Reminisensi: Padi dalam C Am Em

Ilustrasi oleh Pexels

Aku tidak suka orang yang terkesan kotor, urakan, yang  seperti berandalan intinya atau dalam bahasa yang aku buat lebih sopan, mungkin bisa disebut lusuh. Celana kedodoran tampak seperti tak menyentuh setrika semenjak dibeli, rambut gondrong tak dikuncir sedikit lepek karena keringat, aroma rokok dan minuman keras murahan bercampur dan menguar seiring gitar yang dia petik— benar-benar bukan tipe orang yang  ingin aku  ajak  bercengkerama atau sekadar berada dalam satu ruangan yang sama. Namun, inilah kehidupan, disini aku tengah menatapnya, dari jauh sudut ruangan tempatnya menampilkan lagu lawas yang sangat  familier untukku. Cukup tau diri untuk tidak menghancurkan mimpi seseorang untuk  kedua kalinya, seseorang dengan pasion sebesar dia layak memainkan masa muda sebaik-baiknya. Aku mendengar seraya berusaha menghafalkan tiap-tiap kunci gitar dalam lagu favoritnya. C, A minor, E minor. Terulang terus menerus dalam bait bait pertama. Semua tak sama, kan?

Suaranya sangat sumbang, cenderung sangat jelek sejujurnya. Aku selalu tertawa saat kakaknya dengan sangat iseng mengarahkan mikrofon ke mulutnya alih-alih ke gitarnya  yang tengah nyaring bersuara, membuatnya mau tak mau buka suara menyanyikan beberapa bait dengan nada sumbang. Tuhan itu adil, jika cukup berbakat dengan senar gitar itu, ia cabut kemampuan bersuara untuk dibagi pada mereka yang tak punya talenta.

Sekarang hari ke tujuh, aku masih punya sisa enam hari genapnya untuk mengingat lagi wajah dan suaranya. Memoriku kadang kabur, tak peduli sebanyak apa memoar yang aku buat tentang dia, suaranya hilang dalam sekejap dipikiranku tepat sehari setelah dia tak ada lagi dalam jangkauan mataku. Pikiranku, menjebak agar aku  tak lagi tenggelam dalam sakit yang katanya tidak punya obat. Dalam ingatan yang menurut orang orang menghambat aku untuk berjalan maju.

Dia turun dari panggung, menyeka keringat. Keringatnya hilang, tapi mukanya tetap lusuh, dekil, terlihat sangat merah seperti habis terbakar matahari. Aku tertawa sedikit keras, mengabaikan pandangan aneh orang orang disekitarku karena faktanya aku duduk sendiri, tanpa satupun kompeni. Dia turun bersama kakaknya, menghampiri adik laki-lakinya yang sudah menunggu dengan wajah sengak. Seakan akan ingin memamerkan jika dia juga bagian dari dua orang hebat itu. Banyak wanita dan pria sudah berjejer untuk entah meminta tanda tangan, foto, atau bahkan sesepele ingin menyapa, tapi sepanjang penglihatanku, dia hanya peduli pada satu orang, wanitanya.

Seingatku, dia tidak pernah sedikitpun peduli dengan wanita lain, pun dengan wanita yang dia rangkul itu awalnya, tapi wanita itu cukup baik, cukup sabar, cukup pembangkang untuk melawan dan membakar habis egonya dengan pengabaian sengit. Wanitanya terkekeh atau setidaknya dalam jarak yang cukup jauh dari tempatku ini, dia terlihat sangat sumringah dengan senyum lebar. Mataku mengekor pada tiap-tiap pergerakan mereka, berusaha merekam tiap momen seperti handycam canggih yang berharga fantastis.

Mataku sedikit mengabur melihat bagaimana bahagianya  mereka. Jiwa muda yang bebas tanpa beban, mengejar mimpi yang mereka anggap sepadan dengan tenaga dan uang yang telah mereka buraikan. Air mataku jatuh saat adik menepuk bahuku. “Sudah?” tanyanya pelan tepat sesaat setelah dia mendudukkan diri di sampingku. Aku hanya menggeleng pelan, “Mereka belum pulang,” aku menjawab lirih berusaha menekan suaraku agar tak lagi terdengar bergetar.

Dia menghembuskan nafas, bukan karena lelah, lebih ke iba sepertinya. “Kak, sudah ya? Biarkan mereka pulang. Kita juga harus pulang.”

Aku tahu, apa yang aku lakukan tidak seratus persen benar. Tapi ada kalanya aku ingin tetap seperti ini selagi itu tak merugikan siapapun. Toh, pada akhirnya, aku tak mengganggu apapun. Aku hanya seperti lalat buah yang berterbangan. Aku tak merugikan siapapun,  “Masih ada enam hari lagi, Kale. Sampai hari ketiga. Aku minta waktu sampai hari ketiga.”

***

Esoknya, aku sekali lagi menatap mereka dari jauh. Mendengar tiap–tiap cerita kehebatan remaja yang mereka jalani, mulai dari bagaimana beraninya dia melawan sekolah sebelah, disauti oleh si wanita berucap jika dia telah berhasil menghabiskan rokok pertamanya, dan disusul banyak kenakalan remaja lainnya. Aku tertawa kecil mendengarnya, menggelitik, kisah kasih remaja selalu membuatku ikut berbunga. Melihat mereka saling menggoda, saling menyentak karena si wanita tak suka sawi, tapi suka acar, sedangkan dia, dia suka semua, tapi harus mengalah pada dewinya, hingga kepulan asap rokok yang menguar memenuhi ruangan membuatku  terbatuk dan sadar dari lamunanku.

