TERJAJAHNYA HAK-HAK PAPUA – LAYAKKAH INDONESIA DISEBUT NEGARA MERDEKA BEBAS PENJAJAHAN?
Oleh: Naila Akyasa Farrah Ramadhani
Indonesia adalah negara yang telah
merdeka dan bebas dari penjajahan, hal
ini tercantum dengan jelas dalam UUD 1945. Baik segala jenis penjajahan tidak dapat ditoleransi di Indonesia. Setiap manusia memiliki
hak tersendiri. Menurut UU No. 39 Tahun 1999, hak asasi
manusia merupakan hak dasar yang secara
kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng. Oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun. (Meyrina,
2017). Tapi berbanding terbalik dengan kondisi yang terjadi pada penduduk di tanah
Papua. Mereka masih terjajah akan
hak-hak mereka sebagai manusia, hak mereka dirampas dan mereka tak seperti kita yang bisa bebas
berekspresi dan hidup jauh dari rasa ketakutan.
merdeka dan bebas dari penjajahan, hal
ini tercantum dengan jelas dalam UUD 1945. Baik segala jenis penjajahan tidak dapat ditoleransi di Indonesia. Setiap manusia memiliki
hak tersendiri. Menurut UU No. 39 Tahun 1999, hak asasi
manusia merupakan hak dasar yang secara
kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng. Oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun. (Meyrina,
2017). Tapi berbanding terbalik dengan kondisi yang terjadi pada penduduk di tanah
Papua. Mereka masih terjajah akan
hak-hak mereka sebagai manusia, hak mereka dirampas dan mereka tak seperti kita yang bisa bebas
berekspresi dan hidup jauh dari rasa ketakutan.
Kasus penembakan Paniai 2014 lalu adalah
salah satu dari pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan dengan penuh keadilan
dari sekian banyaknya pelanggaran hak asasi manusia di
Papua. Sangat disayangkan oknum yang terlibat
dalam pelanggaran hak asasi manusia
yang terjadi di Papua ini adalah
orang-orang yang seharusnya menjadi pelindung bagi masyarakat yang mana mereka melakukan tindakan pembunuhan
dan penganiayaan yang dilakukan aparat
gabungan TNI-POLRI. Peristiwa ini menewaskan 4 orang dan 21 orang luka-luka. (BBC Indonesia, 2022). Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014 yang terdiri dari gabungan organisasi masyarakat sipil baik yang
berada di Jakarta, Makassar
maupun Papua meninjau
jika jalannya persidangan perdana kasus Paniai pada Desember 2022 dipenuhi dengan sandiwara
dan pencitraan, persidangan yang
berlangsung pun seperti persidangan kasus kriminal biasa dan hanya mendatangkan satu saksi padahal terdapat
57 saksi lapangan. Selain itu, pelaksanaan
sidang kasus Paniai digelar di Makassar yang mana tidak sesuai dengan mandat Undang-undang Otonom menambah asumsi kecurigaan terhadap
penyelesaian peradilan kasus ini. Diperkuat
pengalaman buruk terkait
kasus peradilan HAM untuk Timor-Timor 1999, Tanjuk Priok 1984 dan Ambepura 2000
yang tak membuahkan hasil peradilan
yang sesuai. (PBHI, 2021).
salah satu dari pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan dengan penuh keadilan
dari sekian banyaknya pelanggaran hak asasi manusia di
Papua. Sangat disayangkan oknum yang terlibat
dalam pelanggaran hak asasi manusia
yang terjadi di Papua ini adalah
orang-orang yang seharusnya menjadi pelindung bagi masyarakat yang mana mereka melakukan tindakan pembunuhan
dan penganiayaan yang dilakukan aparat
gabungan TNI-POLRI. Peristiwa ini menewaskan 4 orang dan 21 orang luka-luka. (BBC Indonesia, 2022). Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014 yang terdiri dari gabungan organisasi masyarakat sipil baik yang
berada di Jakarta, Makassar
maupun Papua meninjau
jika jalannya persidangan perdana kasus Paniai pada Desember 2022 dipenuhi dengan sandiwara
dan pencitraan, persidangan yang
berlangsung pun seperti persidangan kasus kriminal biasa dan hanya mendatangkan satu saksi padahal terdapat
57 saksi lapangan. Selain itu, pelaksanaan
sidang kasus Paniai digelar di Makassar yang mana tidak sesuai dengan mandat Undang-undang Otonom menambah asumsi kecurigaan terhadap
penyelesaian peradilan kasus ini. Diperkuat
pengalaman buruk terkait
kasus peradilan HAM untuk Timor-Timor 1999, Tanjuk Priok 1984 dan Ambepura 2000
yang tak membuahkan hasil peradilan
yang sesuai. (PBHI, 2021).
