politik (political right). Selanjutnya dalam Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengatur mengenai norma hak kebebasan berekspresi dan berpendapat, terdapat dalam Pasal 28, Pasal 28 E dan Pasal 28 F, yaitu :
- Pasal 28, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
- Pasal 28 E, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.
- Pasal 28 F, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Norma hak kebebasan berekspresi (freedom of expression) dan berpendapat (freedom of opinion) yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 merupakan konsepsi hak asasi manusia dimana didalamnya termaktub hak kebebasan berekspresi dan hak untuk menyatakan pendapat. Dalam sebuah negara yang menjunjung tinggi demokrasi, sudah semestinya Indonesia menjunjung tinggi adanya partisipasi masyarakat dalam bernegara.[3] Hal ini sebagaimana yang tertulis dalam buku Prof. Satjipto Rahardjo yang berjudul “Membedah Hukum Progresif” menyatakan bahwa hukum harus mengikuti perkembangan masyarakat yang ada dan tidak boleh kaku.[4] Prof. Satjipto Rahardjo pun mengatakan bahwa hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Begitupun hadirnya Undang-Undang Penyiaran terbaru, semestinya dapat memenuhi aspek keadilan, transparansi dan akuntabilitas guna terciptanya hukum untuk manusia.
Pasal-Pasal yang Menimbulkan Kecemasan di Masyarakat
- Pasal 8A ayat 1, menjelaskan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memiliki 17 kewenangan, salah satunya termaktub dalam huruf q bahwa “Menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran”. Dengan adanya kewenangan KPI dalam Rancangan Undang-Undang Penyiaran dianggap tidak sesuai dengan adanya fungsi Dewan Pers sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Pers.
- Pasal 28 A, menjelaskan adanya larangan bagi Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) dalam menyalurkan isi siaran. Artinya, Lembaga Penyiaran Berlangganan tidak boleh menyalurkan isi siaran dengan beberapa kriteria yang telah ditentukan yaitu, “Larangan menyalurkan isi siaran yang membahayakan kepentingan bangsa dan negara, Isi siaran yang tidak sesuai dengan nilai kesusilaan, Isi siaran yang dianggap terindikasi mengandung unsur pornografi, sadistis dan mempertentangkan suku, agama, ras dan golongan, Isi siaran yang mengandung perilaku lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender”. Adapun implikasi dengan adanya pasal tersebut adalah pembatasan konten, sehingga membuka peluang kurangnya keberagaman informasi yang tersedia untuk masyarakat.
- Pasal 34 F, menjelaskan penyelenggara platform digital penyiaran memiliki kewajiban untuk memverifikasi konten yang akan disiarkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia, yang telah sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS). Mengutip salah satu website dari Kontan (15/09/2024), dengan adanya ketentuan tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Informasi dan Teknologi yang telah mengatur platform berbasis UGC. Hal ini disebabkan karena penyelenggara platform digital yang dimaksud dalam pasal tersebut, termasuk content creator yang melakukan penyiaran lewat Youtube, TikTok atau media dengan berbasis user generated content (UGC).
- Pasal 42, [5]menjelaskan “Muatan jurnalistik dalam isi lembaga penyiaran harus sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3), Standar Isi Siaran (SIS) dan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dengan adanya pasal tersebut dalam RUU Penyiaran dianggap berpotensi untuk melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi sebagaimana yang dinyatakan oleh Lembaga Bantuan Hukum Pers dan Aliansi Jurnalis Independen Jakarta.
- Pasal 50 B ayat (2) huruf c, menjelaskan aturan Standar Isi Siaran (SIS) dalam larangan “Penayangan eksklusif jurnalistik investigasi” sebagai panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran. Dengan adanya pasal tersebut dianggap membatasi jurnalisme investigasi. Penolakan terhadap larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi disampaikan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Adapun alasan larangan tersebut disampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk mencegah terjadinya monopoli penayangan eksklusif jurnalisme investigasi yang hanya dimiliki satu media atau satu kelompok media. Lebih lanjut, pasal tersebut pun bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang telah mengatur pers nasional tidak tunduk penyensoran, pembredelan atau pelarangan siaran.