Aku harap aku tidak pernah ada, agar mereka tak kehilangan momentum kisah klasik remaja yang tampak sangat menyenangkan jauh sebelum aku akhirnya ada dan merenggut semua milik  mereka. Aku benci karena mereka terlalu bodoh untuk menukarkan kebahagiaan mereka hanya untuk membuat aku memiliki eksistensi dalam kehidupan mereka, kehidupan yang mungkin tak pernah mereka inginkan. Aku merasa seperti merampok masa depan dan rencana-rencana yang sudah mereka buat.

Aku sedikit terisak saat mereka akhirnya memutuskan keluar, meninggalkan aku, pangsit kudusan, serta beberapa puntung rokok dalam satu meja panjang.

***

Aku berjalan ke arah adikku, menatapnya yang ternyata sudah tumbuh jauh lebih tinggi dariku dengan mata membengkak dan hidung memerah. Sedikit terisak dan tersendat sendat saat mencoba bicara, “Kita, merusak semuanya, ya? Kita membuat mereka kehabisan stok kebahagiaanya? Kita, merampas apa yang seharusnya mereka dapatkan, ya?”

Terdengar bodoh, kekanak-kanakan, dan egois, tapi aku hancur melihat mereka sangat bahagia, sangat bebas, sangat berambisi—tanpa adanya aku. Tanpa adanya tanggung jawab baru. Hanya bahagia, muda, dan bebas berkelana.

Adikku menggeleng pelan, “Saat mereka memilih apa yang mereka pilih, mereka sadar, pilihan mereka memberi lebih banyak keuntungan entah waktu, uang, atau kebahagiaan. Kakak lihat sendiri mereka tidak bodoh, semua ini perkara skala prioritas, seperti yang kakak selalu ajarkan.”

Tangisku makin pecah, karena aku tahu, aku tidak memberi lebih banyak keuntungan. Aku tidak pernah sepenting itu untuk selalu dipertahankan dan dipilih.

***

Hari ketiga, hari terakhir. Harusnya masih tersisa empat hari lagi, tapi aku memutuskan untuk sesegera mungkin menutup lembaran buram ini. Entah setelahnya mereka akan makin jelas, atau justru makin pudar. Aku siap menerima semua konsekuensinya. Aku siap.

Di hari terakhir ini aku dan adikku sepakat mendekati mereka, mendengar suaranya untuk terakhir kali lebih  dekat, lebih hangat, lebih bersahabat, dan aku harap bisa aku ingat selamanya. Aku menepuk pelan punggungnya, dia menoleh dengan tatapan bingung. Kami tersenyum, “Rokok, untuk kalian.”

Tatapan bingung dari merekalah yang kami dapatkan sebagai dampak dari perbuatan aneh kami, “Kami penggemar band-mu, aku Karin, ini adikku, Kale,” dia tersenyum, hangat sekali, rasanya mataku kembali memanas karena sudah sangat lama sejak terakhir aku melihat senyum itu. Si wanita tersenyum tak kalah lebar hingga matanya menyipit. “Terima kasih, nama kalian cantik. Aku rasa aku ingin menamai anakku seperti itu nantinya.

Kami tersenyum, lalu mengangguk untuk pamit. Aku meremas kuat kuat ujung pakaian yang dikenakan adikku karena isakanku makin kuat sejalan dengan kami yang makin menjauhi tempat mereka. “Setelah ini, semua memori soal mama dan bapak, akan hilang, ya? Suara, senyumnya, baunya, semuanya. Akhirnya benar benar hilang, ya?”

Adikku mengangguk, untuk pertama kalinya aku melihat dia menangis hingga tak kuat melangkahkan kakinya. Baru kali ini aku melihat dia menangis hingga bahunya bergetar hebat. Baru kali ini, rasanya sangat sakit karena kami sadar— ini akhirnya. Ini terakhir kalinya kami bisa menjelajah memoar mengenai jiwa-jiwa yang sudah berpulang. Memanipulasi keadaan hanya agar kami bisa mendengar suara mereka lagi. Aku menepuk nepuk pelan punggung adikku, memberikan elusan pelan, lalu berujar, “Mereka bisa tetap hidup, dalam setiap sudut rumah kita, dalam setiap titik di Kota Malang, dalam setiap suap pangsit mie kudusan. Mereka tetap hidup, dalam jiwa kita, dalam pikiran kita, dalam hati yang tak bisa kita hapus. Mereka akan tetap ada. Kita harus melangkah, hidup tetap berjalan bahkan setelah mereka tak ada, Kale. Mereka tetap orang tua kita, meski mereka tak ada lagi raganya.”

Mahasiswi Matematika FMIPA UB angkatan 22. Bertugas sebagai Staf Humas 2023 dan staf Redaksi 2024. Senang menulis dan membaca untuk menuangkan emosi yang kadang terasa tabu diucap