Meksipun Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) telah menyatakan bahwa penembakan Paniai 2014 adalah pelanggaran HAM berat. Namun,
hanya satu orang saja yang dijadikan tersangka
oleh Jaksa. Padahal
ditinjau dari penyelidikan kasus penembakan Paniai tidak hanya
melibatkan satu orang saja karena
tentunya penembakan tersebut membutuhkan rantai komando yang akan menyeret panjang lebih dari satu orang. Bukan hanya
itu, satu hari sebelum persidangan dilaksanakan di Makassar,
terjadi peneroran terhadap
mahasiswa domisili Papua yang berkuliah di Makassar. Negara seharusnya
lebih memperkuat peradilan terkait kasus
hak asasi manusia terlebih bagi penduduk Papua
yang mana masih sering mendapat perlakukan berbeda daripada yang lain. Diharapkan Pemerintah dapat memperkuat peraturan perundang-undangan yang memberatkan bagi pelaku pelanggar
HAM, terlebih jika pelakunya termasuk
dalam bagian oknum aparatur negara maka hukuman yang diterima harus
lebih berat. Memperketat penyelidikan
dengan menggunakan penyelidik yang jujur dan
bersih. Serta perlindungan terhadap penduduk, koalisi masyarakat sipil,
korban, saksi, Majelis Hakim, dan
aktivis yang mencoba bersuara dan berekspresi perlu ditingkatkan agar kasus-kasus HAM seperti ini tidak dapat terulang kembali.
Selain itu, perlu adanya penjamin. Jika tidak demikian, orang-orang
berkedudukan tinggi yang tidak bertanggung jawab akan semakin
semena-mena terhadap masyarakat kecil. Terlebih kasus Paniai
2014, sudah diketahui dan masuk ranah permasalahan peradilan
pelanggaran HAM Internasional, mencoreng nama Indonesia di mata dunia karena tidak dapat menyelesaikan permasalahan pelanggaran
HAM dengan peradilan yang seadil-adilnya. Maka dari itu, jika kasus seperti
ini terus terjadi
dan tidak mendapat
peradilan yang berlandaskan keadilan, akan semakin
memicu keinginan untuk
Papua merdeka yang mana pembebasan Papua untuk
terpisah dari Indonesia dan menjadi sebuah negara baru.
Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) telah menyatakan bahwa penembakan Paniai 2014 adalah pelanggaran HAM berat. Namun,
hanya satu orang saja yang dijadikan tersangka
oleh Jaksa. Padahal
ditinjau dari penyelidikan kasus penembakan Paniai tidak hanya
melibatkan satu orang saja karena
tentunya penembakan tersebut membutuhkan rantai komando yang akan menyeret panjang lebih dari satu orang. Bukan hanya
itu, satu hari sebelum persidangan dilaksanakan di Makassar,
terjadi peneroran terhadap
mahasiswa domisili Papua yang berkuliah di Makassar. Negara seharusnya
lebih memperkuat peradilan terkait kasus
hak asasi manusia terlebih bagi penduduk Papua
yang mana masih sering mendapat perlakukan berbeda daripada yang lain. Diharapkan Pemerintah dapat memperkuat peraturan perundang-undangan yang memberatkan bagi pelaku pelanggar
HAM, terlebih jika pelakunya termasuk
dalam bagian oknum aparatur negara maka hukuman yang diterima harus
lebih berat. Memperketat penyelidikan
dengan menggunakan penyelidik yang jujur dan
bersih. Serta perlindungan terhadap penduduk, koalisi masyarakat sipil,
korban, saksi, Majelis Hakim, dan
aktivis yang mencoba bersuara dan berekspresi perlu ditingkatkan agar kasus-kasus HAM seperti ini tidak dapat terulang kembali.
Selain itu, perlu adanya penjamin. Jika tidak demikian, orang-orang
berkedudukan tinggi yang tidak bertanggung jawab akan semakin
semena-mena terhadap masyarakat kecil. Terlebih kasus Paniai
2014, sudah diketahui dan masuk ranah permasalahan peradilan
pelanggaran HAM Internasional, mencoreng nama Indonesia di mata dunia karena tidak dapat menyelesaikan permasalahan pelanggaran
HAM dengan peradilan yang seadil-adilnya. Maka dari itu, jika kasus seperti
ini terus terjadi
dan tidak mendapat
peradilan yang berlandaskan keadilan, akan semakin
memicu keinginan untuk
Papua merdeka yang mana pembebasan Papua untuk
terpisah dari Indonesia dan menjadi sebuah negara baru.
Editor: Umi Syarifah
Beri Balasan