- Pasal 50 B ayat (2) huruf k, menjelaskan adanya pelarangan terhadap “Penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan dan radikalisme terorisme”. Dengan hadirnya pasal tersebut sebagian masyarakat menilai bahwa adanya subyektif atau multitafsir dalam hal penghinaan dan pencemaran nama baik. Pasal tersebut dianggap menjadi alat untuk membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis dan pers.
Peran Pemerintah sebagai Payung Hukum Terciptanya Keadilan Sosial
Hadirnya beberapa pasal yang dianggap menimbulkan kecemasan di masyarakat sudah semestinya dapat diatasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai lembaga legislatif dalam membuat undang-undang guna mengakomodir keadilan dan kesejahteraan sosial. Jeremy Bentham dalam teori hukum utilitarianisme mengatakan bahwa hukum dibuat untuk mengoptimalkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan bagi sebanyak orang. Adapun segala jenis tindakan hukum dapat dinilai berdasarkan dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat. Begitupun dengan Undang-Undang Penyiaran seyogyanya dapat memberikan kesejahteraan secara umum kepada masyarakat.
Lebih lanjut, Lembaga Riset Sosial atau Lembaga Survei Indonesia telah melakukan survei tentang ketidaksetujuan masyarakat terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Penyiaran terbaru. Hal ini pun disampaikan oleh Aliansi Jurnalis Indonesia dan organisasi lainnya yang menyatakan ketidaksetujuan masyarakat terhadap RUU Penyiaran dikarenakan beberapa pasal yang telah dipaparkan di atas. Dengan demikian, RUU Penyiaran yang ada saat ini merupakan langkah kemunduran demokrasi di Indonesia. Hal ini dikarenakan kurangnya partisipasi masyarakat dalam publik dan adanya kepentingan golongan tertentu. Namun, secara filosofis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah menjelaskan bahwa “sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa …”. Sehingga kebebasan masyarakat dalam berekspresi dan menyatakan pendapat merupakan kemerdekaan yang tidak seharusnya dibungkam.
Selain itu, perlunya penafsiran yang jelas dari pemerintah terkait semua hal pelarangan bagi jurnalis atau isi konten yang akan dipublikasikan. Mari kita cermati dan amati bersama, berdasarkan laporan dari We Are Social atau Hootsuite menjelaskan pada tahun 2023 penggunaan internet oleh generasi muda (usia 18-34 tahun) telah mencapai angka sekitar 85%. Sehingga, dapat disimpulkan bersama penggunaan internet terbanyak adalah generasi muda dengan platform Instagram, Twitter dan TikTok. Lalu menjadi pertanyaan besar dengan tidak adanya batasan atau standar dalam pelarangan isi konten secara jelas yang tertuang dalam RUU Penyiaran. Hal ini justru akan menimbulkan anomali dengan visi misi negara Indonesia dalam menciptakan Indonesia Emas 2045. Jika dalam beberapa regulasi tidak adanya aturan serta batasan yang jelas dalam Undang-Undang Penyiaran, hal ini tentu membuka peluang pelanggaran yang dilakukan oleh generasi muda, mengingat generasi muda melek terhadap media sosial.
Dengan adanya hal tersebut dapat memudahkan masyarakat untuk mengetahui batasan-batasan yang seharusnya dilakukan dan yang tidak dilakukan. Pernyataan tersebut sangatlah beralasan, mengutip dari salah satu website Universitas Muhammadiyah Sidoarjo menjelaskan banyak masyarakat meminta beberapa pasal yang ambigu atau bisa dikenal dengan “pasal karet” untuk diubah dalam RUU Penyiaran. Adapun implikasi dengan tidak diubahnya beberapa pasal yang dianggap ambigu adalah membuat banyak masyarakat ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dengan alasan pencemaran nama baik atau penghinaan.[6] Sehingga perlunya standar atau batasan dalam tindak kejahatan tersebut demi terciptanya aturan yang efektif.
Rekomendasi
Upaya pemerintah dalam Undang-Undang Penyiaran terbaru merupakan bentuk adaptif terhadap perkembangan teknologi yang ada saat ini. Kita sebagai masyarakat sudah semestinya menghormati dan mengapresiasi hadirnya RUU Penyiaran tersebut. Namun sebagai negara yang memiliki keberagaman, pemerintah diharapkan mampu untuk mengakomodir setiap kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam RUU. Hal ini sebagai bentuk peran pemerintah demi menciptakan kesejahteraan sosial yang selaras dengan Sila Kelima Pancasila.
Dalam paparan yang telah dijelaskan di atas terdapat beberapa rekomendasi yang ditawarkan, yaitu perlunya revisi beberapa pasal yang dianggap menimbulkan kecemasan di masyarakat. Selain itu, perlunya standar dan batasan yang jelas terkait larangan yang dimuat dalam Undang-Undang Penyiaran. Sehingga akan tercapainya efektivitas Undang-Undang sebagai payung hukum guna menertibkan masyarakat. Hal ini pun sejalan dengan teori hukum utilitarianisme oleh Jeremy Bentham bahwa hukum harus memberikan kebahagiaan bagi masyarakat banyak. Sehingga dengan diatasinya beberapa pasal yang menimbulkan kecemasan masyarakat, pemerintah telah berperan aktif dan menjunjung tinggi adanya demokrasi di Indonesia.
Penulis: Fitriani Siregar
Daftar Pustaka
Erwina Rachmi Puspapertiwi, A. N. (2024, Mei 16). Melihat 7 Pasal dalam RUU Penyiaran yang Tuai Kritikan. Retrieved September 15, 2024, from Kompas.com: https://www.kompas.com/tren/read/2024/05/16/190000465/melihat-7-pasal-dalam-ruu-penyiaran-yang-tuai-kritikan-?page=all
Muhammad Roqib, H. A. (2020, Mei). Hak atas Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat di Indonesia dengan di Amerika Serikat. Perspektif Hukum, Vol 20 No. 1 , 41-53.
Manan, Bagir. Politik Publik Pers, Jakarta, Dewan Pers, 2014, h. 91
Rahardjo, S. (2006). Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas.
S, R. (2024, Juni 5). RUU Penyiaran dan Larangan Penayangan Eksklusif, Dosen Umsida: Dimana Kebebasan Pers? Retrieved September 15, 2024, from Umsida: https://umsida.ac.id/ruu-penyiaran-dan-larangan-penayangan-eksklusif/#
Setjen dan BK DPR RI. (2000, Oktober ). Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Penyiaran. Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia.
[1] Erwina Rachmi Puspapertiwi, A. N. (2024, Mei 16). Melihat 7 Pasal dalam RUU Penyiaran yang Tuai Kritikan. Retrieved September 15, 2024, from Kompas.com: https://www.kompas.com/tren/read/2024/05/16/190000465/melihat-7-pasal-dalam-ruu-penyiaran-yang-tuai-kritikan-?page=all
[2] Roqib, M. H. A (2020, Mei). Hak atas Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat di Indonesia dengan di Amerika Serikat. Perspektif Hukum, Vol 20 No. 1, 41-53
[3] Manan, Bagir. Politik Publik Pers, Jakarta, Dewan Pers, 2014, h. 91
[4] Rahardjo, S. (2006). Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas
[5] Setjen dan BK DPR RI. (2000, Oktober). Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Penyiaran. Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia.
[6] S., R. (2024, Juni 5). RUU Penyiaran dan Larangan Penayangan Eksklusif, Dosen Umsida: Dimana Kebebasan Pers? Retrieved from Umsida: https://umsida.ac.id/ruu-penyiaran-dan-larangan-penayangan-eksklusif/#
Beri Balasan